Perdamaian Aceh dan Pencalonan SBY-JK

Dipo Alam
Aktivis dambakan adab ketika dipimpin dan memimpin
Konten dari Pengguna
18 Maret 2021 17:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dipo Alam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dipo Alam, Anggota Tim Desk Aceh
Sejak pertama kali bergabung dalam penanganan konflik Aceh di masa pemerintahan Presiden Megawati, saya segera mengetahui bahwa sebenarnya pemerintah sudah lelah dan kehabisan energi dalam menangani konflik yang telah berlangsung sejak 1976 itu. Sudah beberapa presiden memimpin republik ini, mulai dari Pak Harto, Habibie, Gus Dur, hingga Megawati, namun konflik tersebut tak kunjung usai. Semakin intim dengan penanganan konflik Aceh, bagi saya kesimpulannya semakin jelas: We cannot win the war! Kita tak bisa memenangkan konflik Aceh dengan perang, sehingga diperlukan pendekatan baru yang bersifat multidimensional untuk menanganinya.
ADVERTISEMENT
Untungnya, ketika Presiden Megawati menggantikan Gus Dur, ia tetap mempertahankan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menko Polkam. Selaku Menko Polkam, SBY mengambil tindakan inovatif dengan membentuk Desk Aceh di kementerian yang dipimpinnya. Desk itu dibentuk sebagai upaya untuk menyelesaikan urusan keamanan dan proses perdamaian di Aceh dengan lebih fokus dan intensif. Pembentukan desk ini adalah sebuah langkah maju.
Secara teknis, Desk Aceh dipimpin oleh Sudi Silalahi, yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Kemenko Polkam. Sementara anggota timnya berasal dari berbagai kementerian. Saya, yang ketika itu menjabat Deputi Menko Perekonomian, ditugaskan oleh Menko Dorodjatun Koentjoro-Jakti untuk mewakili Kemenko Perekonomian di desk tersebut.
Walaupun berangkat dari latar belakang militer, SBY akrab dengan gagasan-gagasan demokrasi dan pembaharuan politik. Itu sebabnya, sesudah Reformasi bergulir, ia segera tampil menjadi tokoh yang sangat menonjol dalam menawarkan gagasan tentang reformasi di tubuh TNI (Tentara Nasional Indonesia). Gagasan-gagasan reformisnya ini juga banyak mempengaruhi perjalanan perundingan damai yang dikerjakan oleh Tim Desk Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebagai perwakilan Kemenko Perekonomian di Desk Aceh, saya tahu persis bahwa SBY sejak awal menekankan jika solusi perdamaian adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan operasi militer atau tempur. Bagi SBY, perdamaian adalah satu-satunya opsi untuk mengatasi konflik Aceh.
Namun, sebagai bawahan presiden, ketika itu SBY juga cukup paham jika pandangannya tidaklah sepenuhnya mewakili pandangan pemerintah. Banyak seniornya, bahkan kolega seangkatannya di militer, misalnya, memiliki pandangan yang berbeda dalam menangani Aceh. Begitu juga halnya di kabinet. Di tengah perbedaan pandangan itu, seperti biasa SBY tidak pernah bersikap frontal. Sebagai Menko Polkam, ia berusaha mendorong agar keluarga besarnya di TNI tidak berbenturan dengan tuntutan reformasi dan agenda demokratisasi yang baru saja bergulir.
Berbeda dengan kondisi hari ini, pada waktu itu jalan perdamaian bukanlah opsi yang populer, bukan hanya di kalangan militer Indonesia, tapi juga di kalangan sipil. Golongan nasionalis yang ada di parlemen, misalnya, tidak mudah menerima opsi perdamaian Aceh ini. Bagi mereka, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah kelompok separatis, sehingga berunding dengan pemberontak dianggap bisa merendahkan derajat pemerintah Indonesia. Tetapi, SBY tetap yakin perdamaian adalah jalan terbaik.
