Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Loyalitas yang Menumpulkan Akal
21 Februari 2025 22:10 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Loyalitas adalah kata yang kerap mengandung jebakan. Ia bisa menjadi tanda kesetiaan, tapi juga menjadi jerat yang membelenggu nalar. Seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat, ketika telah menduduki jabatan, tidak lagi sekadar milik partai yang mengusungnya. Ia telah menjadi pejabat publik, dan tanggung jawabnya berubah: bukan lagi untuk kelompok, melainkan untuk seluruh warga yang menggantungkan harapan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Tapi, apakah politik pernah sesederhana itu?
Di negeri ini, kepala daerah kerap diperlakukan seperti mandor partai. Mereka bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga alat politik. Dari mereka, partai menuntut loyalitas penuh, bahkan jika itu bertentangan dengan prinsip kepemimpinan yang seharusnya mengutamakan kepentingan umum.
Ketika Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, menginstruksikan kepala daerah dari partainya agar tegak lurus terhadap garis komando partai, kita melihat bagaimana politik partai seringkali menuntut subordinasi total. Seolah-olah jabatan kepala daerah hanyalah perpanjangan tangan partai, bukan amanah rakyat yang otonom.
Maka, di sinilah kutipan legendaris dari Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) pernah mengatakan: “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.“ Kalimat yang sama pernah pula diucapkan oleh Presiden AS; John F Kennedy (1961-1963) menemukan relevansinya.
ADVERTISEMENT
Dilema Loyalitas Kepala Daerah
Kepala daerah adalah pejabat publik. Mereka dipilih melalui pemilu dan mendapatkan mandat dari rakyat, bukan dari elite partai semata. Namun, realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa keberpihakan kepala daerah seringkali masih terikat pada kepentingan partai yang mengusung mereka. Ini bukan sekadar soal ideologi, tapi lebih banyak menyangkut pragmatisme politik.
Di Indonesia, hampir tidak ada kepala daerah yang bisa bertahan tanpa restu partai. Pilihan calon, pencalonan ulang, hingga akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi, semua bergantung pada partai. Loyalitas terhadap partai bukan lagi sekadar soal komitmen moral, tetapi juga menjadi semacam asuransi politik.
Ketika partai memerintahkan sesuatu, kepala daerah sering kali terpaksa tunduk, bahkan jika perintah itu bertentangan dengan kepentingan publik atau prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Ketundukan itu bukan karena kesadaran ideologis, tetapi karena ketakutan kehilangan posisi dan masa depan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Inilah dilema loyalitas kepala daerah. Mereka berdiri di dua persimpangan: satu kaki di dalam birokrasi pemerintahan yang menuntut netralitas dan profesionalisme, kaki lainnya tertanam dalam politik kepartaian yang sarat dengan kepentingan.
Politik sebagai Oligarki, Bukan Demokrasi
Sistem politik kita, meski diklaim demokratis, sejatinya masih berada dalam genggaman oligarki partai. Ketua umum partai memiliki kuasa besar. Mereka menentukan siapa yang boleh maju dalam pilkada, siapa yang mendapat rekomendasi, bahkan siapa yang layak menjadi pejabat dalam pemerintahan.
Dalam sistem seperti ini, loyalitas kepada negara menjadi gagasan yang samar. Sebab, negara seringkali dikendalikan oleh kepentingan partai. Negara menjadi instrumen bagi partai, bukan sebaliknya.
Maka, ketika seorang kepala daerah menyatakan bahwa ia lebih tunduk kepada negara daripada kepada partainya, itu bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal kesiapan untuk kehilangan segalanya: dukungan, akses politik, dan masa depan di dunia kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Di banyak negara demokrasi yang lebih matang, partai memang berperan besar dalam proses politik, tetapi setelah pemilihan usai, pejabat publik memiliki kebebasan untuk menjalankan tugasnya tanpa tekanan partai. Mereka tetap bisa berafiliasi dengan partai, tetapi tidak dalam bentuk ketundukan mutlak.
Di Indonesia, model ini masih sulit diterapkan. Loyalitas kepada partai seringkali lebih diutamakan daripada loyalitas kepada kepentingan rakyat.
Dampak Loyalitas yang Berlebihan
Ketika kepala daerah lebih setia kepada partai daripada kepada negara, konsekuensinya bisa fatal. Kebijakan daerah menjadi tidak independen. Keputusan diambil bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi berdasarkan kepentingan elite partai.
Kita telah melihat banyak contoh bagaimana kebijakan yang berpihak pada rakyat justru terhambat karena tidak sesuai dengan kepentingan partai penguasa. Program pembangunan bisa dibatalkan, proyek sosial bisa dipangkas, hanya karena tidak sejalan dengan kepentingan politik partai.
ADVERTISEMENT
Ketika loyalitas kepada partai menjadi lebih dominan, kepentingan publik menjadi nomor dua. Kepala daerah tidak lagi bekerja untuk rakyat, melainkan untuk mempertahankan posisinya dalam struktur kekuasaan partai.
Menegakkan Loyalitas kepada Negara
Lalu, bagaimana seharusnya posisi kepala daerah dalam pusaran politik ini?
Jawabannya kembali kepada prinsip dasar pemerintahan: kepala daerah bukanlah pegawai partai. Mereka adalah pelayan publik. Mereka harus memiliki keberanian untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok politik tertentu.
Namun, ini hanya mungkin terjadi jika ada perubahan sistemik. Sistem kepartaian di Indonesia harus mengalami reformasi agar tidak lagi menjadi alat bagi elite semata. Partai harus mulai menerima bahwa setelah seseorang terpilih menjadi kepala daerah, mereka harus diberi ruang untuk bekerja tanpa tekanan politik yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, rakyat juga harus lebih kritis. Selama masyarakat masih menerima bahwa politik adalah permainan patronase dan loyalitas buta, maka perubahan sulit terjadi. Rakyat harus mulai melihat pemimpin bukan hanya sebagai representasi partai, tetapi sebagai individu yang memiliki tanggung jawab kepada seluruh warganya.
Seorang kepala daerah yang baik seharusnya memiliki keberanian untuk berkata kepada partainya: “Saya berutang budi kepada partai yang mengusung saya, tetapi tanggung jawab saya yang utama adalah kepada rakyat yang memilih saya.”
Tanpa keberanian ini, politik kita akan terus berputar dalam lingkaran setia kepada partai, tetapi mengabaikan negara.
Dan itu adalah pengkhianatan terbesar dalam demokrasi.
Politik yang Harus Dibebaskan
Politik seharusnya mengandung kebebasan berpikir dan bertindak. Politik bukan sekadar loyalitas, tetapi juga soal keberanian untuk menolak jika yang diperintahkan adalah kesalahan.
ADVERTISEMENT
Loyalitas kepada negara bukan berarti menihilkan partai. Tetapi, loyalitas kepada partai tidak boleh mengorbankan negara.
“My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.”
Pernyataan ini bukan sekadar slogan. Ia adalah prinsip dasar yang seharusnya dipegang oleh setiap pejabat publik yang mengemban amanah rakyat.
Sebab, jika politik hanya menjadi soal kesetiaan tanpa berpikir, kita hanya akan menghasilkan pemimpin yang tunduk, bukan pemimpin yang berpikir untuk rakyatnya.
Dan negeri ini sudah cukup lama kekurangan pemimpin yang berani berpikir.