news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

45 Tahun APHTN-HAN: Menerangi Negeri dengan Ilmu

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
3 Maret 2025 11:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara adalah dua pilar yang menopang demokrasi. Keduanya seperti dua mata pisau yang membelah terang dan gelap, menyingkap ketertiban dari kekacauan, memberikan bentuk bagi negara agar tidak sekadar menjadi kekuasaan yang melata.
ADVERTISEMENT
Dalam 45 tahun terakhir, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) telah menjadi suluh yang menerangi jalan panjang demokrasi Indonesia. Sejak berdiri pada 3 Maret 1980, ia bukan sekadar organisasi akademik, tetapi juga rumah bagi pemikir, cendekiawan, dan penggerak hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Tapi, dalam empat setengah dekade perjalanannya, pertanyaan mendasar tetaplah sama: Seberapa jauh ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara telah membentuk republik ini? Apakah APHTN-HAN masih menjadi suluh yang cukup terang di tengah gelombang ketidakpastian politik dan hukum?
Ilustrasi logo APHTN HAN, Sumber: aphtnhan.id
Ilmu Hukum dan Wajah Negara
Dalam setiap negara, hukum adalah cermin. Ia mencerminkan karakter sebuah bangsa, menampilkan wajah penguasanya, dan menunjukkan bagaimana rakyat diperlakukan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, hukum tata negara bukan hanya soal konstitusi dan perundang-undangan, tetapi juga soal bagaimana kekuasaan dipahami, dijalankan, dan dikontrol. Begitu pula hukum administrasi negara, yang menentukan bagaimana birokrasi bekerja, bagaimana pelayanan publik dijalankan, dan bagaimana negara hadir di tengah rakyatnya.
Di sinilah peran APHTN-HAN menjadi penting. Organisasi ini lahir bukan sekadar untuk mengajarkan ilmu, tetapi untuk memastikan bahwa ilmu itu tetap relevan dengan realitas negeri ini.
Namun, ilmu hukum tata negara dan administrasi negara bukanlah sesuatu yang statis. Ia berkembang seiring dengan zaman. Tantangannya hari ini bukan lagi seperti era Orde Baru, ketika hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Kini, tantangannya lebih kompleks: bagaimana memastikan hukum tetap menjadi penuntun di tengah fragmentasi politik yang semakin tajam dan birokrasi yang sering kali lebih melayani kepentingan segelintir orang dibandingkan rakyat banyak.
ADVERTISEMENT
Dari Reformasi ke Masa Kini: Perjalanan yang Tak Selalu Lurus
Sejak reformasi 1998, hukum tata negara di Indonesia mengalami perubahan besar. Konstitusi yang dulu nyaris tak tersentuh kini telah mengalami empat kali amandemen. Sentralisasi kekuasaan di Jakarta mulai dikurangi, membuka ruang bagi otonomi daerah yang lebih luas. Mahkamah Konstitusi didirikan sebagai penjaga konstitusi, memastikan bahwa hukum tidak sekadar menjadi alat politik.
Namun, 25 tahun setelah reformasi, kita harus bertanya: Apakah hukum tata negara kita sudah benar-benar matang? Apakah demokrasi yang kita miliki saat ini sudah cukup kuat untuk melawan ancaman oligarki?
Jawabannya tidak sederhana.
Hari ini, kita masih menyaksikan bagaimana hukum sering kali lebih berpihak pada mereka yang berkuasa dibandingkan rakyat. Kita masih melihat bagaimana administrasi negara sering kali menjadi alat birokrasi yang berbelit, bukannya alat pelayanan publik yang efektif.
ADVERTISEMENT
APHTN-HAN, dalam usianya yang ke-45, punya tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa ilmu hukum tidak hanya menjadi teori di ruang kuliah, tetapi juga menjadi praktik yang mengawal negara agar tetap berada di jalur yang benar.
Ilmu Hukum yang Dekat dengan Rakyat
Satu kritik terbesar terhadap akademisi hukum tata negara dan administrasi negara adalah bahwa ilmu ini sering kali terasa jauh dari rakyat. Ia sering dibahas dalam seminar-seminar dengan bahasa yang sulit dipahami, atau dalam jurnal-jurnal ilmiah yang jarang dibaca oleh mereka yang paling terdampak oleh kebijakan negara.
