Penyalahgunaan Pengelolaan Dana Desa: Antara Sanksi Administrasi atau Pidana?

Eka Kurnia Chrislianto
Advocate, Lawyer, Legal Consultant, Corporate Lawyer, Civil Law Lawyer, Land and Property Law, Marital, Divorce Dissolutions, and Inheritance Law, Criminal Law, etc.
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2021 19:30 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Kurnia Chrislianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Ilustrasi Kawal Dana Desa atas Pengelolaan Dana Desa yang Tidak Transparan via: Website Pemerintah Kabupaten Belitung Timur, cc: Satgas Dana Desa.
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Ilustrasi Kawal Dana Desa atas Pengelolaan Dana Desa yang Tidak Transparan via: Website Pemerintah Kabupaten Belitung Timur, cc: Satgas Dana Desa.
ADVERTISEMENT
Mengutip pendapat Bagir Manan dan Ranggawidjaja (2013) yang menegaskan bahwa desa di masa lalu merupakan komunitas sosial yang keberadaannya telah jauh ada sebelum Indonesia merdeka (Bakarbessy, 2013).
ADVERTISEMENT
Ini bersesuaian dengan pendapat Jamaludin yang menyatakan bahwa cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan yang hari ini disebut desa sudah ada sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jamaludin, 2015).
Di Indonesia sendiri, terdapat 83.820 Desa berdasarkan Data Subdirektorat Pengembangan Pemetaan Statistik 1 termasuk kelurahan dan Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)/Include Transmigration Settlement Unit, Updating data dari 2019 Semester 1 ke 2019 Semester 2 .
Desa-desa tersebutlah yang memberikan kontribusi dalam perkembangan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, maupun pemenuhan kebutuhan pokok nasional.
Namun apa jadinya jika Pemerintahan yang tertua bahkan dari Republik ini menjadi Lembaga yang paling Korup di antara lembaga atau penyelenggara negara lain?
Melansir CNN Indonesia, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan anggaran dana desa merupakan dana yang paling rentan dikorupsi. Pada semester I 2021, pemerintah desa menjadi lembaga pelaku kasus korupsi terbesar.
ADVERTISEMENT
Peneliti ICW Lalola Easter menyebut pada periode tersebut tercatat ada 62 kasus korupsi yang dilakukan Aparat Pemerintah Desa. Lalu, diikuti oleh Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota dengan masing-masing 60 dan 17 kasus.
Angka yang enggan turun dari waktu ke waktu itu membuatnya mendesak pemerintah untuk mereformasi birokrasi guna mencegah korupsi.
Baru-baru ini juga berita terkait penyalahgunaan wewenang terhadap pengelolaan dana desa yaitu 2 Mantan Kades di Muba Pakai Dana Desa untuk Bayar Utang Pilkades. Yang mana pada tahun 2014 tersangka yang saat itu menjabat Kades Tanjung Keputran mendapatkan alokasi dana desa sebesar Rp 854,61 juta.
Namun berdasarkan hasil audit dan penyelidikan ditemukan bukti-bukti penggunaan anggaran tersebut untuk kegiatan fiktif dan digunakan untuk membayar utang Pilkades.
ADVERTISEMENT
Serta sudah banyak kasus lainnya dari tahun-tahun sebelumnya terkait penyalahgunaan wewenang terhadap pengelolaan Dana Desa tersebut.
Ilustrasi penggunaan dana desa Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
Penyalahgunaan Wewenang
Bicara soal penyalahgunaan wewenang menurut hukum itu yaitu bersifat administrasi dan pidana. Jika bicara soal konsep penyalahgunaan wewenang, setiap kewenangan atau kekuasaan pemerintah, sebagaimana telah diuraikan terdahulu menurut ajaran hukum administrasi negara, dibatasi oleh adanya asas spesialitas (het specialiteitsbeginsel), asas legalitas (wetmatigheid van bestuur/ legaliteit beginsel) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).
