Konten dari Pengguna

Kekerasan Meluas Di Ruang Digital, Tokoh Politik Tak Luput Jadi Sasaran

Dheavica Angelie
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
9 November 2024 15:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dheavica Angelie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media digital hadir sebagai salah satu sarana untuk kita berekspresi. Di samping itu, masyarakat juga turut menjadikan media sosial yang merupakan bagian dari digital sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi. Tingginya pengguna media digital mempermudah kita untuk saling berkomunikasi. Berkomunikasi menggunakan media digital memungkinkan kita untuk menyampaikan pandangan kita secara langsung dan lebih luas.
ADVERTISEMENT
Banyak dampak positif yang bisa didapatkan masyarakat dari adanya media digital ini, salah satu contoh diantaranya adalah mempermudah dalam mendapatkan informasi. Namun, ibarat dua sisi koin yang tak bisa dilepaskan, media digital juga turut membawa dampak negatif seperti munculnya ujaran kebencian di media sosial. Penggunaan bahasa dalam media digital dapat mempengaruhi seseorang merasa marah, kesal, terprovokasi, merasa terancam, bahkan sampai menjadikan nyawa sebagai taruhannya.
Kehadiran media digital menjadi ruang baru yang memungkinkan terjadinya kekerasan di dalamnya. Media digital bisa menjadi mimpi buruk bagi para penggunanya. Salah satu sisi gelap yang tak bisa luput dari media digital adalah pelanggaran hak privasi dan cyberbullying. Media digital khususnya media sosial merupakan ruang dimana kebebasan berkomentar seringkali dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Kesempatan anonimitas pengguna yang disediakan oleh media digital kerap dijadikan tameng dan menciptakan ilusi rasa aman karena identitasnya tersembunyi di balik layar. Disajikannya fitur anonimitas menjadikan pengguna media digital dibuat lupa mengenai batasan terkait etika dan kebebasan berekspresi. Adanya kebebasan ini menjadi potensi terjadinya perilaku kekerasan seperti ujaran kebencian, cyber harassment, pencemaran nama baik, doxing, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Perempuan dan anak-anak menjadi korban yang paling sering mendapat perilaku kekerasan. Selain perempuan dan anak-anak, tokoh politik pun tidak luput menjadi korban kekerasan di media digital. Kekerasan di ranah digital terhadap tokoh politik dialami oleh laki-laki dan perempuan tanpa pandang bulu. Baik politisi laki-laki maupun perempuan kerap menerima serangan dalam bentuk ancaman, pelecehan, sampai fitnah yang berujung pada perusakan reputasi.
Mahatma Gandhi menyatakan bahwa penghapusan kekerasan bisa terjadi jika kita tahu penyebabnya. Dalam kasus ini, media digital digunakan oleh para tokoh politik sebagai salah satu alat untuk mereka berkampanye. Tingkat kekerasan terhadap tokoh politik di media digital akan meningkat selama masa kampanye berlangsung. Akar penyebab terjadinya kekerasan pada tokoh politik biasanya meliputi kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap “elit penguasa”, adanya polarisasi yang disengaja, bahkan karena provokasi digital oleh tokoh politik oposisi.
ADVERTISEMENT
Adanya perbedaan pandangan politik sering membuat orang emosi dan terpicu untuk melakukan kekerasan kepada tokoh politik yang mereka tidak setujui. Hoax di media digital kemudian memperburuk keadaan. Penyebaran informasi yang tidak benar atau bahkan yang sengaja diputarbalikkan sering sekali menjadikan tokoh politik sebagai sasarannya. Hal itu bisa menyebabkan masyarakat yang kurang kritis langsung menyerang tokoh politik meskipun informasi yang beredar di media digital tersebut tidak akurat.
Di Indonesia sendiri, fenomena kekerasan terhadap tokoh politik menjadi fenomena yang sudah tak asing lagi. Para tokoh politik tak pernah luput mendapatkan ujaran kebencian di media digital. Ujaran kebencian didefinisikan oleh PBB sebagai apapun bentuk komunikasi yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan dan diskriminatif terhadap individu berdasarkan etnis, agama, kebangsaan, ras, keturunan, warna kulit, atau bahkan jenis kelamin. Tokoh politik seringkali menerima kekerasan verbal yang merendahkan, menghina, atau menyerang identitas mereka.
