Konten dari Pengguna

Perempuan Sebagai Pelaku Kejahatan: Stereotip Gender dan Pengaruh Media

Eka Kurnia Chrislianto
Advokat dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
3 September 2024 7:16 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Kurnia Chrislianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan digambarkan oleh Media sebagai Pelaku Kejahatan, Sumber: https://pixabay.com by: niekverlaan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan digambarkan oleh Media sebagai Pelaku Kejahatan, Sumber: https://pixabay.com by: niekverlaan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam diskursus mengenai kejahatan dan gender, kasus di mana perempuan terlibat sebagai pelaku kejahatan, termasuk yang melibatkan pembunuhan, memunculkan tantangan unik yang memerlukan perhatian serius dari masyarakat dan aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Kasus terbaru yang terjadi di Pontianak, di mana seorang ibu tiri diduga membunuh anak sambungnya dan memasukkannya ke dalam karung, menggambarkan kompleksitas dan fenomena kontingensi yang sering kali diabaikan dalam penanganan kasus Perempuan sebagai pelaku kejahatan.
Fenomena ini bukan hanya menyoroti peran media dalam membentuk persepsi publik tetapi juga memunculkan kebutuhan mendesak untuk pendekatan kriminogen yang lebih sensitif terhadap kesadaran gender dari perspektif feminist legal theory.
Stereotip Gender dan Peran Media
Stereotip gender memainkan peran krusial dalam bagaimana melihat lebih jauh perempuan sebagai pelaku kejahatan dipandang dan diperlakukan. Media sering kali mempengaruhi persepsi ini dengan menyoroti aspek-aspek yang dramatis dan sensasional dari kasus-kasus tersebut.
Ada beberapa contoh headline berita yang dari judul saja sangat mempengaruhi persepsi dengan menyoroti aspek dramatis seperti berita yang berjudul “Resepsionis Cantik Alami Pelecehan Seksual di Hotel, Nih Tampang Pelaku!” , kemudian, “Model Seksi Tiara Aurellie Jadi Korban Penipuan, Pelaku Masih Berkeliaran”, adanya objektifikasi yang menonjolkan penampilan fisik perempuan (seperti “resepsionis cantik”, “model seksi”) yang mana menempatkan perempuan sebagai objek yang dinilai berdasarkan penampilannya, bukan sebagai individu dengan kompleksitas dan permasalahan yang sama seperti laki-laki.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengaburkan isu utama dari berita, yaitu tindakan kejahatan yang terjadi terhadap Perempuan sebagai korban, dan mengalihkan perhatian pada aspek-aspek yang tidak relevan.
Dengan menyoroti aspek-aspek dramatis dan sensasional tersebut, media seringkali secara tidak langsung membenarkan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, dalam kasus pelecehan seksual, fokus pada penampilan fisik korban dapat memberikan kesan bahwa korban “mencari perhatian publik” atau “meminta untuk diperlakukan demikian”.
Ini juga yang memperkuat gambaran stereotip gender dan peran media tersebut dalam kasus perempuan sebagai pelaku kejahatan, terutama dalam kasus kekerasan berat seperti pembunuhan, adalah “lebih jahat” atau “lebih kejam” daripada pelaku laki-laki. Konstruksi naratif semacam ini memperburuk stereotip gender dan mengabaikan kesadaran akan kelas dan gender dalam konteks sosial dan psikologis yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Susan Sontag dalam On Photography (1977) mengamati bagaimana media visual membentuk persepsi publik tentang realitas. Dalam konteks ini, representasi media tentang kejahatan yang dilakukan oleh perempuan sering kali didorong oleh narasi yang menyederhanakan atau memperburuk fakta-fakta kompleks.
Sontag menyoroti bagaimana media sering kali membentuk dan memperkuat suatu stereotip (yang dipublikasikan) perempuan dalam konteks kejahatan, media cenderung menampilkan perempuan sebagai pelaku kejahatan dalam cara yang dramatis atau sensasional, sering kali mengabaikan kompleksitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan mereka.
Sehingga, ini yang membentuk cara masyarakat memandang perempuan yang terlibat dalam aktivitas kriminal bahwa perbuatan mereka tersebut dianggap tidak sesuai dengan norma-norma gender tradisional karena kita sebagaimana yang ketahui bersama apabila Anda menjadi pelaku kejahatan itu pasti identik dengan segala bentuk kekerasan, inilah yang menyebabkan penilaian yang tidak proporsional atau bias dalam proses hukum.
ADVERTISEMENT
Bias dalam proses hukum ini tentu sangat tidak baik dalam suatu negara nomokrasi seperti Indonesia, mengingat Rawls memperkenalkan prinsip keadilan sebagai fairness. Ia berpendapat bahwa sistem hukum harus dirancang sedemikian rupa sehingga bias tidak mempengaruhi hasil keputusan. Rawls menekankan pentingnya “veil of ignorance”—suatu keadaan di mana individu membuat keputusan tanpa mengetahui posisi sosial atau personal mereka, sehingga memastikan keputusan tersebut adil dan tidak bias. Rawls menekankan bahwa bias harus dihilangkan agar keadilan dapat tercapai dalam sistem hukum.
