Konten dari Pengguna

Dosen Pemikir dan Ilmuwan, Bukan Politisi Kampus

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
1 April 2025 9:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu sore di lorong kampus yang sunyi, seorang mahasiswa bercerita lirih: “Pak dosen kami lebih sibuk rapat, berkampanye jadi kaprodi/sekprodi, wakil dekan, dekan, rektor atau urusan proyek. Kapan mengajar dengan sungguh-sungguh?” Cerita itu bukan rekaan. Ia bagian dari realitas yang menyentuh saraf paling sensitif dalam dunia pendidikan tinggi kita: pergeseran peran dosen dari pemikir dan ilmuwan menjadi politisi kampus.
Ilustrasi Gedung Universitas, Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gedung Universitas, Sumber: Freepik
Di tengah gempuran tuntutan publik terhadap mutu pendidikan tinggi, kampus justru menjadi panggung politik yang menggerus integritas intelektual. Dosen—yang seharusnya menjadi jangkar moral dan intelektual bangsa—kian terjebak dalam manuver, lobi, dan kalkulasi kekuasaan. Jabatan akademik perlahan disulap menjadi tangga politik.
ADVERTISEMENT
Jika ini dibiarkan, perguruan tinggi akan kehilangan ruhnya: sebagai rumah berpikir, benteng kejujuran ilmiah, dan pelita nalar publik.
Universitas sebagai Ruang Suci Nalar
Dalam sejarah peradaban manusia, universitas adalah tempat tumbuhnya ide besar. Di sinilah Sokrates membimbing dengan tanya, Al-Ghazali menulis “Tahafut al-Falasifah”, dan Ki Hadjar Dewantara membangun visi pendidikan merdeka. Universitas bukan tempat untuk meniti karier kekuasaan, melainkan lahan pengabdian terhadap kebenaran, keadilan, dan ilmu pengetahuan.
Namun, dalam praktik kekinian, banyak kampus di Indonesia mengalami deviasi makna. Budaya akademik digeser oleh budaya pragmatisme. Alih-alih memperkaya khazanah ilmu, sebagian dosen lebih sibuk menulis proposal proyek, merancang aliansi politik kampus, atau mengejar jabatan struktural demi gengsi atau kepentingan finansial.
Bahkan tak jarang, jabatan akademik seperti guru besar dijadikan alat tawar-menawar politik, bukan sebagai pengakuan murni atas kontribusi ilmiah. Jika orientasi dosen lebih pada kekuasaan daripada ilmu, maka universitas akan menjadi lembaga yang keropos dari dalam.
ADVERTISEMENT
Politisi Kampus dan Matinya Intelektualitas
Fenomena politisasi jabatan akademik menimbulkan kerusakan struktural. Banyak dosen muda yang cemerlang secara keilmuan, namun tersingkir karena tak piawai bermanuver. Ilmuwan senior yang mestinya menjadi panutan, justru terjebak dalam lingkaran kekuasaan kampus, menjadi bagian dari patronase birokrasi yang mengendalikan siapa boleh naik, siapa harus tenggelam.
Tentu saja jabatan struktural penting. Kita butuh dekan, rektor, ketua program studi. Tetapi yang kita pertanyakan adalah motivasinya: apakah demi memperbaiki sistem dan meningkatkan kualitas, atau sekadar mengukuhkan dominasi kelompok tertentu?
Dalam sistem yang sudah terkontaminasi politik kampus, dosen yang bersuara kritis dianggap ancaman. Mereka dikucilkan, dinonaktifkan dari jabatan, bahkan dipindahkan secara administratif. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik dalam dunia akademik. Kampus, yang semestinya menjamin kebebasan berpikir, justru menjadi penjara intelektual.
ADVERTISEMENT
Dosen sebagai Penjaga Etika Intelektual
Dalam Pasal 60 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa dosen wajib menjunjung tinggi etika akademik dan mengembangkan budaya akademik. Ini bukan sekadar pasal normatif. Ini adalah panggilan etis.
Dosen adalah penjaga moralitas ilmu. Ia tidak hanya mengajar, tetapi meneladankan cara berpikir, bersikap, dan mencari kebenaran. Dalam diri seorang dosen terkandung amanah besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kerja-kerja intelektual.
