Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Self-Reward vs Doom Spending: Fitur ‘PayLater’ sebagai Tantangan Finansial Gen Z
2 Januari 2025 8:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dominica Esteralma Noviputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa itu Self-Reward?
“Abis ujian kita photobooth bareng buat self-reward, yuk!”
ADVERTISEMENT
“Eh, tasnya lucu! Beli deh, itung-itung self-reward abis kelarin projek besar.”
Kalimat di atas menggambarkan tren self-reward yang marak di kalangan Gen Z. Self-reward merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan bentuk apresiasi diri sebagai salah satu cara mencintai diri sendiri atau self-love. Self-reward dapat disalurkan melalui berbagai macam hal, seperti membeli barang yang diinginkan atau pergi berlibur. Self-reward sendiri memiliki dampak baik, terutama bagi kesehatan mental karena dapat melepas stress dan membangkitkan motivasi dalam bekerja. Selain itu, self-reward juga mampu menyadarkan seseorang untuk selalu menghargai usaha dan mencintai diri sendiri. Namun, seringkali self-reward dilakukan tanpa memerhatikan relevansi terhadap kebutuhan. Self-reward hanya berakhir menjadi kedok bagi Gen Z untuk membeli barang yang dinginkan tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan sehingga Gen Z seringkali terjebak pada kondisi doom spending. Lalu, apa korelasi antara self-reward dengan doom spending?
ADVERTISEMENT
Self-Reward dalam Konteks Doom Spending
Doom spending merupakan istilah yang menggambarkan perilaku konsumtif seseorang dengan cara belanja secara impulsif atau impulsive buying untuk menghilangkan stress dan kecemasan. Doom spending dijadikan pelarian bagi seseorang yang sedang berada dalam kondisi stress, seperti ekonomi yang menurun. Hal ini menjadikan seseorang memiliki ilusi semata bahwa dengan berbelanja, maka mereka akan merasa puas. Doom spending mengakibatkan seseorang hanya mengukur kepuasan mereka secara jangka pendek, yaitu melalui konsumsi berlebihan yang malah semakin memperburuk kondisi keuangan mereka. Menurut survei yang dilakukan oleh Intuit Prosperity Index Study pada Januari 2023, anak muda lebih suka menghabiskan uang mereka alih-alih memangkas jumlah pengeluaran karena kondisi ekonomi yang tidak stabil. Generasi Z cenderung melepaskan stress dengan cara memenuhi kepuasan yang sifatnya sementara saja, salah satunya dengan membeli suatu barang yang dirasa menarik, padahal barang tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan. Inilah yang kemudian menjadikan Gen Z terjerat perilaku doom spending dengan menjadikan ‘self-reward’ sebagai pembenaran. Karena sifatnya yang sementara, maka mereka yang membeli suatu barang secara impulsif akan merasa menyesal di kemudian hari. Hal ini justru akan meningkatkan stress karena timbul rasa penyesalan terhadap sesuatu yang tidak bernilai di kemudian hari. Self-reward yang seharusnya bertujuan untuk melepaskan stress, malah akan membawa seseorang pada keadaan stress yang baru karena terjebak dalam perilaku doom spending.
Fitur ‘PayLater’ sebagai Pendorong Terjadinya Doom Spending
ADVERTISEMENT
“Antingnya cantik deh, murah lagi. Beli kali ya pake paylater biar bulan ini ga boncos-boncos amat.”
“Jepit rambut sekalian deh, nambah paylater dikit doang kok.”
Fenomena doom spending menjadi semakin menarik dengan adanya kemajuan di bidang digital yang menjadikan kehidupan manusia serba instan. Salah satunya adalah maraknya e-commerce. Bankrate melalui survei pada Agsustus 2023 menyatakan bahwa sebanyak 48% pengguna media sosial secara impulsif pernah membeli produk yang mereka lihat di sosial media dan 57% dari mereka menyesali setidaknya satu dari pembelian yang mereka lakukan. Data tersebut mengindikasikan bahwa kemudahan untuk berbelanja melalui layar gawai semakin membuka peluang besar bagi Gen Z untuk terjebak dalam perilaku doom spending. Bagaimana tidak, e-commerce menawarkan fitur kemudahan bagi masyarakat, salah satunya adalah fitur bayar nanti atau PayLater. Keberadaan fitur PayLater dalam maraknya budaya self-reward oleh Gen Z bak pisau bermata dua. Di satu sisi, PayLater memberikan kemudahan untuk berbelanja tanpa menggunakan uang tunai. Namun, di sisi lain, kemudahan ini juga berperan dalam memperkuat perilaku konsumtif yang dapat menyebabkan penumpukan utang dan krisis keuangan.
ADVERTISEMENT
Dampak Negatif Fitur Pembayaran ‘PayLater’ terhadap Kehidupan Gen Z
1. Menumpuknya akumulasi utang
Semakin sering membeli barang yang tidak dibutuhkan melalui PayLater dengan jatuh tempo yang bersamaan dapat menyebabkan penumpukan utang yang mengarah pada kesulitan keuangan jangka panjang.
2. Tekanan mental yang semakin buruk
Utang yang menumpuk dan adanya kewajiban untuk melakukan pembayaran yang tiada henti dapat menimbulkan kecemasan pada Gen Z. Tekanan psikologis ini akan semakin parah apabila seseorang yang memiliki beban utang masih belum mencapai fase keuangan yang stabil.
3. Kualitas Hidup Menurun.
Ketergantungan pada layanan PayLater dapat merusak rencana pengelolaan keuangan karena motivasi untuk menabung dan berinvestasi akan dikalahkan oleh keinginan untuk berbelanja.
Menghindari Doom Spending Berkedok Self Reward
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Annisa Putri. (2023, Desember 15). Doom Spending Gen Z Bikin Cepat Miskin, Ini Artinya! https://volix.co.id/lifestyle/doom-spending-gen-z-bikin-cepat-miskin-ini-artinya/
Dzattadini, A, dkk. (2024). Dampak Penggunaan Aplikasi Paylater Terhadap Gaya Hidup Masyarakat. Akuntansi Pajak dan Kebijakan Ekonomi Digital, 1(2), 51–60. https://doi.org/10.61132/apke.v1i2.75
Vhalery, R. (2021). Self-Reward dan Self-Punishment untuk Pengelolaan Uang Saku dan Penggunaan Aplikasi Fintech. Education & Economics Science Meet, 1, 1. https://doi.org/10.37010/duconomics.v1
Live Update