Hal tersebut di atas itu prasyarat awal dalam melihat suatu bias dalam proses hukum, negara ini belum bisa sampai pada konsep fairness yang dicanangkan Rawls tersebut. Ini yang menjadi masalah. Apalagi bila kita berkaca pada Critical Legal Studies (CLS), aliran yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Roberto Unger dan Duncan Kennedy, menilai bahwa hukum tidak netral dan sering kali bias terhadap kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Mereka berargumen bahwa hukum sering kali mencerminkan dan memperkuat kekuatan sosial dan politik yang ada, dan bahwa penegakan hukum harus diubah untuk mengatasi ketidakadilan struktural dan bias yang inheren.
Laura Mulvey, dalam Visual and Other Pleasures (1989), pernah menyarankan bahwa representasi visual dalam media sering kali dipengaruhi oleh sudut pandangan laki-laki, yang memperkuat stereotip gender sehingga ini yang memperkuat disparitas bias gender itu dalam rangka penegakan hukum untuk Perempuan sebagai pelaku kejahatan tersebut.
Pendekatan Kriminogen yang Sensitif terhadap Gender
Penanganan kasus perempuan sebagai pelaku kejahatan memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan sensitif terhadap gender. Kathleen Daly, dalam Gender, Crime, and Punishment (1994), menekankan bahwa sistem peradilan sering kali gagal untuk mengakomodasi faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan perempuan, seperti latar belakang sosial dan tekanan psikologis.
ADVERTISEMENT
Daly menekankan bahwa bias gender dalam sistem hukum dapat menyebabkan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan sebagai terdakwa, korban, atau bahkan saksi.
Perempuan sering kali terlibat dalam tindak pidana dalam konteks tekanan sosial, ekonomi, bahkan psikologis yang berbeda dari laki-laki. Misalnya, perempuan mungkin terlibat dalam kejahatan seperti pencurian atau prostitusi karena keterbatasan ekonomi, pengalaman kekerasan dalam rumah tangga, atau pemaksaan oleh pasangan.
Sistem peradilan, menurut Daly, sering gagal untuk mengakomodasi faktor-faktor ini dan cenderung mengabaikan alasan-alasan di balik perilaku kriminal perempuan.
Daly mengkritik sistem peradilan yang masih beroperasi dengan asumsi bias gender, di mana norma-norma maskulin mendominasi pandangan tentang kejahatan dan hukuman. Perempuan sering kali dianggap sebagai penyimpang ganda—tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar norma-norma gender yang tradisional.
ADVERTISEMENT
Misalnya, perempuan yang terlibat dalam tindak pidana kekerasan sering dianggap lebih berbahaya atau abnormal dibandingkan laki-laki karena mereka bertentangan dengan stereotip gender yang pasif dan lemah lembut.
Dalam sistem peradilan, hukuman terhadap perempuan sering kali dipengaruhi oleh stereotip gender. Daly menunjukkan bahwa perempuan bisa dihukum lebih ringan atau lebih berat tergantung pada seberapa jauh perilaku mereka sesuai atau tidak dengan ekspektasi gender tradisional.
Perempuan yang dipandang sebagai “ibu yang baik” atau “korban” mungkin diperlakukan lebih lunak, sementara mereka yang dianggap “tidak sesuai dengan peran gender” bisa mendapatkan hukuman lebih berat.
Hal ini sama dengan pandangan Frances Heidensohn, dalam Women and Crime (1985), menunjukkan bahwa perempuan pelaku kejahatan sering kali dinilai berdasarkan stereotip gender yang mengabaikan konteks sosial mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ibu tiri yang membunuh anak sambungnya yang tersebut di atas, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti kondisi psikologis pelaku dan dinamika keluarga, serta latar belakang sosial-ekonomi yang mungkin mempengaruhi tindakan tersebut.
Angela McRobbie, dalam The Aftermath of Feminism (2008), menggarisbawahi bagaimana media modern membentuk pandangan masyarakat tentang gender, sering kali memperburuk stereotip yang ada.
Sehingga ini yang mendorong perlu adanya reformasi yang meliputi pelatihan bagi aparat penegak hukum mengenai bias gender, penilaian risiko dan kebutuhan yang lebih peka terhadap konteks perempuan, serta penerapan hukuman alternatif yang lebih humanis dan adil bagi perempuan.
