Tentang Perlawanan Tokoh Husna dalam Novel Season of Migration to the North

Deva Yohana
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
26 April 2022 18:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deva Yohana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan Arab (Sumber: Anna Terezevich/Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan Arab (Sumber: Anna Terezevich/Pexels.com)

Sinopsis Novel

ADVERTISEMENT
Novel Season of Migration to the North adalah novel berbahasa Inggris yang diterjemahkan dari bahasa Arab dengan judul asli Mausim al-Hijrah Ila as-Syimal. Novel ini merupakan karya penulis sastra Arab terkenal berkebangsaan Sudan bernama Tayeb Salih.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali hal yang bisa kita petik dari novel fenomenal ini. Dan, tentu saja, isi dari novel tersebut masih terus didiskusikan hingga sekarang. Novel yang bertema pascakolonial ini meraih banyak penghargaan dan menjadi salah satu novel sastra Arab modern terbaik.
Season of Migration to the North memang unik. Penulisannya menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan. Ya, Narator di sini bukanlah tokoh utama dalam cerita. Mustafa Said-lah yang menjadi tokoh utamanya.
Narator, tokoh aku yang tidak disebutkan namanya, merupakan seorang laki-laki yang sudah tujuh tahun lamanya meninggalkan negerinya, Sudan, untuk menuntut ilmu di Eropa. Kepulangannya dari sana disambut dengan meriah oleh warga sekitar, kecuali seorang laki-laki yang ia lihat hanya berdiam diri saja. Hal tersebut seolah-olah meruntuhkan rasa superior si Narator yang mengakibatkan ia mulai bertanya-tanya perihal siapa laki-laki asing tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah bertanya kepada keluarganya, diperoleh jawaban bahwa laki-laki tersebut bernama Mustafa Said. Laki-laki yang berasal dari Khartoum dan sudah tinggal di desa Wan Hamid selama lima tahun lamanya. Ia (Mustafa) membeli tanah, ladang, dan rumah di situ serta menikah dengan anak Mahmud yang bernama Husna.

Tentang Husna dan Perlawanannya

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kebanyakan penelitian yang dilakukan pada novel ini hanya berkisar pada tokoh Mustafa Said dan tokoh Aku yang bisa dikatakan sebagai produk pascakolonial sebagaimana genre dari novel itu sendiri. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengulik mengenai satu lagi tokoh di dalam novel tersebut yang bernama Husna binti Mahmud yang sangat menarik jika dianalisis.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Husna merupakan istri dari Mustafa di desa. Sepeninggalnya Mustafa, karena tenggelam di sungai saat banjir melanda, ia tinggal bersama kedua anak laki-lakinya yang bernama Mahmud dan Said. Mustafa memberikan wasiat kepada tokoh Aku agar menjadi wali mereka. Ya, bukan orang tua Husna, tetapi tokoh Aku yang ditunjuk sebagai wali. Ia (tokoh Aku) bertanggung jawab atas kehidupan Husna dan anak-anaknya.
Status Husna yang menjadi janda muda membuat laki-laki di desanya tertarik dan ingin menikahinya, termasuk tokoh Aku. Disebutkan secara tidak rinci di dalam novel bahwasanya tokoh Aku sudah menikah dan memiliki seorang putri yang tinggal di Khartoum, tempatnya bekerja di Departemen Pendidikan.
Tokoh Aku dan keluarganya terkenal sebagai penganut monogami, sehingga ia berusaha menyingkirkan perasaannya pada Husna dan mencoba memikirkan jalan keluar yang terbaik. Lalu, setelah beberapa waktu menikmati liburan di desa, ia kembali lagi ke Khartoum untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Bendera Negara Sudan (Sumber: Pexels.com)
Wad Reyyes, seorang penduduk desa yang terkenal suka menikah, berencana untuk menikahi Husna. Ia sudah meminta restu kepada ayah dan kakak laki-laki Husna untuk melangsungkan pernikahan. Mereka berdua setuju, tetapi Husna menolaknya mentah-mentah.
Sudah jamak diketahui bahwasanya pada masa itu suara perempuan tidak didengarkan bahkan cenderung diabaikan. Perempuan diharuskan menuruti perintah orang tuanya dalam urusan pernikahan dan tidak punya pilihan.
Mengetahui akan dinikahkan secara paksa, Husna berusaha melawan dengan cara mendatangi rumah tokoh Aku secara langsung dan meminta kepada orang tuanya agar menikahkan mereka berdua. Keluarga tersebut hanya diam tidak memberinya tanggapan bahkan mengabaikan. Akhirnya pernikahan antara Husna dan Wad Reyyes pun dilangsungkan.
ADVERTISEMENT
Dua minggu berjalannya rumah tangga mereka, Husna tidak pernah mengajak bicara kepada Wad Reyyes. Mereka saling diam meskipun tinggal di bawah atap yang sama. Tetangga mereka mengetahui hal tersebut dan merasa prihatin.
Peta negara Sudan dan sekitarnya (Sumber: Anthony Beck/Pexels.com)
Suatu hari, terdengar suara jeritan yang keras. Jeritan Wad Reyyes. Para tetangga menerka bahwasanya itu adalah pertanda baik karena artinya mereka berdua sedang melakukan hubungan suami istri. Suara tersebut semakin terdengar nyaring dan memekakan telinga.
Mereka berbondong-bondong mendekat untuk memastikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka kaget ketika melihat keduanya sudah tewas dalam keadaan telanjang. Terdapat luka tikaman di tubuh Wad Reyyes, yang paling parah adalah ada tikaman di jantungnya. Itulah yang diperkirakan membuat tewasnya Wad Reyyes.
Di tubuh Husna terdapat banyak luka bekas cakaran dan yang paling parah adalah ada bekas gigitan di puting payudaranya. Husna melakukan bunuh diri ketika memastikan Wad Reyyes sudah meninggal. Peristiwa tersebut menggegerkan warga setempat dan memutuskan untuk mengubur mereka berdua dengan cara yang tidak hormat. Ayah Husna merasa malu akibat peristiwa tersebut dan mengurung diri di dalam rumahnya.
ADVERTISEMENT
Bisa disimpulkan bahwasanya Husna melakukan perlawanan dengan berbagai cara. Pertama, ia mengajak menikah tokoh Aku dan mendatangi langsung orang tuanya. Hal tersebut dianggap tidak lazim dilakukan perempuan pada masa itu (bahkan saat ini) karena laki-lakilah yang seharusnya datang untuk menikahinya. Kedua, Husna membunuh Wad Reyyes dan melakukan bunuh diri akibat pernikahan yang dipaksakan padanya. Dari cerita ini kita bisa mengambil pelajaran untuk tidak memaksakan kehendak kita pada orang lain.