Konten dari Pengguna

Hari Ibu: Belajar Keteladanan dari Emak dan Bapak

Dikdik Baehaqi Arif
Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Ahmad Dahlan
23 Desember 2022 20:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dikdik Baehaqi Arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Emak dan Bapak, sumber keteladanan untuk anak-anaknya. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Emak dan Bapak, sumber keteladanan untuk anak-anaknya. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Setiap memasuki Hari Ibu, ramai orang mengekspresikan kecintaan dan penghormatannya untuk ibu, emak, bunda, mami, dan sebutan lainnya untuk insan yang telah melahirkan kita. Rasanya sangat pantas dan sudah sewajarnya itu dilakukan, sebab setiap tanggal 22 Desember tersebut kita peringati sebagai Hari Ibu.
ADVERTISEMENT
Peringatan nasional itu merujuk pada pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia I, pada 22-25 Desember 1928 yang lalu di Yogyakarta. Melalui Kongres Perempuan Indonesia I, para perempuan Indonesia yang mewakili 30-an organisasi perempuan itu berhasil merumuskan tujuan mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan wanita Indonesia.
Tulisan ini tidak akan banyak menguraikan sejarah dan makna di balik Kongres Perempuan Indonesia I yang sudah banyak dikupas orang. Namun, tulisan ini hendak bercerita tentang sosok Emak (demikian panggilanku untuk ibu) dan Bapak di rumah yang pantas menjadi teladan untukku dan anak-anaknya yang lain.
Rasanya banyak sekali memori masa kecil yang terlintas ketika menulis cerita ini. Dari sekian banyak kenangan yang ada, keteladanan Emak dan Bapa adalah cerita sendiri yang mewarnai perjalan hidupku saat ini.
ADVERTISEMENT
Emak adalah ibu yang hebat, wanita pendiam yang tidak banyak mengeluh. Sosok sederhana yang setia menemani Bapak yang seorang guru honorer di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah yang terletak 30 menit perjalanan jalan kaki. Tidak tahu sejak kapan Bapak menjadi guru. Seingatku sebelum aku masuk sekolah dasar, Bapak sudah mengajar, pergi dan pulang dari sekolah jalan kaki, melewati pematang sawah.
Tidak tahu pula apa golongan/pangkatnya sebagai guru, karena Bapak bukanlah lulusan dari pendidikan sarjana keguruan. Bapak adalah lulusan Mu'allimin (setingkat SMA) di Kota Bandung yang kembali ke kampung halaman untuk mengabdikan dirinya menjadi guru ngaji di masjid dan madrasah yang terletak di samping rumah, sebelum akhirnya diminta untuk mengajar di sekolah formal.
ADVERTISEMENT
Tidak ada pekerjaan lain, kecuali menjadi buruh tani di sawah dan sesekali berkebun untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari kami di rumah. Semua pekerjaan itu dilakoninya dengan ikhlas, tanpa keluh kesah yang berarti.
Tidak jarang, Emak pergi mencari suluh (kayu bakar), menjadi buruh di masa tanam padi, buruh di masa membersihkan padi dari rumput-rumput liar yang tumbuh, dan karenanya Emak memiliki hak untuk menjadi buruh di masa memanen padi. Sewaktu kecil, jika Emak menjadi buruh di sawah, satu yang sering ditunggu anak-anaknya, nasi timbel yang dibawa Emak dari sawah.
Ya, nasi timbel ini adalah jatah makan siang yang diberikan pemilik sawah kepada Emak waktu bekerja di sawahnya. Timbel ini tidak pernah habis (atau mungkin sengaja tidak dihabiskan) dimakan Emak, selalu dibawa pulang ke rumah, dan menjadi rebutan anak-anaknya. Lauknya seringkali hanya goreng tempe, ikan asin, dan sambal terasi, tetapi anak-anaknya selalu merasa senang mendapatkan oleh-oleh dari sawah itu, sekalipun sisa Emak.
ADVERTISEMENT
Emak dan Bapak adalah sosok teladan bagi anak-anaknya. Keduanya saling melengkapi kekurangannya masing-masing, dan saling memahami posisinya masing-masing. Sekalipun hidup tidak selalu berkecukupan, tetapi ikhlas dijalani keduanya.
Tidak pernah anak-anaknya menyaksikan ada sesuatu yang diributkan di antara keduanya. Damai-damai saja rasanya. Kini, enam dari tujuh anaknya telah memiliki keluarga sendiri-sendiri, dan pasti banyak belajar dari Emak dan Bapak. Semoga Emak dan Bapak sehat selalu, aamiin!