Kualitas Penegakan Hukum dan Media Sensasional
Kualitas penegakan hukum dapat terpengaruh oleh stereotip gender yang dibentuk oleh media. Gaye Tuchman dalam Making News: A Study in the Construction of Reality (1978) menjelaskan bagaimana berita dibentuk dan bagaimana representasi media dapat mempengaruhi persepsi tentang kejahatan. Dalam kasus Perempuan sebagai pelaku kejahatan, media sering kali menyajikan narasi yang memperburuk stereotip dan mengabaikan faktor-faktor yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Menurut Gaye berita tidak hanya sekadar mencerminkan realitas, tetapi juga aktif dalam membentuknya. Ia mengidentifikasi sejumlah faktor kompleks yang saling terkait dalam proses konstruksi berita antara lain:
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan Gaye Tuchman di atas kemudian menjadi serangkaian proses yang menurut Judith Butler dalam Precarious Life (2004) dimana dari peran media tersebut akan membentuk semacam persepsi tentang kekerasan dan perempuan di ruang publik yang mempengaruhi keputusan hukum dan proses peradilan utamanya di sini yaitu saat perempuan menjadi pelaku kejahatan.
Mengingat bahwa Butler berargumen bahwa gender bukanlah sesuatu yang statis, melainkan konstruksi sosial yang terus-menerus dilakukan melalui tindakan kita. Media, sebagai kekuatan sosial yang kuat, memiliki peran sentral dalam memproduksi dan mereproduksi norma-norma gender.
Ketika media menggambarkan perempuan sebagai pelaku kejahatan dengan cara tertentu, mereka turut memperkuat gagasan bahwa perempuan “seharusnya” berperilaku dengan cara tertentu dan bahwa penyimpangan dari norma tersebut akan berakibat fatal.
ADVERTISEMENT
Dampaknya terhadap Sistem Peradilan Pidana kita, menimbulkan Prejudis dalam Pengadilan, yang mana persepsi publik yang terbentuk melalui media tadi dapat mempengaruhi keputusan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang ada.
Jika masyarakat secara umum memandang perempuan sebagai pelaku kejahatan sebagai ancaman yang lebih besar, maka mereka mungkin akan menerima hukuman yang lebih berat dibandingkan laki-laki yang melakukan kejahatan serupa.
Kemudian, kurangnya Empati, media seringkali gagal untuk menghadirkan cerita yang kompleks dan manusiawi tentang perempuan sebagai pelaku kejahatan. Akibatnya, masyarakat cenderung kurang empati terhadap mereka dan lebih mudah menyalahkan mereka atas tindakan mereka.
Kesulitan akan akses keadilan yang sama, bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan atau mengalami ketidakadilan dalam sistem hukum, persepsi negatif terhadap perempuan sebagai pelaku kejahatan dapat menjadi penghalang untuk mendapatkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Pentingnya adanya Etika Kepedulian dalam Penegakan Hukum dalam Kasus Perempuan sebagai Pelaku Kejahatan
Etika kepedulian (ethics of care) adalah pendekatan filosofis yang dikembangkan oleh Carol Gilligan dan Nel Noddings. Etika ini menekankan pentingnya empati, relasi interpersonal, dan tanggung jawab untuk merawat, sebagai dasar pengambilan keputusan moral, berbeda dari pendekatan etika tradisional yang lebih mengutamakan prinsip universalitas dan keadilan abstrak.
Carol Gilligan dalam bukunya In a Different Voice (1982), Gilligan mengkritik teori moral tradisional yang sering mengabaikan perspektif perempuan, yang cenderung berfokus pada hubungan dan tanggung jawab kepada orang lain. Gilligan menekankan bahwa pendekatan moral yang berbasis kepedulian lebih mencerminkan pengalaman hidup perempuan, terutama dalam konteks pengambilan keputusan hukum yang melibatkan perempuan sebagai subjek.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Nel Noddings dalam Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (1984), Noddings memperluas konsep kepedulian sebagai inti dari hubungan manusia. Ia menekankan bahwa sistem hukum yang baik harus mempertimbangkan kepedulian sebagai prinsip dasar, terutama ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan perempuan. Noddings berpendapat bahwa pendekatan berbasis kepedulian dapat memberikan konteks yang lebih manusiawi dan responsif terhadap kebutuhan perempuan, yang sering kali diabaikan oleh sistem peradilan tradisional.
Kasus perempuan sebagai pelaku kejahatan, terutama dalam konteks pembunuhan, menyoroti perlunya pendekatan yang lebih sensitif dan berorientasi pada pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan mereka.
Mengatasi bias gender dan pengaruh media dalam penegakan hukum memerlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan sensitif terhadap konteks, diharapkan sistem peradilan dapat memberikan penanganan yang lebih adil dan efektif terhadap kasus-kasus ini, tanpa terpengaruh oleh narasi media yang menyesatkan dan stereotip gender yang merugikan.
ADVERTISEMENT
Terlebih, mengintegrasikan etika kepedulian dalam sistem peradilan, terutama dalam konteks perempuan yang berhadapan dengan hukum, akan membantu menciptakan pendekatan yang lebih adil dan manusiawi. Penguatan dan pengembangan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap tahapan penanganan kasus, mulai dari penyidikan hingga peradilan, harus benar-benar sensitif terhadap kebutuhan dan kondisi unik perempuan. Ini tidak hanya akan meningkatkan keadilan bagi perempuan, tetapi juga memperkuat legitimasi sistem peradilan yang responsif terhadap semua lapisan masyarakat.