ADVERTISEMENT
Kalyanamitra (24/6/2024) telah mendokumentasikan bentuk-bentuk kekerasan politik ataupun kekerasan berbasis gender selama pemilu 2024. Berdasarkan data tersebut, dijelaskan bahwa masa pemilu 2024 perempuan yang aktif dalam mencalonkan diri dalam pemilu masih mengalami beragam diskriminasi. Tokoh politik perempuan masih dihadapkan dengan diskriminasi dengan narasi “perempuan haram menjadi pemimpin”. Mereka banyak mendapatkan olok-olok dan kekerasan verbal dalam media digital.
Salah satu etika yang sering diabaikan para pengguna media digital adalah tidak menempatkan dirinya sebagai ahli dalam suatu subjek yang sebenarnya tidak mereka pahami. Dalam konteks kekerasan di media digital, hal ini dapat memicu emosi dan menimbulkan konflik. Pada akhirnya, hal tersebut dapat berujung pada kekerasan verbal dan ujaran kebencian.
Hadirnya fenomena buzzer politik turut memperparah terjadinya kekerasan terhadap tokoh politik. Fenomena buzzer politik berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan media digital. Buzzer politik kerap menjadi aktor yang menyebabkan keosnya politik. Buzzer bahkan menjadi peluang kerja baru yang menawarkan bayaran yang menggiurkan. Para buzzer kerap mengkonstruksi narasi yang provokatif untuk menciptakan branding politik suatu kandidat. Hal tersebut menjadi lebih parah dengan disrupsi media digital yang tidak sepenuhnya menyediakan informasi yang valid.
ADVERTISEMENT
Para buzzer sering berperilaku seolah-olah mereka adalah ahli. Meskipun mereka sering kali tidak memiliki pemahaman yang memadai terkait isu yang mereka bicarakan. Memanfaatkan anonimitas, para buzzer dapat menyebarkan hoax dan disinformasi dengan cepat melalui media digital. Banyak misinformasi yang ditujukan untuk menjatuhkan reputasi tokoh politik tertentu. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan para tokoh politik kerap kali menerima banyak kekerasan di media digital.
Menanggapi permasalahan ini, pemerintah telah berusaha untuk memblokir konten yang mengandung ujaran kebencian. Namun, realitanya konten dengan ujaran kebencian masih terus bertebaran dalam media digital. Kebebasan berpendapat dan berekspresi memang menjadi hak warga negara dengan sistem demokratis. Namun, hal tersebut tidak boleh disalahgunakan dengan tidak memperhatikan aspek nilai, etik, dan moralitas. Dalam kondisi idealnya, dengan menggunakan logika dan etika, media digital dapat menjadi ruang demokrasi yang sehat tanpa kekerasan.
ADVERTISEMENT
Semua bentuk kekerasan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan wajib dihentikan.
https://www.bing.com/images/create
Kasus ini merupakan masalah yang kompleks yang membutuhkan kerja sama semua pihak. Pemerintah, tokoh politik, dan masyarakat umum sebagai pengguna media bertanggung jawab atas kasus kekerasan yang terjadi.
Setiap orang bertanggung jawab atas komunikasi yang dilakukannya, baik secara langsung maupun komunikasi dengan menggunakan media digital. Semua pengguna media digital baik tokoh politik maupun kita sebagai masyarakat umum wajib mengedepankan etika dalam bermedia.
Media digital menjadi ruang publik yang di dalamnya memerlukan kesadaran akan dampak dari setiap kata dan tindakan yang kita lakukan disana. Baik ketika menyampaikan pendapat ataupun menyebarkan informasi, kita semua perlu untuk mengedepankan fakta. Selain itu, bersikap skeptis sambil mengedepankan berpikir rasional dan menjaga rasa saling hormat perlu menjadi petunjuk arah ketika menggunakan media digital.
ADVERTISEMENT
Tidak tepat jika ketidaksetujuan dan ketidakpercayaan terhadap tokoh politik diluapkan dengan melakukan kekerasan sebagai reaksinya. Ketika hendak memberikan kritik pada tokoh politik maupun pada siapapun, kritik hendaknya ditujukan pada kebijakannya.
Tidak ada bentuk kekerasan yang dibenarkan meskipun dilandasi atas ketidakpercayaan dan ketidaksukaan terhadap semua orang, termasuk terhadap tokoh politik. Media digital seharusnya menjadi platform untuk berekspresi dengan sehat, bukan arena untuk melakukan kekerasan terhadap siapapun.