Tapi sesungguhnya, hukum tata negara adalah ilmu yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Ketika seorang pedagang kaki lima digusur tanpa solusi yang adil, itu adalah persoalan hukum administrasi negara. Ketika sebuah pemilu dijalankan dengan aturan yang timpang, itu adalah persoalan hukum tata negara. Ketika seorang pegawai negeri sipil merasa terancam karena tidak tunduk pada kekuasaan politik, itu adalah bukti bagaimana birokrasi sering kali dijadikan alat kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Di sinilah APHTN-HAN harus mengambil peran yang lebih aktif. Bukan hanya menjadi komunitas akademisi yang berbicara dalam ruang-ruang tertutup, tetapi juga menjadi penggerak perubahan di lapangan.
Ilmu hukum tidak boleh hanya menjadi milik para ahli. Ia harus menjadi milik rakyat, dipahami oleh rakyat, dan digunakan untuk melindungi kepentingan rakyat.
Tantangan di Depan: Oligarki dan Birokrasi yang Tak Netral
Hari ini, ancaman terhadap hukum tata negara dan hukum administrasi negara bukan lagi dalam bentuk otoritarianisme klasik.
Ancaman terbesar hari ini adalah oligarki.
Kita telah memasuki era di mana hukum tidak lagi dikuasai oleh satu penguasa tunggal, tetapi oleh sekelompok kecil elite ekonomi dan politik yang mampu mengendalikan negara dari balik layar.
ADVERTISEMENT
Di banyak negara, demokrasi tetap berjalan, pemilu tetap dilaksanakan, hukum tetap ada. Tetapi di balik semua itu, keputusan-keputusan besar sering kali sudah ditentukan oleh kelompok yang lebih kecil, yang memiliki kekuatan finansial dan akses ke kekuasaan.
Birokrasi, yang seharusnya menjadi tulang punggung negara, sering kali terjebak dalam ketidaknetralan. Jabatan-jabatan strategis tidak lagi diberikan berdasarkan kompetensi, tetapi atas dasar kepentingan politik.
Di sinilah peran hukum tata negara dan hukum administrasi negara menjadi sangat krusial.
Jika hukum tidak digunakan untuk mengontrol kekuasaan, maka ia hanya akan menjadi alat legitimasi bagi mereka yang berkuasa. Jika administrasi negara tidak dijalankan dengan profesionalisme, maka rakyat akan selalu menjadi pihak yang dikorbankan.
APHTN-HAN harus mengambil sikap yang jelas: menjadi benteng yang mengawal demokrasi, memastikan bahwa hukum tetap berpihak pada keadilan, dan menjaga agar birokrasi tetap profesional serta tidak menjadi alat politik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Masa Depan: Ilmu yang Berani Menghadapi Kekuasaan
Di usia ke-45, APHTN-HAN bukan lagi organisasi yang baru lahir. Ia telah matang, telah melewati berbagai tantangan zaman.
Tapi pertanyaannya adalah: Apakah ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara akan tetap memiliki keberanian untuk menghadapi kekuasaan?
Di banyak titik dalam sejarah, hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Tapi di saat yang lain, hukum juga bisa menjadi alat perlawanan bagi rakyat.
APHTN-HAN harus memilih berdiri di mana.
Ilmu tidak boleh menjadi netral dalam menghadapi ketidakadilan. Hukum tidak boleh menjadi alat pembenaran bagi kesewenang-wenangan.
Tugas APHTN-HAN bukan hanya mendidik mahasiswa, tetapi juga memastikan bahwa ilmu yang diajarkan tetap relevan dengan perjuangan demokrasi.
ADVERTISEMENT
45 tahun adalah waktu yang panjang. Tapi jalan masih jauh.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, di tengah negara yang sering kali lebih berpihak pada mereka yang berkuasa dibandingkan rakyatnya, APHTN-HAN harus tetap menjadi suluh yang menerangi negeri dengan ilmu.
Bukan ilmu yang sekadar menjadi teori.
Tapi ilmu yang berani menantang ketidakadilan.
Ilmu yang berpihak pada demokrasi.
Dan ilmu yang, pada akhirnya, menjadi cahaya bagi masa depan republik ini.