ADVERTISEMENT
Keyakinan itu tentunya bukan tanpa analisis. Ketika berlangsung Konferensi Persiapan Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh (Preparatory Conference on Peace and Reconstruction in Aceh) di Tokyo tanggal 3 Desember 2002, kami melihat jika opsi merdeka yang diupayakan oleh GAM sulit untuk terwujud, sebab tidak ada satupun lembaga internasional dan negara kuat yang membela mereka. Kami melihat, kasus Aceh ini akan berbeda nasibnya dengan ketika Timor Timur lepas pada tahun 1999.
Dalam pertemuan di Tokyo itu—sehingga disebut juga sebagai Tokyo Meeting—pihak World Bank, Asia Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), serta 23 negara peserta, tidak satupun yang mendukung GAM. GAM pastinya juga memperhatikan hal ini, sehingga satu-satunya jalan realistis yang bisa mereka tempuh adalah menerima proposal perdamaian. Dalam konferensi tersebut, saya kebetulan menyampaikan presentasi mewakili Menko Perekonomian, dan Pak SBY presentasi sebagai Menko Polkam. Selain kami berdua, Abdullah Puteh, sebagai Gubernur Aceh, juga menjadi pembicara. Sebagai catatan, dalam konferensi ini yang bertindak selaku tuan rumah adalah Jepang, Amerika Serikat, dan World Bank.
ADVERTISEMENT
Konferensi di Tokyo adalah pertemuan pendahuluan sebelum berlangsungnya perundingan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement), di Jenewa, Swiss, yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue. Pertemuan yang berlangsung tanggal 9 Desember 2002 itu adalah pertama kalinya Pemerintah Indonesia, secara internasional dan resmi melakukan negosiasi langsung proses perdamaian dengan GAM. Sebelumnya memang pernah juga dilakukan pertemuan negosiasi, tapi tidak seserius pertemuan yang melahirkan CoHA tersebut.
Keterangan foto: Saya bersama Menko Polkam SBY dan Gubernur NAD (Nangroe Aceh Darussalam) Abdullah Puteh dalam Tokyo Meeting, 3 Desember 2002 (Foto: Associated Press)
Di Jenewa, ada satu fragmen yang masih terus saya ingat hingga kini. Sewaktu para delegasi sedang sarapan pagi, satu jam sebelum pertemuan dengan delegasi GAM di Henry Dunant Center berlangsung, tiba-tiba ada telepon dari Tanah Air kepada Pak SBY. Telepon berasal dari Panglima TNI yang memberi tahu jika mereka sudah berada di Aceh dan pasukan TNI telah berada pada posisi siap untuk menggempur seluruh kekuatan GAM. Panglima mengatakan kepada SBY agar perundingan di Henry Dunant Center tidak perlu dilanjutkan, karena para pimpinan GAM di Aceh tinggal ditembak mati atau ditangkap saja.
ADVERTISEMENT
Menanggapi permintaan dari Panglima tersebut, SBY tegas menolak. “Kita tinggal satu jam lagi ke Henry Dunant Center, jadi tidak boleh ada operasi militer. Tidak ada!” tegasnya.
Meskipun bukan orang militer, saya tahu jika telepon dari panglima itu hanyalah sesumbar saja. Jika TNI dapat mengepung GAM semudah itu, tentunya konflik di Aceh tidak akan berlangsung selama itu. Sebagai pemilik otoritas politik dan keamanan, meski digertak demikian, SBY tetap teguh pada pandangannya bahwa proses perdamaian telah diatur dan akan tetap dilanjutkan. Belakangan, saya juga mengetahui, bahwa ketika panglima sedang menelepon ke Jenewa tersebut, ada seorang jenderal di ruangan yang sama yang melontarkan kata-kata tidak elok terhadap SBY.
“Begitulah kalau jenderal kelewat pinter, jadinya, ya, bodoh,” ujarnya, sesudah mendengar respons dari SBY untuk menahan operasi militer.
ADVERTISEMENT
Kesaksian mengenai ucapan yang tidak pantas itu saya dengar dari seorang dokter. Ketika itu ia kebetulan ada di ruangan yang sama dengan panglima dan lain-lainnya. Dokter tersebut menceritakan kesaksiannya kepada saya selang beberapa tahun kemudian.