Sayangnya, fungsi ini pelan-pelan ditinggalkan. Banyak dosen yang tidak lagi menulis jurnal, tak pernah hadir dalam forum ilmiah, bahkan tak mengikuti perkembangan keilmuan terkini. Mereka menjadi pegawai negeri bergaji tetap, tapi tidak berkontribusi terhadap kemajuan ilmu.
Kondisi ini diperparah oleh sistem insentif birokrasi pendidikan tinggi yang lebih menghargai ketaatan administratif daripada prestasi akademik. Tak heran jika sebagian dosen lebih sibuk mengisi absen daripada menulis buku.
ADVERTISEMENT
Kampus Bukan Panggung Politik
Rektorat bukan istana presiden. Senat akademik bukan parlemen. Kampus bukan arena pertarungan elektoral. Kita harus menarik garis batas tegas antara kepemimpinan akademik dan manuver politik kekuasaan.
Sudah saatnya dunia pendidikan tinggi melakukan self correction. Rektor, dekan, dan pimpinan kampus lainnya harus kembali ke khitah: mengabdi pada ilmu, bukan membangun dinasti. Pemilihan pimpinan kampus semestinya bukan ajang koalisi kelompok, melainkan seleksi ketat atas visi keilmuan dan integritas moral.
Kita membutuhkan pemimpin akademik yang punya rekam jejak ilmiah yang kuat, bukan sekadar kuat berjejaring. Kita merindukan dekan yang aktif menulis dan berpikir, bukan yang sibuk membagi jabatan. Kita membutuhkan rektor yang mampu memimpin dengan nurani, bukan dengan taktik kooptasi.
ADVERTISEMENT
Membumikan Tri Dharma dengan Nurani
Sering kali Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya menjadi jargon. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat tak lebih dari laporan tahunan. Padahal, jika sungguh dijalankan, Tri Dharma adalah pondasi revolusioner yang bisa mengubah wajah bangsa.
Pendidikan bermutu tak mungkin lahir dari dosen yang setengah hati. Penelitian berkualitas tak mungkin datang dari mereka yang hanya menyalin data. Pengabdian masyarakat yang berdampak tidak akan pernah muncul dari mereka yang tak mengenal denyut nadi rakyat.
Dosen sejati adalah mereka yang mengajar dengan semangat mencerdaskan, meneliti dengan hasrat ingin tahu, dan mengabdi dengan ketulusan. Mereka hadir bukan untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk membangun peradaban.
Jalan Reformasi Akademik
Reformasi dunia kampus tidak bisa hanya lewat regulasi. Ia membutuhkan gerakan kultural. Budaya akademik harus dibangkitkan dari dalam. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:
ADVERTISEMENT
Pertama, seleksi pimpinan kampus harus berbasis rekam jejak akademik dan integritas, bukan hanya popularitas atau loyalitas kelompok.
Kedua, perlu evaluasi ketat terhadap kinerja dosen, tak hanya dari sisi administratif, tapi juga dari kontribusi ilmiah dan publikasinya.
Ketiga, beri ruang tumbuh bagi dosen muda dengan semangat akademik tinggi, bukan dibunuh oleh sistem yang patronistik.
Keempat, dorong dan fasilitasi budaya menulis, berdiskusi, dan berpikir kritis di lingkungan kampus.
Kelima, cabut dominasi birokrasi atas kebebasan akademik. Dosen harus diberi ruang untuk bersuara tanpa takut dimarjinalkan.
Mengembalikan Marwah Keilmuan
Di tengah krisis etika dan kebingungan arah bangsa, kampus seharusnya menjadi tempat bernaungnya nurani dan akal sehat. Di sinilah tempat ilmu diuji, nilai-nilai ditajamkan, dan solusi lahir bagi masalah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tetapi jika dosen lebih sibuk membangun koalisi politik daripada membangun ilmu, jika kampus lebih menjadi lembaga kekuasaan daripada rumah pemikiran, maka kita sedang menyemai kehancuran dalam diam.
Sudah saatnya kita berkata tegas: dosen bukan politisi. Dosen adalah pemikir, ilmuwan, dan pendidik. Mereka bukan penjaja kekuasaan, tapi penjaga nurani bangsa.
Di kampus, pemikiran harus lebih nyaring dari kepentingan. Nalar harus lebih tajam dari ambisi. Dan dosen harus kembali menjadi manusia merdeka yang mengabdi bukan kepada kekuasaan, melainkan kepada kebenaran.