Feminisme Dalam HI: Sejarah, Asumsi Dasar, Kritik, Kontribusi, dan Studi Kasus

Deva soka Faridh aziz
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Konten dari Pengguna
20 Maret 2024 6:35 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deva soka Faridh aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Contoh gerakan perempuan source: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Contoh gerakan perempuan source: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Sejarah Feminisme menurut Hubungan Internasional
Dalam sejarahnya Feminisme muncul pertama kali pada tahun 1792 di Inggris. Yakni, melalui sebuah buku yang berjudul "A Vindication of the Rights of Woman" karya filsuf Inggris, Mary Wollstonecraft.
ADVERTISEMENT
Mary Wollstonecraft menerbitkan buku tersebut seusai revolusi Prancis meletus. Kala itu, dia melihat adanya partisipasi politik yang timpang antara laki-laki dengan perempuan. Untuk itu, dia menilai penggulingan monarki absolut seharusnya dapat menjadi sebuah momentum bagi perempuan untuk melakukan pergerakan.
Menariknya, Wollstonecraft sama sekali tidak menggunakan istilah Feminisme dalam bukunya tersebut. Kala itu, kesadaran tentang ketidakadilan yang menimpa perempuan biasa diterjemahkan sebagai gerakan perempuan (Women’s Movement).
Sebab sebagai sebuah istilah, kata Feminisme justru baru muncul pada tahun 1808. Istilah itu digunakan filsuf Prancis yakni Charles Fourier untuk menggambarkan Sosialisme Utopis. Kala sekat antara perempuan dan laki-laki lenyap dalam relasi sosial.
Aristoteles pun tak menyangkal praktik sosial tersebut. Alih-alih membela perempuan, dia justru menegaskan bahwa perempuan bukanlah manusia yang sesempurna laki-laki.
ADVERTISEMENT
Penegasan itu yang lantas dikentalkan menjadi sebuah karya filsafat, seperti dalam "Politics". Sejak saat itu filsafat barat adalah filsafat yang berperspektif laki-laki.
Berbeda dengan Aristoteles, Plato justru menciptakan sedikit celah untuk kesetaraan perempuan dalam bukunya "The Republic", guru dari Aristoteles itu mengungkapkan perempuan dan laki-laki berbeda dalam kekuatan dan virtue (keutamaan). Namun, dia percaya bahwa rasionalitas perempuan bisa menyamai laki-laki jika memperoleh pendidikan.
"Jika kita menginginkan perempuan bisa bekerja seperti laki-laki, maka kita harus mengajarkan mereka hal yang sama,” kata Plato.
Asumsi Dasar Feminisme
Dalam perkembangannya Feminisme terbentuk atas beberapa asumsi dasar yang mendasarinya, adapun asumsi dasar tersebut sebagaimana yang terdapat di bawah ini:
1. Ketidaksetaraan Gender: Feminisme mengasumsikan bahwa terdapat ketidaksetaraan gender yang mendasar dalam Hubungan Internasional. Asumsi ini menyoroti bahwa perempuan sering kali menghadapi diskriminasi, marginalisasi, dan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, dan sosial di tingkat nasional maupun global.
ADVERTISEMENT
2. Konstruksi Sosial Gender: Feminisme menganggap gender sebagai konstruksi sosial yang tidak berasal dari sifat biologis atau kodrati tetapi dibentuk oleh norma, nilai, dan praktik dalam masyarakat. Asumsi ini menekankan bahwa peran gender dan stereotip gender adalah hasil dari proses sosial yang dapat diubah dan ditantang.
3. Kekuasaan dan Struktur Patriarki: Feminisme mengkritik struktur Patriarki yang memberikan dominasi kepada laki-laki dalam masyarakat. Asumsi ini menyatakan bahwa kekuasaan dihubungkan secara inheren dengan gender dan bahwa sistem kekuasaan ini memberikan keuntungan dan privilege bagi pihak laki-laki sementara merugikan pihak perempuan.