Pertemuan di Jenewa itu sebenarnya bisa menghasilkan langkah maju yang signifikan. Namun, karena Jakarta bersifat setengah hati mendukung upaya itu, pertemuan itu akhirnya gagal mencapai kesepakatan yang memuaskan. Sebagai catatan, perundingan di Jenewa tersebut dilakukan oleh juru runding dari Kementerian Luar Negeri. Sebagai Menko Polkam, SBY tidak menjadi juru runding. Ia hadir ke Jenewa hanya untuk memberi penegasan kepada pihak GAM bahwa pemerintah Indonesia memang serius berunding untuk menciptakan perdamaian dan membangun kembali Aceh.
Secara umum, pertemuan itu bisa dibilang gagal karena pihak GAM ketika itu tidak mau menyerahkan senjatanya. GAM hanya mau menghentikan perlawanan jika pihak TNI juga menghentikan operasi militernya. Dalam pengamatan saya, seandainya pimpinan tim perunding kita bisa lebih lunak, kesepakatan damai yang lebih maju sebenarnya bisa dicapai. Namun, barangkali demikianlah garis sejarah. Alih-alih maju, proses jalan damai itu bahkan mundur kembali (setback). Pada bulan Mei 2003, pemerintah bahkan kembali melakukan operasi militer, yang semakin memperkeruh keadaan dan mengeskalasi kekerasan di Aceh.
ADVERTISEMENT
Belakangan saya menilai, upaya perdamaian yang diperjuangkan oleh SBY memang sengaja dibuat gagal, atau paling tidak tak dibiarkan berjalan mulus. Sebab, jika upaya itu bisa berhasil, SBY akan mendapatkan kredit politik yang besar.
Penilaian bahwa Jakarta bersikap setengah hati memang banyak terlontar ketika itu. Berbagai pihak yang berkepentingan di Aceh juga menilai kegagalan perundingan di Jenewa adalah karena pemerintah dianggap bersikap setengah hati. TNI dan Polri, misalnya, masih saja bersikap represif, padahal ketika itu angin Reformasi juga telah bertiup ke Aceh.
Sebagai anak buah di Desk Aceh, selain harus melapor kepada Menko Perekonomian, saya juga rutin memberikan laporan kepada Menko Polkam. Di situlah saya banyak berinteraksi dengan SBY. Suatu kali, sesudah saya melakukan kunjungan kerja ke Aceh bersama Menko Perekonomian Dorodjatun Koentjoro-Jakti, saya menemui Pak SBY di rumah dinasnya di Widya Chandra, untuk melaporkan perkembangan situasi Aceh.
ADVERTISEMENT
Ketika itu koran-koran sudah mulai ramai memberitakan kalau SBY telah dikucilkan oleh Presiden Megawati. Dalam sejumlah rapat kabinet, ia tak lagi diundang. Dalam sebuah rapat Desk Aceh, yang dihadiri oleh para pejabat sejumlah kementerian, saya mendengar sendiri Pak SBY bertanya kepada Pak Sudi.
“Saya dengar kemarin ada rapat kabinet, apakah ada undangan buat saya kemarin?” tanyanya.
Sudi Silalahi, yang ditanya, menggelengkan kepalanya. “Kemarin tidak ada undangan, Pak,” jawabnya.
Hari itu, selain membahas soal Aceh, obrolan kami kemudian melebar ke berbagai isu politik. Ketika itu saya menangkap kesan bahwa Pak SBY kecewa dengan penanganan konflik Aceh yang kian mundur. Dua proses perundingan damai yang melibatkan komunitas internasional yang digagasnya, yaitu pertemuan di Tokyo dan Jenewa, pada akhirnya tak bisa melangkah jauh karena tidak ada dukungan sepenuh hati dari pemimpin nasional. Perhatiannya terhadap Aceh memang serius sekali. Saya tidak tahu apakah isu Aceh ini ikut mempengaruhi keputusan politiknya untuk maju menjadi calon presiden ataukah tidak, yang jelas dalam catatan saya, isu perdamaian di Aceh menjadi salah satu materi kampanye SBY pada Pemilihan Presiden 2004.
