Sri Mulyani di Depan Komisi XI: Semakin Banyak Orang Menghindari Pajak

29 Mei 2017 12:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembahasan Perppu Nomor 1/2017 di Komisi XI (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani hari ini menghadap Komisi XI DPR RI untuk membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
ADVERTISEMENT
Dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng ini, Sri Mulyani juga didampingi oleh Sekjen Kemenkeu Hadiyanto, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, dan beberapa pejabat eselon I dan II di lingkungan Kemenkeu. Rapat dimulai sekitar pukul 11.00 WIB di Ruang Rapat Komisi XI, Gedung Nusantara I, DPR, Jakarta.
Dalam pembahasannya, Sri Mulyani menjelaskan mengenai latar belakang dibuatnya aturan keterbukaan informasi perpajakan tersebut. Menurutnya, salah satu sumber pendanaan untuk perekonomian di seluruh dunia adalah penerimaan pajak, namun semakin majunya teknologi dan terbatasnya akses keuangan, semakin banyak juga orang yang menghindari pajak atau tax avoidance.
"Salah satu modusnya adalah menggeser profit atau menyimpan dananya ke negara suaka pajak atau tax haven. Semakin banyak orang yang tidak melaporkan keuntungan atau profitnya, selain itu adanya keterbatasan data untuk mengakses informasi perpajakan," ujar Sri Mulyani di Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta, Senin (29/5).
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Lebih lanjut ia mengatakan, pada tahun 2008 pihak intelijen AS berhasil menemukan dan membuktikan bahwa sebagian besar wajib pajak AS yang mengelak pajak menyembunyikan dananya di Swiss. Setelah kejadian tersebut, pemerintah AS mengenakan denda dan mewajibkan bank untuk memberikan informasi lebih dari 5 ribu rekening nasabahnya ke otoritas pajak.
Karena kejadian tersebut, AS juga membuat perjanjian Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) bagi seluruh warga AS di luar negeri.
Pada dasarnya, FATCA merupakan unilateral policy dari pemerintah AS yang akan segera diterapkan dalam rangka menjaring informasi mengenai pergerakan dana penduduk AS di luar negeri.
ADVERTISEMENT
FATCA mengharuskan adanya pelaporan dari Foreign Financial Institution (FFI) di luar AS kepada pemerintah AS dan memberlakukan non-compliance penalty berupa 30 persen with holding tax atas dana yang dikeluarkan dari AS bagi FFI yang tidak patuh.
"Pada 2010 AS mengharuskan lembaga keuangan asing untuk memberikan informasi nasabah mereka ke otoritas pajak AS, ini mencerminkan, negara semaju AS saja kesulitan untuk menangani pengelakan pajak karena dilindungi di luar negeri. Akhirnya negara-negara G20 menyepakati kebijakan tersebut dapat diberlakukan di seluruh dunia untuk menghindari pengindaran pajak," jelasnya.
Meski demikian, untuk dapat bergabung, pemerintah Indonesia perlu dasar hukum yang kuat. Salah satunya dengan dieterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tersebut, sebagai pengganti UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang masih dalam pembahasan DPR.
ADVERTISEMENT