4. Partisipasi Perempuan: Feminisme memperjuangkan partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan politik, diplomatik, dan ekonomi. Asumsi ini berpendapat bahwa melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan akan menghasilkan keputusan yang lebih inklusif, beragam, dan adil.
ADVERTISEMENT
5. Solidaritas dan Keberagaman: Feminisme menganggap pentingnya solidaritas dan kerja sama antara perempuan di tingkat global. Asumsi ini berpendapat bahwa perjuangan perempuan melawan ketidaksetaraan dan kekerasan harus dilakukan secara kolektif, dengan mengakui dan menghargai keberagaman pengalaman dan perspektif perempuan dari berbagai latar belakang.
Kritik terhadap Feminisme
Meskipun feminisme dalam Hubungan Internasional telah memberikan kontribusi penting, ada beberapa kritik yang diajukan terhadap teori Feminisme dalam konteks ini. Beberapa kritik utama adalah antara lain sebagai berikut:
1. Esensialisme Gender: Bahwa Feminisme cenderung memandang perempuan sebagai kelompok yang homogen dan laki-laki sebagai pihak yang selalu memegang kekuasaan. Kritik ini menegaskan bahwa pandangan seperti itu mengabaikan keragaman dalam pengalaman dan posisi perempuan serta peran laki-laki dalam konstruksi gender.
ADVERTISEMENT
2. Befokus Pada Perempuan: Beberapa kritikus berpendapat bahwa Feminisme dalam Hubungan Internasional terlalu fokus pada isu-isu perempuan dan kurang memberikan perhatian yang memadai pada isu-isu gender yang mempengaruhi laki-laki, kritik ini menyatakan bahwa ketimpangan gender juga dapat merugikan laki-laki.
3. Kesederhanaan Dalam Memahami Kekuasaan: Feminisme terlalu menyederhanakan kompleksitas kekuasaan dan konflik global dengan mengatribusikan segala hal pada struktur gender. Mereka berpendapat bahwa faktor-faktor lain seperti ras, kelas sosial, agama, dan politik juga harus diperhitungkan dalam analisis kebijakan internasional.
4. Pengabaian Konteks Budaya dan Lokal: Feminisme dalam Hubungan Internasional terkadang tidak mempertimbangkan konteks budaya dan lokal yang berbeda-beda. Pendekatan feminis sering kali dibangun berdasarkan pengalaman dan perspektif Barat, yang mungkin tidak sepenuhnya relevan atau berlaku di seluruh dunia. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk memperhatikan dan memahami keberagaman budaya dalam menganalisis isu-isu gender dalam konteks internasional.
ADVERTISEMENT
5. Kritik Terhadap Keterlibatan Negara: Feminisme cenderung terlalu terlibat dengan negara sebagai institusi yang berkuasa, dan dalam beberapa kasus, keterlibatan tersebut dapat mengaburkan perspektif kritis terhadap negara dan membatasi ruang untuk perubahan sosial yang lebih radikal.
Contoh gerakan yang menuntut kesetaraan source: Unsplash.com
Kontribusi Feminisme dalam Hubungan Internasional
Feminisme telah memberikan kontribusi penting dalam studi Hubungan Internasional. Beberapa kontribusi utama Feminisme dalam Hubungan Internasional adalah sebagai berikut:
1. Pengungkapan Ketimpangan Gender: Feminisme telah mengungkapkan ketimpangan gender yang terjadi dalam Hubungan Internasional. Dengan menganalisis hubungan antara gender, kekuasaan, dan kebijakan, Feminisme telah mengungkapkan bagaimana perempuan sering kali menghadapi diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan dalam konteks global.
2. Kritik Terhadap Dominasi Maskulinitas: Feminisme telah mengkritik dominasi Maskulinitas dalam Hubungan Internasional. Feminisme menantang konsep-konsep tersebut dan mengadvokasi pendekatan yang lebih inklusif, berbasis perawatan, dan memperhatikan perspektif perempuan.