ADVERTISEMENT
Karena posisinya terus-menerus dipojokkan, dan kewenangannya sebagai Menko Polkam banyak dilangkahi, pada tanggal 11 Maret 2004, SBY akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari kabinet. Dalam wawancara dengan Rosiana Silalahi, beberapa hari setelah mundur, SBY menolak anggapan jika pengucilannya oleh Presiden Megawati adalah karena faktor ia berambisi menjadi presiden. Menurut SBY, jika anggapan itu dibenarkan, maka seharusnya pengucilan juga dilakukan terhadap Agum Gumelar dan Jusuf Kalla (JK), yang sudah jelas-jelas ikut Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, atau kepada Yusril yang jelas-jelas dicalonkan oleh partainya untuk menjadi calon presiden.
Kita memang hanya bisa menduga-duga saja alasan pengucilan tersebut. Yang jelas, berbeda dengan Agum, JK, Yusril, atau Hamzah Haz, yang dalam berbagai survei ketika itu tidak pernah mengungguli Megawati, nama SBY selalu unggul atas Megawati di berbagai survei. Dalam catatan saya, dibanding nama-nama menteri lain yang kemudian ikut berlaga dalam Pilpres 2004, SBY adalah orang pertama yang mengajukan pengunduran diri dari kabinet. Itu menunjukkan jika SBY berusaha untuk menjaga adab.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu saya menilai, sebagai bawahan Presiden, SBY sebenarnya selalu menjaga adabnya terhadap Megawati. Termasuk dalam kaitannya dengan Partai Demokrat. Kalau kita buka lagi arsip sejarah, sesudah kalah dalam pemilihan Wakil Presiden dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 25 Juli 2001, SBY memang telah mulai memikirkan untuk mendirikan partai politik. Ketika itu, memang ada dua opsi yang dipikirkan oleh SBY, yaitu ikut partai besar, atau mendirikan partai sendiri. Namun, SBY kemudian memutuskan untuk mendirikan partai sendiri sebagai kendaraan politiknya. Ia sendiri yang memilihkan namanya, yaitu Partai Demokrat.
Namun, saat SBY tengah sibuk merumuskan blue print partai, termasuk merancang AD/ART, Presiden Megawati yang baru saja menggantikan Gus Dur meneleponnya dan memintanya untuk kembali bergabung dalam kabinet sebagai Menko Polkam. Bersama dengan anggota Kabinet Gotong Royong lainnya, ia kemudian dilantik pada 10 Agustus 2001.
ADVERTISEMENT
Sesudah kembali masuk kabinet, SBY merasa ia tidak mungkin memegang kendali tertinggi atas partai yang baru dibesutnya. Itu sebabnya, kendali Partai Demokrat kemudian diserahkan kepada kawan-kawannya yang lain. Mengutip Usamah Hisyam (2004), SBY sebenarnya menyadari jika Partai Demokrat membutuhkannya menjadi pemimpin partai. Namun, dengan pertimbangan etika politik, SBY kemudian meminta Subur Budhisantoso untuk menjadi Ketua Umum, sementara sebagai pejabat tinggi negara ia memilih menjadi anggota biasa saja. Dengan posisi sebagai anggota itu SBY terus mengawal proses inisiasi Partai Demokrat. Begitulah cara SBY menjaga adab sebagai pejabat publik sekaligus bawahan Presiden Megawati.
