Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mendidik Emosi: Perspektif Pendidikan di Balik Konflik dalam Pertemuan Dua Hati
30 Oktober 2024 17:43 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Dina Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertemuan Dua Hati adalah sebuah novel karya Nurhayati Srihardini, yang dikenal luas dengan nama pena NH. Dini. Novel ini mengusung tema yang mendalam tentang pendidikan, khususnya pendidikan dalam makna yang lebih luas, yang mencakup pendidikan karakter, nilai moral, dan pembentukan kepribadian melalui berbagai pengalaman hidup yang dialami oleh para tokoh di dalam cerita. Dalam novel ini, NH. Dini tidak hanya membahas pendidikan formal, tetapi juga pendidikan emosional dan sosial yang secara perlahan membentuk karakter individu.
ADVERTISEMENT
Novel ini menampilkan dua tokoh sentral, yaitu Bu Suci dan Waskito. Bu Suci merupakan seorang perempuan yang memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan dan nilai-nilai hidup kepada Waskito, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadirannya dalam hidup Waskito memberikan warna baru dalam perkembangan karakter Waskito sebagai anak muda yang mencari arah dan panduan hidup. Sosok Bu Suci digambarkan sebagai figur yang menginspirasi dan berusaha menanamkan pendidikan moral serta nilai kehidupan dalam diri Waskito, sehingga hubungan antara keduanya pun penuh dengan interaksi mendidik yang berdampak besar pada perkembangan Waskito.
Selain kedua tokoh utama tersebut, NH. Dini memperkaya ceritanya dengan sejumlah tokoh pendukung seperti suami Bu Suci, ketiga anaknya, uwak, kepala sekolah, nenek, dan bude Waskito. Masing-masing karakter pendukung ini memiliki peran yang signifikan dalam menghidupkan nuansa pendidikan yang ada dalam cerita. Tokoh-tokoh pendamping ini tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang cerita, tetapi juga turut memberikan pengalaman hidup dan pembelajaran yang memperkuat tema pendidikan dalam novel ini.
ADVERTISEMENT
Dengan susunan karakter yang beragam dan kompleks, NH. Dini berhasil menonjolkan pendidikan sebagai proses yang melibatkan banyak pihak dan berlangsung dalam berbagai situasi. Interaksi antara para tokoh ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui hubungan antara orang tua dan anak, guru dan murid, serta lingkungan sosial lainnya. Novel ini menjadi cermin bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter yang panjang dan membutuhkan berbagai unsur pembimbing dalam kehidupan seseorang.
Novel Pertemuan Dua Hati karya NH. Dini menggambarkan perjalanan Bu Suci sebagai seorang guru dengan latar belakang yang kompleks. Bu Suci sudah mengajar di Sekolah Dasar (SD) selama hampir sepuluh tahun di Purwodadi. Namun, karena suaminya dipindahtugaskan, Bu Suci pun harus meninggalkan tempat kerjanya yang sudah lama dan pindah ke Semarang. Perpindahan ini bukan sekadar perubahan lokasi, melainkan membawa serta dinamika baru dalam karier dan kehidupan keluarganya, yang memengaruhi bagaimana Bu Suci menjalani peran sebagai guru dan ibu dalam lingkungan baru.
ADVERTISEMENT
Tokoh Bu Suci, yang merupakan tokoh utama, sebenarnya tidak memiliki keinginan awal untuk menjadi guru. Cita-citanya sejak muda adalah menjadi sekretaris—a profesi yang ia bayangkan memberikan kesempatan untuk tampil rapi, berpakaian elegan, dan terlihat menarik. Ia mengangankan keseharian yang dihabiskan di kantor, mengenakan pakaian rapi, dan mengerjakan tugas-tugas administratif, jauh dari bayangan kehidupan seorang guru SD. Cita-cita ini menggambarkan keinginan Bu Suci untuk hidup dalam suasana profesional yang menurutnya lebih menarik dan prestisius.