ADVERTISEMENT
3. Mendorong Kesetaraan Gender: Salah satu kontribusi utama Feminisme dalam Hubungan Internasional adalah mendorong kesetaraan gender. Feminisme menekankan pentingnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik, diplomatik, sosial dan ekonomi.
4. Memperkaya Analisis Kebijakan: Dengan memperhatikan dimensi gender dalam analisis kebijakan, Feminisme telah memperkaya pemahaman kita tentang konflik, perdamaian, pembangunan, dan isu-isu lain dalam Hubungan Internasional. Feminisme membawa perspektif baru yang melibatkan peran perempuan, stereotip gender, peran keluarga, akses terhadap sumber daya, dan kekerasan gender.
5. Pemberdayaan Perempuan: Feminisme telah memperjuangkan pemberdayaan perempuan dalam Hubungan Internasional. Melalui advokasi, aktivisme, dan upaya untuk memperluas kesempatan bagi perempuan, Feminisme telah berkontribusi pada penciptaan lingkungan yang memungkinkan perempuan untuk mengembangkan potensi mereka, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mendapatkan akses yang lebih adil terhadap sumber daya dan kesempatan.
ADVERTISEMENT
Kontribusi Feminisme dalam Hubungan Internasional telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita memahami dan mengkaji Hubungan Internasional. Dengan memperhatikan dimensi gender, Feminisme telah memperluas cakupan analisis dan mendorong upaya menuju Hubungan Hnternasional yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Studi Kasus Feminsime
Beberapa studi kasus Feminisme dalam Hubungan Internasional adalah perjuangan untuk mengatasi kekerasan seksual dalam konflik bersenjata. Perempuan sering menjadi korban kekerasan seksual selama konflik bersenjata, dan Feminisme telah memainkan peran penting dalam mengangkat isu ini dan mendorong langkah-langkah untuk melawan dan mencegah kekerasan seksual dalam konteks global. Berikut adalah beberapa contoh studi kasus yang relevan:
1. Konflik di Republik Demokratik Kongo (RDK): Di RDK, konflik bersenjata telah berlangsung selama beberapa dekade dan dikenal dengan tingkat kekerasan seksual yang tinggi terhadap perempuan. Feminis dan aktivis lokal bekerja sama untuk mengangkat isu kekerasan seksual ini ke tingkat internasional, memobilisasi dukungan global, dan menekan pemerintah dan kelompok bersenjata agar bertanggung jawab. Upaya ini telah mendorong peningkatan kesadaran dan tindakan untuk melawan kekerasan seksual di RDK dan menyuarakan keadilan bagi para korban.
ADVERTISEMENT
2. Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB: Resolusi 1325 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 2000 adalah langkah penting dalam mengakui peran perempuan dalam konflik dan perdamaian. Resolusi ini didorong oleh aktivis feminis dan organisasi perempuan yang menekankan pentingnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, perlindungan terhadap perempuan dalam konflik, serta peran perempuan dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan. Resolusi ini menjadi dasar bagi langkah-langkah lebih lanjut dalam mempromosikan kesetaraan gender dalam Hubungan Internasional.
3. Gerakan #MeToo: Gerakan #MeToo pertama kali muncul di Amerika Serikat dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, telah membawa perhatian pada kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi gender di berbagai sektor, termasuk dalam konteks Hubungan Internasional. Banyak wanita dalam bidang politik, diplomasi, dan organisasi internasional telah melangkah maju untuk berbagi pengalaman mereka dan menuntut perubahan dalam memerangi kekerasan dan ketidaksetaraan gender. Gerakan ini telah memberikan momentum baru dalam mengatasi ketimpangan gender dan kekerasan seksual dalam lingkup internasional.
ADVERTISEMENT
Studi kasus ini mencerminkan bagaimana Feminisme telah mempengaruhi perubahan nyata dalam isu-isu gender dalam Hubungan Internasional. Melalui perjuangan, kesadaran, dan tindakan kolaboratif, Feminisme telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan kesetaraan, melawan kekerasan seksual, dan memperjuangkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dan diplomasi.