Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Pohon Aren dan Tuak yang Populer di Hindia Belanda
19 Juli 2024 10:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Finariyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pohon Aren, Areng, Kawung (Arenga saccharifera) merupakan salah satu jenis pohon palem-paleman atau pinang-pinangan yang biasa dijadikan tanaman budidaya . Tanaman ini ditanam di antara pohon buah-buahan lainnya dalam suatu tempat. Tanaman inilah yang mampu menghasilkan gula jawa merah (de bruine Javasche suiker atau suikerpalm) yang dihasilkan dari sarinya yang menguap dan mengental di atas api.
ADVERTISEMENT
Ciri khas dari tanaman aren adalah batangnya yang rendah yang seluruh hamparannya ditutupi tumbuhan pakis dan tumbuhan parasit lainnya serta daunnya yang panjang (pelepah) berwarna hijau kebiruan tua.
Pada tahun 1842 , perusahaan gula aren di kawasan Bandung sudah mampu mempekerjakan 440 keluarga atau 1.585 orang dengan 159 tempat memasak dilengkapi dengan 334 panci besi besar.
Terdapat 20.779 pohon aren di kawasan tersebut; 3.203 pohon sedang istirahat tidak menghasilkan getah, 12.927 pohon menyediakan sari buah, 4649 pohon harus disadap dengan kuat. Dari seluruh massa sari buah tersebut bisa memproduksi sebanyak 1.970 pikul yang senilai dengan 125 pon gula yang bisa direbus.
Selain diolah menjadi gula, sari buah aren juga bisa diminum ketika masih segar atau saat sudah mendidih seperti tuak. Tuak merupakan minuman beralkohol tradisional yang sangat terkenal dengan kadar etanol kurang lebih sebesar 4% .
ADVERTISEMENT
Kata “tuak” berasal dari penyebutan dalam prasasti-prasasti Jawa kuno “twa” atau “twak”. Kata ini kemungkinan besar berasal dari Nusantara karena tidak ada sumber tertulis kuno lain yang menulisnya kata tersebut terlebih dahulu.
Minuman beralkohol ini bahkan muncul dalam relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8. Setidaknya terdapat dua bagian dalam relief Candi Borobudur yang mencantumkan tentang arak. Pertama, relief dengan yang menggambarkan sekumpulan orang berada di bawah pohon aren yang sedang menikmati minuman fermentasi tradisional yang diberikan oleh pelayan.
Kedua, relief yang menggambarkan seorang laki-laki dewasa yang membawa tuak. Relief tersebut menggambarkan adanya kebiasaan meminum minuman fermentasi oleh semua kalangan masyarakat, dari golongan bawah hingga raja.
Minuman beralkohol menurut beberapa prasasti biasa disajikan dalam acara seremonial dan ritual, seperti dalam pembentukan sima oleh raja-raja seperti yang tercantum dalam Prasasti Taji (901 M), Pangumulan (902 M), dan Prasasti Gulung-Gulung (929 M), . Minuman ini juga kerap muncul dalam karya sastra kuno seperti Negarakertagama (1365), Babad Tanah Jawi (1722), dan Serat Centini (1814).
ADVERTISEMENT
Selain di Jawa dan Sumatra, kata tuak juga muncul di wilayah Bali seperti dalam Prasasti batur Pura Abang (1011). Tuak seperti telah menjadi minuman resmi dalam acara-acara penting kerajaan yang artinya minuman ini memiliki persepsi positif.
Minuman ini dahulu sangat digemari terutama oleh orang Madura dan Bugis. Awalnya wilayah mereka berada banyak menerima ekspor tuak dari Grissee (Gresik). Pada tahun 1885 polisi di Gresik memutuskan untuk sedikit menghalangi ekspor tersebut. Hal ini disebabkan oleh biaya penyebrangannya yang sangat mahal. Dari Gresik ke Kamal (sekitar Madura) membutuhkan 7,5 - 10 sen. Sumatra, sebagai salah satu wilayah pengonsumsi tuak juga banyak mengusahakan peningkatan penjualan produk tersebut.
Pada tahun 1925 , seseorang bernama Rangsama Nada meminta kepada Dewan Kota Medan untuk melarang penjualan tuak dalam jumlah kecil di wilayah kotamadya dan meminta adanya hak sewa untuk menjual tuak setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang minuman beralkohol ini membawa sebuah petaka. Kasus pembunuhan pernah terjadi di Hindia Belanda akibat konsumsi tuak berlebih. Seorang pria bernama Sarnen atau dikenal Pak Mat, seorang kuli Madura, pada 8 Februari 1936 membunuh seseorang bernama Gipo setelah mereka meminum tuak kemudian berkelahi hingga sebilah pisau belati keluar dari jaketnya.
Kasus lainnya di Desa Tjikoeja, Tangerang pada Juni 1939 terjadi insiden keracunan tuak yang menimpa 13 orang. Dua orang di antaranya meninggal dunia sementara 11 lainnya masih dirawat.
Minuman ini juga digunakan dalam ritual penguburan orang Dayak yang orang Belanda sebut sebagai Festival Orang Mati (Doodenfest) . Tuak diminum saat upacara dijalankan untuk menjaga suasana hati.
Hingga saat ini, tuak masih populer di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti di Bali, tuak bahkan menjadi minuman lokal yang banyak dicari wisatawan bahkan kerap menjadi oleh-oleh khas.
ADVERTISEMENT