Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Cendekiawan Rakyat
3 Maret 2025 10:57 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, kata “cendekiawan” sering terdengar megah. Ia diasosiasikan dengan mereka yang duduk di ruang-ruang akademik, yang menulis esai panjang dalam jurnal ilmiah, yang berbicara di seminar dengan bahasa yang tidak selalu dimengerti rakyat banyak.
ADVERTISEMENT
Tapi ada yang keliru di sana.
Cendekiawan bukan hanya mereka yang memiliki gelar akademik. Bukan hanya mereka yang mengutip teori-teori besar, atau yang namanya tertera dalam daftar pustaka. Ada jenis cendekiawan lain—yang tak selalu disadari keberadaannya. Mereka tidak mengisi forum akademik, tetapi mereka adalah denyut kehidupan di jalanan, di pabrik, di sawah, di pasar, di tempat-tempat di mana kerja dan pikiran bertemu dalam bentuk yang paling konkret.
Mereka adalah cendekiawan rakyat.
Dari Pabrik ke Pasar, dari Sawah ke Jalanan
Di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, seorang sopir truk berbicara tentang kenaikan harga bahan bakar dan dampaknya terhadap ongkos hidup. Ia memahami bagaimana kebijakan subsidi bisa mengubah keseimbangan ekonomi, bukan dari buku, tapi dari aspal jalanan yang setiap hari dilaluinya.
ADVERTISEMENT
Di sebuah pasar tradisional, seorang pedagang tahu bahwa impor besar-besaran dari negara tetangga telah membuat harga dagangannya anjlok. Ia tidak perlu membaca laporan ekonomi untuk memahami bahwa sistem perdagangan yang berlaku lebih menguntungkan segelintir orang dan menyulitkan mereka yang berdiri di bawah.
Di sebuah pabrik yang baru saja melakukan PHK massal, seorang buruh berbicara tentang hak-hak pekerja dengan ketajaman analisis yang bisa menandingi diskusi akademik. Ia memahami dengan jelas bagaimana hukum ketenagakerjaan sering kali lebih berpihak pada pemodal dibandingkan pekerja.
Mereka semua berpikir. Mereka semua memahami realitas yang ada, tidak dari teori, tetapi dari pengalaman langsung.
Inilah yang sering kali luput dari perhatian: bahwa pengetahuan tidak hanya lahir di ruang kelas. Ia juga lahir di jalanan, di tengah kerja, di dalam kehidupan yang dijalani dengan penuh kesadaran.
ADVERTISEMENT
Antara Intelektual dan Cendekiawan
Di Indonesia, kata “intelektual” sering kali terdengar elitis. Ia diasosiasikan dengan seseorang yang duduk di menara gading, yang berbicara dalam bahasa yang hanya dipahami oleh segelintir orang.
Tapi dalam sejarahnya, seorang cendekiawan tidak selalu seperti itu.
Tan Malaka adalah seorang cendekiawan, meskipun hidupnya lebih banyak dihabiskan dalam pelarian. Ki Hadjar Dewantara adalah seorang cendekiawan, meskipun perjuangannya lebih banyak dilakukan di luar ruang akademik. Wiji Thukul adalah seorang cendekiawan, meskipun puisinya tidak pernah diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Yang membedakan seorang cendekiawan dengan sekadar intelektual adalah keberpihakan.
Seorang intelektual bisa memahami persoalan, tetapi seorang cendekiawan bertindak. Seorang intelektual bisa menulis tentang ketimpangan sosial, tetapi seorang cendekiawan turun langsung ke lapangan, berdialog dengan rakyat, mengorganisir perubahan.
ADVERTISEMENT
Dan jika kita mau jujur, banyak dari mereka yang disebut “cendekiawan” hari ini justru semakin jauh dari rakyat.
Mereka berbicara tentang kemiskinan dari balik podium seminar, tetapi jarang benar-benar berbincang dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Mereka menulis tentang demokrasi, tetapi tidak pernah benar-benar mengalami bagaimana demokrasi dirusak di tingkat akar rumput.
Sebaliknya, seorang petani yang memahami bagaimana harga panen ditentukan oleh permainan kartel bisa lebih tajam dalam menganalisis sistem ekonomi dibandingkan seorang ekonom yang hanya melihat angka di atas kertas.
Seorang buruh yang tahu bagaimana kontrak kerja dibuat untuk mengeksploitasi bisa lebih tajam dalam membaca hukum ketenagakerjaan dibandingkan seorang sarjana hukum yang belum pernah bekerja sehari pun di pabrik.
