Membandingkan Prinsip Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Singapura

Dadang I K Mujiono
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
3 September 2022 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dadang I K Mujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peta dunia (pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peta dunia (pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Umumnya terdapat dua komponen utama dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri sebuah negara, yakni prinsip kebijakan luar negeri dan faktor kondisi politik domestik.
ADVERTISEMENT
Berikut akan disajikan perbedaan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia dan Singapura, dan bagaimana dua komponen tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri kedua negara.

Prinsip bebas dan aktif, dan konsep mendayung di antara dua karang

Prinsip kebijakan luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif. Prinsip ini pertama kali disampaikan di muka umum oleh Mohammad Hatta pada 2 September 1948 di Yogyakarta pada saat sidang Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Mohammad Hatta menyampaikan prinsip bebas dan aktif pada tahun 1948 yang juga bertepatan dengan awal dimulainya Perang Dingin, memiliki makna bahwa dalam percaturan politik internasional dan upaya memperoleh kemerdekaan, Indonesia tidak harus memihak kepada dua ideologi besar yang sedang berkonflik – Sosialis Komunis (Uni Soviet dan sekutu) dan Kapitalis Liberal (Amerika Serikat dan sekutu). Melainkan Indonesia harus bisa menjadi negara yang independen – artinya dapat menentukan nasib negara sesuai dengan kebutuhan politik dalam negeri, tanpa perlu ada campur tangan pihak asing.
ADVERTISEMENT
Dalam mengimplementasikan prinsip kebijakan luar negeri dan sikap Indonesia dalam politik internasional, Soekarno membuat gebrakan dengan ikut menjadi salah satu inisiator dan mendukung inisiatif Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, kemudian Perdana Menteri India, Presiden Mesir, dan Presiden Ghana mendeklarasikan Gerakan Non-Blok (GNB) pada tahun 1961 di Belgrade, Yugoslavia.
GNB dibentuk sebagai upaya beberapa negara untuk meredam bipolarisasi dunia dalam era Perang Dingin. Pada saat itu, dua kekuatan besar dunia, yakni AS dan Uni Soviet membagi dunia sesuai dengan orbit mereka. AS dan pendukung kapitalis liberal membentuk pakta pertahanan yang disebut The North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada tahun 1949. Sedangkan Uni Soviet dan pendukung sosialis komunis membentuk pakta pertahanan yang disebut Pakta Warsawa pada tahun 1955.
ADVERTISEMENT
Yugoslavia, Indonesia, dan beberapa negara inisiator GNB merasa bahwa bipolarisasi ini harus dihentikan karena dapat memecah negara-negara dan menimbulkan ketidakstabilan politik regional dan global. Oleh karena itu, mereka mengambil momentum untuk mengajak negara-negara baru merdeka di Afrika, Amerika Latin, dan Asia untuk mengambil sikap tidak memihak di antara dua kubu dan memilih bergabung dengan GNB.
Prinsip bebas dan aktif, serta GNB ini pula yang sering kali menjadi faktor penentu dalam perumusan kebijakan luar negeri Indonesia. Prinsip ini juga yang menyebabkan Indonesia sampai sekarang, tidak memiliki pakta pertahanan dengan berbagai negara karena Indonesia beranggapan dengan membentuk atau bergabung dengan pakta pertahanan dapat memicu polarisasi, dan secara otomatis melanggar prinsip yang sudah dibuat oleh Bapak Bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT

