Konten dari Pengguna

Multitafsir Pemberhentian Ahok

Feri Amsari
Anak kampung. Peminat studi hukum tata negara, konstitusi, perbandingan hukum, dan hukum pidana.
16 Februari 2017 7:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Feri Amsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahok berkemeja batik di persidangan. (Foto: Pool)
zoom-in-whitePerbesar
Ahok berkemeja batik di persidangan. (Foto: Pool)
Sebagai pusat perhatian politik terkini, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) kerap menjadi bahan perdebatan. Setiap tindakan dan ucapannya, bahkan yang paling positif sekalipun, tidak hanya mendapatkan dukungan tetapi juga caci-maki. Itu sebabnya status aktifnya kembali Ahok sebagai Gubernur cum Terdakwa penista agama menghadirkan perdebatan sengit pula. Termasuk perdebatan para ahli.
ADVERTISEMENT
Apalagi putaran pertama pemilihan Gubernur DKI Jakarta sudah menunjukan hasilnya. Perdebatan yang muncul dari dua status Ahok itu, misalnya, terjadi antara Mahfud MD dengan Refly Harun. Dua ahli itu memaknai berbeda pasal pemberhentian sementara Gubernur yang terjerat kasus pidana. Perbedaan cara memaknai undang-undang itu sesungguhnya perihal yang lumrah terjadi. Apalagi produk perundang-undangan yang terbentuk banyak memiliki tafsir bercabang.
Namun perbedaan para ahli menafsir undang-undang itu acapkali dimaknai publik sebagai bentuk keberpihakan pada pihak tertentu. Tulisan ini hendak menjelaskan secara berimbang dua pandangan para ahli itu dan bagaimana posisi hak konstitusional Ahok dalam perdebatan itu. Perlindungan terhadap hak Ahok itu menjadi penting sebagaimana pentingnya aparat negara menegakan hukum dalam kasus penistaan agama. Tentu saja penegakan hukum yang tidak dipengaruhi “kicauan” publik apalagi karena tekanan politik.
ADVERTISEMENT
Baca juga:
Dua sisi tafsir
Perdebatan Mahfud dan Refly itu terkait dua pasal dari dua undang-undang yang berbeda namun berkaitan dengan status Ahok. Gubernur DKI Jakarta itu sedang didakwa Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena ucapannya yang diduga “menista” agama Islam. Berdasarkan Pasal 156a KUHP itu, Ahok dapat dipidana dengan pidana penjara “selama-lamanya lima tahun”. Kata “selama-lamanya lima tahun” itu tentu saja bermakna Ahok tidak dapat dipidana lebih dari lima tahun. Jadi semacam pidana berbentuk “maksimum khusus” dalam kajian hukum pidana.
Akibat didakwanya Ahok melanggar Pasal 156a KUHP itu, Mahfud dan beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa pendakwaan Ahok itu menimbulkan konsekuensi hukum bagi statusnya sebagai Gubernur. Dengan menggunakan dalil Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Mahfud berpendapat Ahok harus diberhentikan sebagai Gubernur. Pasal tersebut mengatur tentang pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tanpa melalui usulan DPRD.
ADVERTISEMENT
Menurut pasal tersebut, pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah apabila didakwa melakukan 6 (enam) jenis pidana dan/atau melakukan perbuatan, yaitu: (i) tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun; (ii) tindak pidana korupsi; (iii) tindak pidana terorisme; (iv) makar; (v) tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau (vi) perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perihal “tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun” itulah yang menyebabkan timbulnya friksi pendapat antara Mahfud dan Refly. Lalu, apakah makna sesungguhnya dari “tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun” itu?
Mahfud MD berpendapat bahwa setiap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam hukuman lima tahun dapat diberhentikan sementara. Dalam kasus Ahok, Gubernur DKI itu diancam tindak pidana penistaan agama dengan ancaman pidana selama-lamanya lima tahun. Pendapat Mahfud ini tentu benar jika alat ukurnya ancaman lamanya pemidanaannya (masa hukuman penjaranya). Pada titik itu, Refly berbeda pandangan. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) itu alat ukurnya bukanlah lamanya pemidanaanya saja tetapi juga jenis pidananya. Jenis pidana yang diancam dengan pidana “paling singkat” itu memang dikenal dalam produk perundang-undangan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Misalnya, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menentukan beberapa tindak pidana narkotika yang diancam pemidanaan paling singkat tersebut. Tetapi tidak semua tindak pidana narkotika yang diancam pemidanaan paling singkat 5 (lima) tahun, tetapi ada juga yang ancamannya paling singkat 4 (empat) tahun. Coba simak misalnya hukuman pada Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) UU Narkotika. Di dalam ketentuan itu, terhadap pelaku dibedakan ancaman “pidana penjara paling singkat” berdasarkan berat-ringannya perbuatan. Jika pelaku memiliki jumlah narkotika dengan kadar rendah diancam pidana paling singkat 4 (empat) tahun. Sedangkan jika pemilikan narkotika dalam jumlah lebih banyak maka baru diancam pidana paling singkat 5 (lima) tahun.
ADVERTISEMENT
Sehingga, apabila Ahok melakukan tindak pidana yang diatur pada Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika yang diancam pidana paling singkat 4 (empat) tahun maka Gubernur DKI Jakarta itu tidak dapat diberhentikan sementara. Sebaliknya apabila Ahok didakwa Pasal 111 ayat (2) atau Pasal 112 ayat (2) UU Narkotika yang merupakan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun maka barulah Ahok diberhentikan.
Jadi pemberhentian sementara Ahok hanya dapat dilakukan terhadap jenis tindak pidana yang mengatur khusus tentang ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun. Maksud dari Pasal 83 ayat (1) UU Pemda bukanlah setiap tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun penjara saja, tetapi terhadap pidana yang ancaman pidananya menggunakan terminologi minimum khusus seperti UU Narkotika itu. Jadi apabila diamati UU Narkotika, pendapat Refly merupakan pendapat yang benar dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah pula.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan tuduhan bahwa Ahok telah melakukan perbuatan yang dapat memecah belah NKRI perlu pula dibahas di sini. Menurut saya perbuatan Ahok yang menimbulkan friksi di masyarakat tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang memecah-belah NKRI. Ketentuan itu tentu perihal kewenangan kepala daerah yang dapat melakukan upaya pemisahan dari NKRI. Jadi soal penistaan agama yang menimbulkan perdebatan luas di masyarakat tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat memecah belah NKRI.
Meskipun demikian, hal itu hanyalah pandangan dalam menafsirkan ketentuan perundang-undangan. Tidak satu pun dari pendapat tersebut, baik Mahfud maupun Refly, yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Itu sebabnya Presiden (dan Menteri Dalam Negeri) tidak dapat menggunakan pendapat itu dalam memutuskan status Gubernur Ahok. Dalam ketentuan yang multi-tafsir demikian, Presiden tentu memiliki pemahamannya sendiri. Terhadap multi-tafsir peraturan undang-undang itu maka hak Ahok tidak boleh dirugikan. Begitulah berhukum secara adil itu. Jika terdapat pihak-pihak yang merasa berkepentingan dan menghendaki agar kepastian hukum dapat timbul dari status Ahok, maka dapat dilakukan permintaan pemberian fatwa kepada Mahkamah Agung atau meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir yang final dan mengikat terhadap permasalahan itu. Semoga kita dapat berlaku adil.
ADVERTISEMENT
Feri Amsari
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas; dan Peneliti Kode Inisiatif