Namun, pilihan hidup Bu Suci akhirnya ditentukan oleh kehendak orang tuanya, yang mengarahkan dirinya untuk mendaftar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Semarang. Dengan penuh rasa tanggung jawab dan penerimaan, Bu Suci akhirnya menjadi guru dan berkarier selama satu dekade di Purwodadi. Ketika ia terpaksa mengikuti suaminya ke Semarang, ia membawa serta ketiga anaknya, karena sang suami dipindahtugaskan oleh atasannya untuk memenuhi kebutuhan kerja bengkel di sana. Dalam peran sebagai seorang istri dan ibu, Bu Suci harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan kembali berjuang untuk menyeimbangkan karier dan keluarga di kota yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di Semarang, Bu Suci kembali mengajar di SD, kali ini menggantikan seorang guru yang mengalami kecelakaan. Ia mengajar kelas 3 dan bertanggung jawab atas dua kelas sekaligus. Pada hari-hari awal, transisi ini berjalan mulus—pekerjaannya sebagai guru dan urusan rumah tangga dapat diatur tanpa masalah. Namun, mulai hari keempat, ia menghadapi tantangan yang tidak terduga: seorang murid bernama Waskito tidak hadir di kelas. Melalui informasi dari siswa-siswa lain, Bu Suci mengetahui bahwa Waskito adalah anak yang dikenal kasar, sulit diatur, dan sering berbuat nakal. Kehadiran Waskito menjadi tantangan baru bagi Bu Suci, yang harus menghadapi seorang siswa dengan karakter yang sulit dalam upayanya memberikan pendidikan dan bimbingan. Ini menguji ketangguhan, kesabaran, dan keterampilan mengajarnya di lingkungan yang baru.
ADVERTISEMENT
Dalam novel ini, NH. Dini memperlihatkan perjuangan seorang perempuan yang menghadapi berbagai tekanan dan perubahan dalam kehidupan profesional dan keluarga. Melalui karakter Bu Suci, pembaca disajikan refleksi tentang pengorbanan, tanggung jawab, dan perjalanan hidup seorang guru yang harus menemukan keseimbangan antara cita-cita pribadi, kebutuhan keluarga, dan dedikasi untuk mendidik anak-anak di sekolah.
Dalam novel Pertemuan Dua Hati, tokoh Waskito digambarkan sebagai anak yang bermasalah dengan perilaku yang sering kasar dan sulit diatur. Tidak hanya dihindari oleh teman-teman sekelasnya, Waskito bahkan dikenal di seluruh sekolah karena kelakuannya yang cenderung mengintimidasi dan membuat suasana kelas menjadi tidak kondusif. Situasi ini membuatnya menjadi murid yang dibenci dan dijauhi. Namun, karakter Bu Suci, sebagai seorang guru yang penuh empati dan dedikasi, tergerak untuk membantu Waskito dan melihat melampaui perilaku kasarnya. Bu Suci memahami bahwa peran pendidik tidak sebatas memberikan ilmu pengetahuan di depan kelas; ia juga bertanggung jawab untuk membentuk karakter murid-muridnya agar mereka tumbuh dengan nilai-nilai moral dan kepribadian yang baik.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Waskito meluapkan amarahnya pada saat jam istirahat, menyebabkan keresahan di sekolah. Situasi ini membuat beberapa guru merasa bahwa Waskito sudah melewati batas dan mengusulkan agar ia dikeluarkan dari sekolah demi kebaikan siswa lain. Namun, Bu Suci merasa bahwa Waskito masih bisa dibimbing dan meminta kepala sekolah untuk memberinya kesempatan selama satu bulan untuk mencoba membantu Waskito berubah. Kepala sekolah akhirnya memberikan izin kepada Bu Suci untuk mencoba pendekatan ini.