Sehingga apabila pemerintah atau aparatur negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas tersebut, maka perbuatan itu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de povouir). (Arma Devi, 2019)
Merujuk Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pengawasan dan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang terlebih dahulu dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Hasil pengawasan APIP terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang berupa tidak terdapat kesalahan dalam konteks pidana, namun kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara maka terhadap tindakan penyelewengan yang dilakukan pejabat pengadaan tidak melulu dengan sanksi pidana.
Pengenaan sanksi denda dapat diberikan pada kasus penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang yang bersifat administratif.
Sedangkan dalam konteks Hukum Pidana, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 463 K/PID.SUS/2017 tertanggal 6 September 2017 dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa sifat melawan hukum secara khusus yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU Tipikor berupa penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya tidak didasarkan pada konsep perbuatan aktif dan perbuatan pasif.
ADVERTISEMENT
Perbedaan sifat melawan hukum dalam pasal 2 dan pasal 3 tersebut menurut politik hukum pembentuk UU Tipikor terletak pada subyek hukumnya, yaitu melawan hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah untuk subyek hukum pegawai negeri dan pejabat negara, sedang melawan hukum secara umum yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah untuk selain pegawai negeri dan pejabat negara.
Namun karena konsep tersebut mengandung cacat yuridis karena kedudukan sebagai pegawai negeri dan pejabat negara yang seharusnya menjadi alasan pemberatan pidana justru sebagai alasan memperingan pidana sehingga Yurisprudensi Mahkamah Agung membedakan Pasal 2 dan Pasal 3 dari segi memperkaya diri atau menguntungkan dan/atau besar kecilnya kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Mendahulukan Upaya Administrasi
Bicara dalam lingkup Pemerintahan Desa, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, Kepala Desa adalah Pejabat Pemerintah Desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya.
Artinya jika terjadi Penyalahgunaan Wewenangan yang mana itu bersifat administrasi APIP lah yang dapat terlebih dahulu mengambil langkah administrasi tersebut.
Dalam konteks Dugaan penyalahgunaan Dana Desa juga ini bersesuaian dengan adanya Surat Telegram Polri Nomor ST/3388/XII/HUM.3.4./2019, tertanggal 31 Desember 2019 yang ditandatangani oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo yang kini menjadi Kapolri, ditujukan untuk seluruh Kapolda dan Kapolres kala itu, semata-mata sebagai upaya Polri sebagai Aparah Penegak Hukum (APH) menghargai tupoksi dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan mengedepankan upaya koordinatif sesuai MoU dan perjanjian kerja sama yang diteken bersama.
ADVERTISEMENT
Dalam Penggunaan Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD) oleh Oknum Kepala Desa yang diduga menyalahgunaan Dana Desa (DD) dapat saja dilaporkan ke Polres setempat namun perlu diingat tidak serta merta dapat dipidana, karena APIP di sini yaitu Inspektorat Kabupaten atau Inspektorat Provinsi akan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dengan lingkup kewenangannya melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan.
Perlu diketahui, pada tahun-tahun sebelumnya, audit dana desa dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten/Kota. Inspektorat provinsi hanya melakukan supervisi dan pembinaan soal pengelolaan Dana Desa melalui Inspektorat Kabupaten/Kota.
Namun setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah, Inspektorat Provinsi yaitu selaku APIP juga di sini mendapatkan dua permintaan audit khusus dari Aparat Penegak Hukum (APH) mengenai dugaan penyalahgunaan dana desa di setiap daerah Provinsi.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau adanya dugaan potensi kerugian negara di desa, tidak melulu harus melalui Inspektorat Kabupaten/Kota, Inspektorat Provinsi bisa langsung turun. Itu bisa atas laporan dari kabupaten/kota, dari masyarakat kalau disampaikan ke Inspektorat Provinsi.
Lalu Bagaimana Soal Dugaan Tindak Pidana Korupsinya?