Namun, sesudah mundur dari kabinet, SBY tentu saja tak lagi lagi terbelenggu oleh adab sebagai bawahan tadi. Ia bebas melakukan manuver politik apapun, termasuk maju menjadi calon presiden. Itu sebabnya, sebulan sesudah mundur dari kabinet, ia menggandeng Jusuf Kalla menjadi calon wakilnya, yang membuat JK mengundurkan diri dari Konvensi Partai Golkar yang tengah diikutinya.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri tadinya selalu mengira bahwa SBY sebenarnya menunggu dipinang menjadi wakilnya Presiden Megawati. Bagaimanapun, Megawati adalah presiden petahana, dan partainya adalah partai pemenang Pemilu 1999. Sementara, meski pernah dicalonkan sebagai calon wakil presiden pada Sidang Umum MPR tahun 2001, SBY hanya bermodalkan partai baru yang belum pernah ikut Pemilu. Dibanding Amien Rais yang dianggap sebagai Bapak Reformasi, atau Yusril yang merasa mewarisi tradisi Masyumi, basis sosial pendukung SBY juga masih belum teruji.
Sebagai tentara, ia juga bukan satu-satunya orang yang memiliki selling point identitas militer. Sebab ketika itu ada juga Wiranto, Agum Gumelar, dan juga Prabowo Subianto yang sedang berjuang mendapatkan tiket calon presiden dari Partai Golkar. Jadi, ia bukan satu-satunya jenderal di kontestasi elektoral tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, karena menunggu pinangan Megawati, SBY selalu bersikap wait and see. Jadi, berbeda dengan lawan-lawan politiknya yang menganggap wait and see ini sebagai sikap tidak gentlemen, menurut saya SBY mengambil sikap itu justru untuk menjaga adabnya sebagai bawahan Presiden Megawati. Bagaimanapun, meski pernah mengenyam pendidikan di Amerika, SBY adalah orang Jawa. Dia tak pernah kehilangan sikap unggah-ungguh terhadap orang lain, apalagi kepada atasannya.
Namun, kita tahu, alih-alih dipinang, ia kemudian malah dikucilkan dan dimusuhi. Sikap permusuhan itu, terutama sesudah serangan verbal Taufiq Kiemas kepada SBY pada awal Maret 2004, saya kira telah mengubah peta permainan. Jika sebelumnya SBY masih membuka peluang menjadi orang nomor dua Mega, maka sesudah serangan itu, SBY berdiri vis a vis terhadap Presiden Megawati.
ADVERTISEMENT
Serangan Taufiq Kiemas memang memberi keuntungan politik kepada SBY. Lebih tepatnya, serangan Taufiq Kiemas kepada SBY itu sebenarnya telah merugikan dirinya sendiri dan Megawati. Mengutip pernyataan Denny J.A. di Majalah Matra No. 217, Agustus 2004, serangan itu memang telah menaikkan popularitas SBY sedemikian rupa menjelang Pemilu 2004. Namun, konyol jika ada yang menganggap SBY memainkan drama ‘playing victim’ ketika itu. Pengunduran diri SBY adalah bagian caranya untuk menjaga adab.
Pengucilan dan penyingkiran terhadap SBY memang faktual terjadi. Pada tanggal 21 hingga 26 Februari 2004, SBY melakukan kunjungan kerja ke Cina. Kunjungan itu dilakukan atas undangan Pemerintah Cina guna membahas kerja sama bilateral di bidang pertahanan dan keamanan. Saat SBY masih berada di Cina, pada tanggal 25 Februari, Presiden Megawati mengumpulkan jajaran Polkam dan menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Kepala BIN dan Kapolri untuk keliling Indonesia melihat kesiapan pengamanan Pemilu. Presiden memang berhak untuk mengkoordinasikan pengamanan Pemilu. Namun, pertanyaannya, kenapa rapat itu sama sekali tidak mengikutsertakan pejabat kantor Menko Polkam? Padahal, yang sebelumnya mengkoordinasikan pengamanan Pemilu adalah kantor Menko Polkam.
ADVERTISEMENT
Sebelum kejadian itu, kewenangan SBY dalam bidang Polkam juga telah banyak dilangkahi. Dalam urusan Aceh, misalnya, banyak pejabat tiba-tiba bisa nyelonong ke Aceh tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan SBY, padahal ketika itu SBY adalah Ketua Badan Pelaksana Harian Penguasa Darurat Militer. Jadi, diam-diam SBY telah dianggap sebagai saingan politik presiden, bukan lagi sebagai pejabat berwenang.
