Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Jaksa Tilap Barang Bukti: Keadilan Dijual Murah
2 Maret 2025 10:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, keadilan punya harga.
Ia bisa dibeli, ditukar, dinegosiasikan. Kadang ia hilang di ruang sidang, kadang tenggelam dalam berkas perkara. Dan kali ini, keadilan itu dicuri dari barang bukti—sesuatu yang seharusnya menjadi penanda bahwa hukum masih punya wibawa, bahwa kejahatan masih bisa dibuktikan, bahwa mereka yang bersalah masih bisa dihukum.
ADVERTISEMENT
Tapi apa jadinya jika mereka yang diamanahkan menjaga hukum justru yang menggasaknya?
Seorang jaksa ditangkap. Ia diduga menilap barang bukti. Uang miliaran rupiah yang seharusnya dikembalikan kepada korban justru mengalir ke kantong pribadi. Kasus ini bukan sekadar korupsi biasa—ia adalah cermin retak dari keadilan yang sudah lama goyah.
Barang bukti, dalam sistem hukum, bukan sekadar benda mati. Ia adalah saksi yang tak bisa berdusta. Ia adalah jejak dari kejahatan yang telah dilakukan. Tapi kini, bahkan barang bukti pun bisa hilang di tangan mereka yang seharusnya menegakkan keadilan.
Maka, pertanyaannya sederhana: masih adakah hukum di negeri ini?
Jaksa adalah bagian dari sistem yang diharapkan menjadi penjaga kebenaran. Ia menuntut atas nama negara, atas nama rakyat, atas nama keadilan yang semestinya tidak berpihak. Tapi di balik toga hitamnya, ia tetap manusia. Dan dalam sistem yang lemah, manusia yang diberi kuasa bisa tergoda untuk menjadikan hukum sebagai alat kepentingan, bukan sebagai jalan menuju keadilan.
ADVERTISEMENT
Di ruang sidang, kita percaya bahwa hukum bekerja berdasarkan bukti. Tapi jika bukti itu bisa digelapkan, disulap, atau sekadar dilenyapkan, maka apa yang tersisa dari hukum itu sendiri?
Kasus ini menunjukkan bahwa hukum di negeri ini bukan hanya soal aturan yang ditulis dalam undang-undang. Ia juga soal siapa yang memegang kendali atas bukti. Dan ketika kendali itu jatuh ke tangan mereka yang lebih setia pada uang daripada pada keadilan, maka hukum hanya akan menjadi lelucon yang dipertontonkan dengan serius.
Tapi barangkali, kasus ini bukan hanya soal seorang jaksa yang tergoda oleh uang.
Kita harus bertanya: bagaimana mungkin seorang jaksa bisa berani menilap barang bukti jika sistem tidak memberinya ruang untuk melakukannya?
ADVERTISEMENT
Dalam sistem hukum yang sehat, mekanisme pengawasan seharusnya ketat. Tidak ada celah bagi individu untuk bertindak sendiri tanpa terdeteksi. Tapi di negeri ini, celah itu ada di mana-mana.
Barang bukti, yang seharusnya diamankan dalam sistem yang transparan, justru bisa menjadi “barang dagangan” bagi mereka yang paham bagaimana memanipulasi prosedur.
Dan lebih dari itu, kita tahu ini bukan pertama kalinya kasus seperti ini terjadi.
Kita pernah mendengar tentang aparat yang “mengatur” kasus. Tentang pengacara yang membisiki hakim, tentang jaksa yang “melunak” dalam tuntutan, tentang polisi yang bermain dengan barang bukti.
Maka, yang kita lihat hari ini bukan hanya skandal seorang jaksa.
Kita melihat sesuatu yang lebih besar, lebih sistemik, lebih mengakar: budaya impunitas.
ADVERTISEMENT
Budaya di mana korupsi di tubuh penegak hukum bukan lagi sesuatu yang mengejutkan, tetapi sesuatu yang sudah dianggap biasa.
Budaya di mana pelanggaran hukum justru terjadi di tangan mereka yang seharusnya menjaganya.
Kasus ini membuka luka lama. Luka tentang kepercayaan yang terus-menerus dikhianati.
Kita sering diberi harapan: bahwa reformasi hukum sedang berjalan, bahwa sistem peradilan sedang dibersihkan, bahwa keadilan akan ditegakkan. Tapi di saat yang sama, kita terus menyaksikan bagaimana hukum lebih sering tunduk pada mereka yang memiliki kuasa dan uang.
Seorang pencuri kecil bisa dipenjara bertahun-tahun karena mencuri sandal. Tapi seorang jaksa yang menilap barang bukti miliaran rupiah justru masih bisa dinegosiasikan hukumannya.
Lalu, masih bisakah kita percaya bahwa hukum adalah jalan menuju keadilan?
ADVERTISEMENT
Atau jangan-jangan, hukum hanya alat yang digunakan oleh mereka yang punya kuasa untuk melindungi dirinya sendiri?
Maka, jika ada yang bertanya, apa yang harus dilakukan? Jawabannya sederhana tetapi sulit: menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Jaksa yang menilap barang bukti ini harus dihukum seberat-beratnya. Bukan hanya untuk memberi efek jera, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan bahwa hukum masih memiliki harga diri.
Tapi menghukum satu orang saja tidak cukup.
Sistem yang memungkinkan penyelewengan ini harus dirombak. Mekanisme pengawasan barang bukti harus diperketat. Kejaksaan harus dibersihkan dari mereka yang melihat hukum sebagai peluang bisnis.
Dan lebih dari itu, kita harus mengubah budaya yang selama ini membiarkan pelanggaran hukum terjadi tanpa konsekuensi yang berarti.
Di akhir semua ini, pertanyaannya bukan lagi tentang seorang jaksa yang menilap barang bukti.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah: seberapa murah kita menjual keadilan?
Jika hukum terus bisa dipermainkan, jika mereka yang korup terus dilindungi, jika rakyat kecil terus menjadi korban dari sistem yang timpang, maka harga keadilan di negeri ini benar-benar telah jatuh terlalu rendah.
Dan yang lebih menakutkan dari korupsi di tubuh hukum bukanlah skandal demi skandal yang terungkap, melainkan kebisuan kita saat menyaksikannya.
Karena mungkin, tanpa kita sadari, kita telah terbiasa hidup di negeri di mana hukum hanya panggung sandiwara, dan keadilan tak lebih dari sekadar mitos yang terus kita ulang-ulang tanpa pernah benar-benar kita yakini.