Jika mengambil contoh dan perkara yang pernah diadili bahkan sampai di tingkat Mahkamah Agung yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 864 K/Pid.Sus/2016 tertanggal 19 Juli 2016 yang menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan hukum secara formil maupun materiil yakni meskipun tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma yang hidup dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Hal ini bertujuan guna menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang meliputi memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, kemudian dengan adanya Laporan Hasil Audit BPKP sebesar Rp.204.606.046,59 (dua ratus empat juta enam ratus enam ribu empat puluh enam rupiah lima puluh sembilan rupiah) dari pengelolaan Dana Desa yang bersumber dari ADD.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan Hukum dari Mahkamah adalah dimana Terdakwa selaku Kepala Desa dan selaku Pengguna Anggaran dalam pelaksanaan program pembangunan Desa, dengan bekerja-sama dengan pihak Iainnya telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melaksanakan program pembangunan di Desa secara fiktif, dan uang yang ditarik dari rekening Desa yaitu dana ADD dipergunakan oleh Terdakwa untuk kepentingan pribadi dan penggunaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2007 tentang Desa dan Peraturan Desa yang dibuat setiap tahun sebagai pedoman penggunaan keuangan desa baik yang bersumber dari PADesa maupun dari ADD yang diterima dari Kabupaten, dan itu sudah cukup menjadi Pertimbangan Hakim Agung memutuskan Terdakwa selaku secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Catatan lainnya, dalam memaknai tindak pidana korupsi seharusnya memperhatikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri/korporasi terlebih dahulu, baru kemudian melihat adakah unsur perbuatan melawan hukum jika mengacu pada Putusan MA Nomor 69 K/Pid.Sus/2013 tertanggal 19 Maret 2013 menyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Pertimbangan tersebut memberi kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara.
Ini kemudian dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penetuan Kerugian Negara, yang menyebutkan pada intinya Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/ Satuan kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara.
ADVERTISEMENT
Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian Negara.
Bagaimana Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Maka timbullah pertanyaan, Kepala Desa melakukan pidana korupsi, apakah menjadi wewenang KPK?
Jika berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan bahwa Penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK meliputi: Pejabat Negara Lembaga Tinggi Negara seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI dan DPD RI, Menteri, Gubernur, Hakim, Jaksa, Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Apa artinya Kepala Desa termasuk?
Jika berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 700/1705/SJ tentang Penguatan Pengawasan Dana Desa Tahun 2020 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan kepada Bupati/Walikota untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap desa yang mana kewenangan masuk dalam ranah Administrasi Negara dengan adanya peran penting Inspektur (Inspektorat) dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam ranah hukum pidananya dan bukan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan pada tahun 2017 mantan Ketua KPK Agus Rahardjo pernah mengatakan adanya berbagai aturan yang membatasi wewenang KPK membuat komisi antirasuah itu tidak bisa mengusut banyak kasus yang melibatkan PNS, satu di antaranya contoh saat timnya mendapati dugaan kasus kepala sekolah yang menyuap Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Kalau hanya PNS biasa, itu enggak masuk kewenangan KPK. Termasuk kasus kepala dinas pendidikan itu bukan penyelenggara negara. Termasuk Direktur Perusahaan Swasta, Lurah, Camat, dan pejabat sipil lainnya.
Kecuali, Pejabat Struktural BUMN/BUMD, Duta Besar, Pimpinan atau Bendaharawan Proyek, Pimpinan Perguruan Tinggi, Pimpinan BI dan BPPN, penyidik, dan lain sebagainya memang merupakan kewenangan KPK.
Lalu, jika bukan wewenang KPK apa tindaklanjut pengaduan masyarakat yang sudah terlanjur melaporkan ke KPK mengenai kewenangan pejabat selain KPK?
Berdasarkan Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Seperti kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Pengaduan masyarakat tadi yang belum dapat ditindaklanjuti oleh Bidang Penindakakn KPK, dokumen yang sudah dikirim akan menjadi bahan informasi bagi Bidang Pencegahan KPK untuk ke depannya.
Kutipan Buku/Jurnal:
Bakarbessy, D.A., 2013, Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Desa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, diakses melalui http://fhukum.unpati.ac.id tertanggal 7 Oktober 2021
Dr. R. Widodo Triputro, 2019, Regulasi Desa, Deepublish CV Budi Utama, Yogyakarta
Jamaludin, A. N., 2015, Sosiologi Perdesaan. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9), diakses melalui https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 tertanggal 7 Oktober 2021.