Selama bulan tersebut, Bu Suci meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan Waskito, menjalin kedekatan yang didasarkan pada perhatian dan kepedulian yang tulus. Bu Suci menggunakan pendekatan hati ke hati, mendengarkan keluhannya, dan berusaha memahami akar dari perilaku Waskito. Berkat pendekatan yang penuh kasih sayang ini, Bu Suci berhasil mendapatkan kepercayaan Waskito, yang secara perlahan mulai menunjukkan perubahan perilaku. Selama proses ini, Waskito tidak hanya mengubah sikapnya terhadap teman-temannya, tetapi juga mulai memperbaiki nilainya di sekolah, yang tercermin dari rapor yang menunjukkan angka-angka normal.
ADVERTISEMENT
Di akhir tahun pelajaran, Waskito berhasil naik kelas, yang merupakan bukti nyata dari perubahan positif yang dicapai berkat bimbingan dan kesabaran Bu Suci. Perubahan ini membuat Bude Waskito merasa sangat bersyukur dan terharu atas usaha Bu Suci. Ia datang ke sekolah untuk mengucapkan terima kasih kepada Bu Suci, kepala sekolah, dan para guru lainnya yang telah berperan dalam membantu Waskito. Keberhasilan Bu Suci dalam membimbing Waskito mencerminkan peran seorang pendidik yang tidak hanya bertugas mendidik secara akademis tetapi juga mendidik hati dan karakter anak didiknya. Novel ini menyampaikan pesan yang kuat bahwa dengan pendekatan yang penuh kasih sayang dan kesabaran, seorang pendidik mampu mengubah kehidupan anak yang mungkin hanya memerlukan pemahaman dan perhatian.
Bu Suci dalam menunjukkan dedikasi yang tulus dan profesional sebagai seorang pendidik di sekolah dasar. Ia tidak sekadar bekerja untuk memperoleh penghasilan, tetapi membawa semangat dan daya juang yang tinggi dalam mendidik murid-muridnya, bukan hanya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai figur ibu di sekolah. Sebagai "orang tua kedua," Bu Suci memahami bahwa tanggung jawab seorang pendidik tidak hanya terletak pada pencapaian akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan pengembangan potensi murid-muridnya. Pertanyaan penting yang diajukan dalam cerita ini adalah: jika guru disebut sebagai "orang tua kedua," mengapa banyak yang masih fokus pada nilai akademik, mengesampingkan akhlak dan bakat siswa?
ADVERTISEMENT
Komitmen Bu Suci yang lebih luas ini menjadi cermin bagi pendidik lainnya, menekankan bahwa peran guru harus melampaui angka-angka di rapor. Ia menanamkan nilai-nilai disiplin, kemandirian, cinta tanah air, dan kepedulian sosial pada murid-muridnya, berharap mereka tumbuh sebagai individu yang berkarakter baik dan peduli. Keseriusannya sebagai seorang pendidik yang benar-benar memperhatikan perkembangan karakter murid-muridnya menjadi teladan bagi para guru, mengingatkan mereka akan pentingnya fokus pada nilai-nilai kehidupan, bukan sekadar prestasi akademik.
Buku ini, meski sudah terbit 37 tahun yang lalu, tetap relevan. NH. Dini menggambarkan Bu Suci sebagai sosok guru yang membentuk karakter Waskito, yang awalnya dikenal kasar dan penuh amarah, menjadi siswa yang lebih baik. Kisah Bu Suci dan perjuangannya dalam mendidik memberikan gambaran nyata tentang pentingnya pendidikan karakter bagi masa depan anak-anak dan generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, novel ini mencerminkan pentingnya pendidikan karakter sebagai landasan untuk mencetak generasi yang berintegritas. Sayangnya, sistem pendidikan Indonesia masih cenderung berfokus pada capaian akademis dan kurang mengakomodasi pembentukan karakter yang holistik. Tokoh Bu Suci menjadi cerminan ideal dari guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membimbing dengan ketulusan hati, memberikan teladan bagi para pendidik di Indonesia untuk menanamkan nilai-nilai moral, disiplin, dan kepedulian sosial pada anak didiknya. Novel ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang intensif dan konsisten dapat memberikan dampak besar dalam membentuk masa depan generasi muda yang berbudi luhur, suatu elemen yang sangat relevan dalam pendidikan Indonesia saat ini.