Sayangnya, meskipun kewenangannya banyak dilangkahi, secara formal SBY tak pernah ditegur atau dicopot dari jabatannya. Dan itu membuat posisi Menko Polkam jadi kikuk. Hal itulah yang telah mendorong SBY akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kabinet. Sesudahnya, sejarah telah menceritakannya sendiri kepada kita.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Foto: AFP/Romeo Gacad
Saya selalu menilai, terjadinya kolaborasi antara SBY dengan Jusuf Kalla pada 2004 adalah anugerah politik untuk proses perdamaian Aceh. Sebab, baik SBY maupun Jusuf Kalla, ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam dan Menko Kesra, keduanya sama-sama punya perhatian besar dalam menyelesaikan berbagai konflik melalui pendekatan perdamaian. Selain Aceh, Jusuf Kalla juga memainkan peranan penting dalam mengatasi konflik di Ambon dan Sampit.
ADVERTISEMENT
Kiprah Jusuf Kalla dalam menengahi konflik bahkan telah dimulai sejak 1998, sebelum ia masuk ke dalam pemerintahan. Sesudah terjadi konflik di Poso, Sulawesi Tengah, yang disusul oleh konflik serupa di Ambon, Maluku, Jusuf Kalla yang merupakan tokoh Bugis, sangat khawatir jika konflik akan merembet ke kampung halamannya, Makassar. Sejak itu ia berusaha untuk membangun dialog antar-tokoh beragama, agar konflik mereda dan tidak bertambah luas. Saat menjabat Menko Kesra di masa Presiden Megawati, ia menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan berbagai konflik tadi. Seperti halnya pendekatan yang digunakan oleh SBY di Aceh, Jusuf Kalla juga menjadikan pendekatan kesejahteraan dan ekonomi untuk meredam konflik.
Tak heran jika pemerintahan SBY-JK kemudian mewariskan catatan yang baik dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik dan perdamaian. Menurut Rizal Panggabean (2009), akademisi UGM yang banyak melakukan riset tentang konflik dan perdamaian, pemerintahan SBY berhasil mengatasi konflik dan isu terorisme tanpa harus mengorbankan demokrasi. Padahal, Amerika yang sering disebut sebagai kampiun demokrasi saja, misalnya, gagal menjaga prinsip demokrasi ketika menangani isu terorisme.
ADVERTISEMENT
Kasus yang terutama dirujuk Rizal adalah Aceh. Pemerintahan SBY, tulis Rizal, berhasil menangani konflik yang sudah berlangsung lama dan menyakitkan di Aceh. Banyak orang mengira jika inisiatif perdamaian di Aceh tersebut banyak ditopang oleh momentum kondusif yang diciptakan oleh bencana tsunami pada akhir tahun 2004. Tetapi, kalau kita lihat, ternyata tidak semua negara bisa memanfaatkan momen tersebut mengakhiri konflik. Srilanka, misalnya, yang juga dihantam tsunami, hingga kini masih terus didera konflik, karena pemerintahnya gagal memanfaatkan bencana sebagai kesempatan untuk membangun dialog dan perdamaian.
Sesudah terjadi tsunami, perundingan damai dengan GAM bisa dilanjutkan dengan mulus karena faktor kepemimpinan nasional tadi. GAM sebelumnya sudah melihat jika SBY, sejak masih menjabat Menko Polkam, memang serius mengupayakan jalan damai. SBY menjadi figur sentral dalam perundingan di Tokyo dan Jenewa. Sehingga, sesudah ia menjadi presiden, perundingan itu disambut dengan penerimaan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Meminjam Martin Luther King, sebagai pemimpin, SBY dan juga Jusuf Kalla ketika itu sama-sama memahami bahwa “hukum mata dibalas mata” hanya akan membuat semua orang menjadi buta. Itu sebabnya, mereka berjuang membangun perdamaian. Memang, perdamaian bukanlah tujuan kita berbangsa, tetapi perdamaian adalah perantara agar kita bisa mencapai tujuan hidup berbangsa. Di Aceh, kita telah berjuang membuktikannya.
Jakarta, 16 Maret 2021