Dear Kampus, Tolong Kembalikan Biaya Pendidikan Kami Secara Utuh

Eko Suprapto Wibowo
CEO dan Founder di Remote Worker Indonesia Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi dan Keuangan UII Jogjakarta Alumni Ilmu Komputer UGM Jogjakarta
Konten dari Pengguna
22 Februari 2024 21:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eko Suprapto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak laki-laki dan perempuan sekolah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak laki-laki dan perempuan sekolah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika Mas Akbar dan Mbak Shiera, dua host acara Jendela Negeri di TVRI mengajukan berbagai pertanyaan tentang remote work dan ketika pertanyaan berlanjut tentang tips untuk fresh graduate agar menembus remote work, sebagai narasumber saya memberikan 3 tips:
ADVERTISEMENT
Di bagian skill dan personal branding, secara umum saya sampaikan dua hal penting:
ADVERTISEMENT
Namun ada satu hal yang missed saya sampaikan, dan itu sesungguhnya yang amat penting, berikut ini:
Berat? Yes, namun itu wajib. Concern tersebut saya paparkan di bawah ini.

Bahayanya Student Loan

Sistem Ekonomi dan Pendidikan Sirkular sebagai pengganti Student Loan dan juga Dana Abadi Pendidikan.
Setelah heboh kasus perguruan tinggi yang bekerja sama dengan Pinjol untuk pembayaran UKT mahasiswa dan kemudian dilanjutkan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani merespons dengan kajian pembentukan pinjaman khusus pelajar atau student loan, maka satu hal sudah jelas di negara kita: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian belum memiliki koordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan juga Kementerian Keuangan. Dan itu gamblang dilihat dari halaman ini.
ADVERTISEMENT
Ini masalah perspektif dan juga prioritas. Pendidikan itu tidak boleh dipandang sebagai hanya sarana peningkatan ilmu. Ilmu yang tidak berguna di lapangan adalah ilmu yang tidak berguna dipelajari. Useless. Apa artinya punya ilmu mendalam di bidang hukum, namun alumni terpaksa mengais nafkah dengan menjadi driver Gojek?
Tidak untuk mengatakan profesi tersebut tidak mulia: hanya saja, jika memang akhirnya akan menjadi driver gojek, ya tidak perlu sampai kuliah tinggi-tinggi menghabiskan dana orang tua yang boleh jadi didapat dari menjual tanah warisan. Kampus harus bertanggung jawab untuk fenomena ini.
Akan sangat berisiko jika nanti Sri Mulyani menggelontorkan kebijakan Student Loan: waduh, bakal berapa banyak driver gojek masa depan yang terjerat menyelesaikan pelunasan student loan-nya?
ADVERTISEMENT
Kalau memang ingin memberikan student loan dalam tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat pendidikan, maka mengalokasikannya ke dunia akademi yang dengan statusnya saat ini sebagai pencetak sarjana-sarjana driver gojek akan menjadi suatu hal yang sia-sia.
Lebih baik student loan itu diberikan sebagai modal usaha yang akan mencetak banyak UMKM-UMKM di sektor riil. Jelas, terarah dan mudah diukur hasilnya.
Jika sampai kebijakan student loan dijalankan, maka akan ada terbuka jalur kong kaling kong baru antara pemutus kebijakan penyaluran student loan dengan dunia akademis. Terbuka sekali celah yang bisa dimanfaatkan oknum dua pihak tersebut untuk menggelontorkan dana dari pemerintah dan masuk ke kas kampus dengan deal-deal tertentu. Dan ini berarti Indonesia akan punya celah baru untuk korupsi di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Ini kebijakan pencegahan yang saya usulkan: kampus harus mengembalikan biaya pendidikan 100%.

Concern Utama Mengapa Biaya Pendidikan Harus Dikembalikan

Berbeda dengan membeli bensin full tank yang uangnya benar-benar berubah menjadi sumber energi yang membuat kendaraan bisa berjalan, maka membiayai pendidikan yang sampai ratusan juta sampai lulus setelah 4 tahun adalah sesuatu yang tidak boleh dipandang sama. Penyelenggara pendidikan tidak boleh berlepas tangan dari alumni yang sudah lulus.
Biaya ratusan juta itu tidak boleh dipandang dengan perspektif, "Kan sudah dapat title? Juga sudah dapat ilmu? Ya sudah. Uang kalian berubah menjadi dua hal itu". Tidak boleh. Biaya pendidikan adalah investasi.
Tidak ada orang tua yang menguliahkan anaknya sekadar agar anaknya mendapat titel sarjana dan kenaikan status sosial di mata masyarakat. Orang tua ingin anaknya mandiri: berhasil mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Ini harapan orang tua yang tidak boleh dianggap remeh!
ADVERTISEMENT
Investasi pendidikan tidak boleh dipandang sebagai biaya konsumsi yang habis begitu sarjana berhasil dicetak lewat seremonial wisuda yang sekadar bersenang-senang dan berbangga-bangga dalam satu hari .. untuk keesokan harinya menjadi pengangguran resmi. Institusi pendidikan harus memandang biaya pendidikan yang dikirimkan para siswa (tepatnya oleh ortu mereka) sebagai investasi: wajib dikembalikan 100% baik jika mendapat pekerjaan atau tidak mendapat pekerjaan.
Pengembalian biaya pendidikan ini bisa terwujud karena pengelolaan sebagian biaya pendidikan menjadi UMKM-UMKM padat karya yang profitnya sebagian menjadi sumber pengembalian biaya pendidikan siswa.
Bayangkan skenario jika kebijakan ini terwujud:
ADVERTISEMENT

Tantangan Untuk Pemerintah dan Institusi Pendidikan

Mewujudkan visi yang berat ini akan terasa mudah, dengan satu syarat: institusi pendidikan harus benar-benar punya concern dan empati terhadap alumni yang nganggur. Institusi pendidikan tidak boleh berlepas tangan.
Mengembalikan biaya pendidikan mahasiswa, itu berarti kampus harus memiliki business plan dengan mitigasi risiko yang terencana di sektor ekonomi riil baik di bidang pendidikan atau diluar itu. Karena hanya dengan cara itu, kampus akan bisa mengatur planning pengembalian biaya pendidikan mahasiswa-mahasiswanya.
Contoh ringan: kampus mengalokasikan 20% total biaya UKT untuk pengelolaan ternak kambing, travel agency, percetakan dan lain sebagainya yang kemudian 10% profit sharenya akan dibagikan kepada semua siswa sampai lunas. Bayangkan hebatnya impact sosial dan ekonomi yang terjadi di sistem yang saya sebut dengan Sistem Ekonomi dan Pendidikan Sirkular ini.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang pemerintah, pendidikan tidak boleh sekadar dipandang sebagai sarana pemanusiaan manusia belaka. Namun dia harus dipandang sebagai sarana penguatan ekonomi masyarakat. Karena itu, Kementerian Pendidikan sudah seharusnya dimasukkan ke dalam koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di sini. Sekadar informasi, berikut adalah daftar kementerian yang dikoordinir Kemenko Perekonomian:
Menurut hemat saya, Kementerian Pendidikan harus ada di list tersebut secara solid. Jangan sampai Indonesia membebek pada Amerika untuk sekadar urusan Student Loan. Kita harus ciptakan sistem gotong royong yang khas milik Bangsa Indonesia di mana orang tua, mahasiswa, institusi pendidikan dan UMKM-UMKM bekerja sama membentuk siklus tertutup ekonomi dan pendidikan yang self sustain!
ADVERTISEMENT