ADVERTISEMENT
Inilah cendekiawan rakyat—mereka yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga mengalami kenyataan.
Ketika Ilmu Terpisah dari Kehidupan
Ada yang berubah dalam dunia akademik kita.
Dulu, para pemikir besar tidak hanya berbicara kepada sesama akademisi, tetapi juga kepada masyarakat luas. Soekarno menulis dengan bahasa yang bisa dipahami buruh dan petani. Hatta berbicara tentang ekonomi rakyat dengan cara yang membumi.
Tapi hari ini, banyak intelektual justru semakin menjauh dari rakyat. Mereka menulis dalam bahasa yang sulit dimengerti, menerbitkan karya-karya yang hanya dibaca oleh sesama akademisi, dan jarang turun langsung untuk memahami realitas yang terjadi.
Mungkin ini sebabnya mengapa masyarakat semakin tidak peduli dengan dunia akademik.
Ilmu yang seharusnya menjadi alat untuk memahami dan mengubah dunia justru menjadi sesuatu yang eksklusif, hanya untuk mereka yang memiliki akses ke universitas.
ADVERTISEMENT
Padahal, ilmu seharusnya hidup di tengah masyarakat. Ia bukan sesuatu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi sesuatu yang bisa diakses dan dipahami oleh siapa saja.
Dan inilah peran penting cendekiawan rakyat: menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan, mengubah teori menjadi tindakan, menjadikan ilmu sebagai bagian dari perjuangan sosial.
Cendekiawan Tanpa Gelar
Ada mitos bahwa seseorang hanya bisa disebut cendekiawan jika memiliki gelar akademik. Tapi sejarah membuktikan bahwa gelar bukanlah syarat utama untuk menjadi seorang pemikir.
Sartre, salah satu filsuf terbesar abad ke-20, lebih dikenal karena esainya di surat kabar dibandingkan karya akademiknya. Antonio Gramsci, yang pemikirannya masih berpengaruh hingga hari ini, menulis sebagian besar gagasannya di penjara.
Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya, tetapi tulisannya lebih tajam dalam menganalisis sejarah bangsa dibandingkan banyak sejarawan akademik.
ADVERTISEMENT
Cendekiawan tidak didefinisikan oleh gelar, tetapi oleh gagasan dan keberpihakan.
Dan jika kita mau melihat lebih dekat, cendekiawan seperti ini ada di mana-mana.
Mereka adalah petani yang memahami bagaimana kebijakan agraria tidak berpihak pada rakyat kecil. Mereka adalah nelayan yang tahu bagaimana industri besar merusak ekosistem laut. Mereka adalah pekerja informal yang memahami bahwa hukum ketenagakerjaan tidak pernah benar-benar melindungi mereka.
Mereka mungkin tidak menulis di jurnal ilmiah, tetapi pemikiran mereka tajam. Mereka mungkin tidak berbicara dalam seminar, tetapi mereka memahami persoalan dengan cara yang jauh lebih konkret.
Dan justru dari merekalah, kita bisa belajar.
Menjadi Cendekiawan Rakyat
Pertanyaannya, apakah kita masih bisa membangun jembatan antara dunia akademik dan realitas sosial?
ADVERTISEMENT
Apakah kita masih bisa membuat ilmu kembali hidup di tengah masyarakat?
Tugas cendekiawan bukan hanya menulis dan berpikir, tetapi juga mendengar dan berbicara kepada mereka yang selama ini suaranya tidak terdengar.
Jika kita ingin melihat perubahan nyata, kita harus mulai melihat ke bawah—bukan dalam arti merendahkan, tetapi dalam arti memahami bahwa kebijaksanaan sering kali lahir dari mereka yang selama ini dianggap tidak berpendidikan.
Negeri ini tidak kekurangan intelektual. Yang kita butuhkan adalah lebih banyak cendekiawan rakyat—mereka yang berpikir, tetapi juga bertindak. Mereka yang membaca, tetapi juga mengalami. Mereka yang tidak hanya berbicara kepada sesama akademisi, tetapi juga kepada buruh, petani, nelayan, dan mereka yang selama ini hanya menjadi objek kebijakan, bukan subjek pemikiran.
ADVERTISEMENT
Karena jika ilmu hanya berputar di dalam lingkaran akademik, ia akan mati. Tetapi jika ilmu dihidupkan oleh rakyat, ia akan menjadi kekuatan yang mengubah dunia.