Prinsip “survival” kebijakan luar negeri Singapura

Berbeda dengan Indonesia, meskipun Singapura juga merupakan negara anggota GNB yang bergabung pada tahun 1970, Singapura memiliki pakta pertahanan dengan Australia, Malaysia, Selandia Baru, dan Inggris Raya yang disebut the Five Power Defence Agreement (FPDA), dibentuk pada tahun 1971.
Alasan bergabungnya Singapura dengan FPDA adalah untuk mengamankan kedaulatan Singapura karena Singapura termasuk negara yang rentan karena memiliki wilayah yang kecil. Dalam pakta pertahanan ini juga, diatur jika ada satu negara anggota diserang oleh negara lain, maka negara anggota lain akan membantu menjaga kedaulatan negara yang diserang.
Dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri Singapura, terdapat sembilan prinsip fundamental kebijakan luar negeri Singapura. Dari kesembilan prinsip tersebut, prinsip kedua mendasari keputusan Singapura untuk menjalin pakta pertahanan. Prinsip kedua tersebut menyatakan bahwa Singapura harus menjaga postur pertahanan militer sebagai upaya deteren atau pencegahan dari adanya serangan militer ke Singapura sebagai tujuan dari kebijakan luar negeri yang efektif.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara kecil dan miskin akan sumber daya alam, Singapura juga memiliki prinsip kebijakan luar negeri yang fokus pada promosi kerja sama dan penciptaan lingkungan yang kondisuif agar dapat membina hubungan diplomatik yang baik, khususnya dengan negara tetangga terdekat di semua bidang.
Kemudian untuk memenuhi target self-sufficiency atau swasembada dalam bidang apa pun, Singapura berkomitmen untuk mendukung perdagangan bebas hambatan melalui penerapan sistem ekonomi pasar terbuka dan siap menjalin perdagangan internasional dengan siapa pun.
Perdana Menteri Singapura yang pertama Lee Kuan Yew juga pernah berkata bahwa kebijakan luar negeri Singapura harus menempatkan Singapura sebagai aset bagi komunitas internasional, khususnya negara tetangga. Sehingga dengan menjadikan Singapura sebagai aset, Singapura akan memiliki daya tawar dan dihormati oleh bangsa lain.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja di Indonesia, terlepas dari ukuran geografis Singapura yang sangat kecil, faktanya Singapura merupakan investor terbesar di Indonesia sejak 2019.
Terakhir sebagai negara kecil, Singapura selalu menghargai rezim hukum internasional dan selalu menghormati kedaulatan nasional sebuah negara. oleh karena itu, Singapura selalu memiliki komitmen yang kuat untuk menentang setiap upaya kolonialisme, utamanya oleh negara besar terhadap negara kecil.

Implementasi prinsip kebijakan luar negeri dalam kehidupan nyata

Dari perbedaan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia dan Singapura di atas, maka hal ini juga berpengaruh terhadap perbedaan kebijakan yang diambil oleh kedua negara dalam merespon politik dan dinamika internasional.
Misalnya dalam serangan militer yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina, Singapura memutuskan untuk mengambil sikap mengutuk keras dan mengecam Rusia. Hal ini terjadi, tidak lain karena Singapura sangat anti terhadap setiap upaya kolonialisme, khususnya oleh negara besar terhadap negara kecil.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Singapura, Indonesia memutuskan untuk tidak mengambil sikap mengutuk atau mengecam, meskipun pada saat pengambilan suara untuk resolusi penghentian serangan oleh Rusia di Ukraina pada sidang Majelis Umum Perserikatan Banga Bangsa (PBB), Indonesia memutuskan mendukung resolusi yang diinisiasi oleh AS dan sekutunya.
Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki karakteristik kebijakan luar negeri yang pragmatis, dan mengedepankan prinsip bebas dan aktif. Indonesia hanya fokus pada gambar yang lebih besar, yakni upaya mewujudkan perdamaian di antara kedua pihak. Terlebih Indonesia memiliki kepentingan pragmatis terhadap Ukraina dan Rusia, di mana Indonesia membutuhkan gandum dari kedua negara untuk menyelamatkan industri mi instan dalam negeri.
Kemudian, dalam penerapan komunitas masyarakat ASEAN, khususnya dalam bidang liberalisasi penerbangan di antara negara anggota ASEAN yang disebut sebagai ASEAN Open Sky Policy (AOSP), Singapura dan Indonesia juga memiliki perbedaan pandangan.
ADVERTISEMENT
Singapura sangat mendukung penerapan AOSP karena desakan politik dalam negeri yang menginginkan ekspansi pasar internasional oleh maskapai dalam negeri Singapura, contohnya Singapore Airlines, Silk Air, dan Scoot. Terlebih, Singapura tidak memiliki penerbangan domestik berjadwal. Oleh karenanya, membuka penerbangan internasional merupakan keputusan tepat, dan menguasai pasar domestik Indonesia menjadi salah satu opsi yang paling menguntungkan.
Sedangkan bagi Indonesia, tanpa harus membuka penerbangan internasional, maskapai dalam negeri Indonesia, contohnya Garuda Indonesia, Batik Air, Lion Air, dan Sriwijaya, sudah dipastikan dapat meraup keuntungan besar karena pasar dalam negeri yang melimpah.
Belum lagi banyaknya objek wisata di Indonesia menyebabkan pergerakan masyarakat dari satu pulau ke pulai lain tidak dapat dihindari.
Di sini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia dengan tidak mendukung AOSP merupakan representasi politik dalam negeri di mana masyarakat, utamanya masyarakat aviasi Indonesia, tidak mendukung liberalisasi penerbangan di ASEAN, lebih-lebih jika liberalisasi menarget penguasaan rute domestik oleh maskapai asing.
ADVERTISEMENT
Sehingga akhirnya, kita juga dapat lihat karena perbedaan prinsip dan tekanan politik di masing-masing negara, Indonesia dan Singapura meskipun negara anggota ASEAN dan anggota GNB, tidak menjamin keduanya memiliki pandangan yang sama dalam setiap isu yang berkembang.