Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Otonomi Daerah di Persimpangan: Sentralisasi Berkedok Reformasi
5 Maret 2025 10:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) lahir dengan janji besar: mempercepat investasi, memangkas birokrasi, dan meningkatkan daya saing ekonomi. Namun, di balik jargon efisiensi dan kemudahan usaha, ada kenyataan lain yang sulit dibantah: erosi kewenangan daerah dan ancaman terhadap otonomi yang telah diperjuangkan sejak reformasi. Apakah ini reformasi birokrasi atau justru sentralisasi yang dikemas ulang?

Menguji Niat di Balik Penyederhanaan
ADVERTISEMENT
Reformasi desentralisasi yang dimulai sejak 1999 adalah bentuk koreksi terhadap sistem pemerintahan yang terlalu Jakarta-sentris. Otonomi daerah menjadi napas baru bagi demokrasi lokal, memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan wilayahnya.
Namun, UU Cipta Kerja mengubah banyak hal. Regulasi ini menyeragamkan kebijakan perizinan usaha, mengalihkan wewenang dari daerah ke pusat, dan memangkas prosedur administratif yang selama ini dianggap berbelit-belit. Tujuan akhirnya jelas: menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor, baik domestik maupun asing.
Pemerintah pusat berdalih bahwa penyederhanaan ini akan memudahkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan menghindari tumpang-tindih kewenangan yang sering terjadi di daerah. Argumen ini tampak logis, tetapi jika ditelusuri lebih jauh, ada persoalan mendasar yang muncul: daerah semakin kehilangan kendali atas nasibnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Perizinan di Tarik ke Pusat: Siapa yang Diuntungkan?
Salah satu perubahan paling krusial dalam UU Ciptaker adalah mekanisme perizinan usaha yang kini lebih terkonsentrasi di pusat. Dulu, pemerintah daerah memiliki kewenangan besar dalam mengeluarkan izin usaha, baik yang berkaitan dengan tata ruang, lingkungan hidup, maupun sektor-sektor strategis lainnya.
Kini, dengan sistem Online Single Submission (OSS), sebagian besar perizinan usaha langsung ditangani oleh pusat. Kepala daerah kehilangan hak untuk menentukan izin yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Seorang bupati di Kalimantan, misalnya, tidak lagi bisa menolak izin tambang yang berpotensi merusak lingkungan daerahnya, karena semua keputusan kini diambil oleh Jakarta.
Sentralisasi perizinan ini tentu disambut baik oleh dunia usaha yang selama ini mengeluhkan birokrasi daerah yang berbelit-belit. Namun, bagaimana dengan kepentingan masyarakat lokal? Tanpa kontrol langsung dari pemerintah daerah, siapa yang akan memastikan bahwa izin yang dikeluarkan tidak merugikan lingkungan dan sosial ekonomi warga sekitar?
ADVERTISEMENT
Ancaman bagi Otonomi dan Demokrasi Lokal
Otonomi daerah tidak hanya soal distribusi kekuasaan, tetapi juga tentang demokrasi. Dengan adanya otonomi, masyarakat lokal memiliki kesempatan untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya. Jika ada kebijakan yang merugikan, masyarakat dapat menekan kepala daerah mereka untuk mengoreksi keputusan tersebut.
Namun, dengan UU Cipta Kerja, ruang demokrasi ini semakin menyempit. Kepala daerah yang seharusnya menjadi perwakilan kepentingan lokal kini kehilangan sebagian besar pengaruhnya. Jika ada izin usaha yang merugikan rakyat, masyarakat tidak bisa lagi menuntut kepala daerahnya untuk bertindak, karena keputusan kini diambil oleh kementerian dan lembaga pusat.
Lalu, di mana letak demokrasi lokal jika kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat justru ditentukan oleh birokrat di ibu kota?
ADVERTISEMENT
Sentralisasi Berkedok Reformasi?
Pemerintah menyebut ini sebagai reformasi birokrasi, tetapi banyak kepala daerah dan pemerhati kebijakan publik yang melihatnya sebagai langkah mundur menuju sentralisasi. Apakah ini cara baru Jakarta untuk mengambil alih kontrol yang selama dua dekade terakhir telah diberikan kepada daerah?
Sentralisasi perizinan dan kewenangan di berbagai sektor justru menciptakan persoalan baru. Alih-alih mempercepat proses investasi, pengambilan keputusan di tingkat pusat bisa menyebabkan stagnasi. Jakarta tidak memiliki kapasitas untuk memahami kompleksitas masalah di setiap daerah, dan tanpa kewenangan yang cukup, pemerintah daerah hanya bisa menjadi penonton dalam pengelolaan wilayahnya sendiri.
Lebih jauh, sentralisasi ini bisa membuka peluang bagi praktik oligarki yang lebih kuat. Dengan kontrol perizinan berada di tangan pusat, lobi-lobi politik dan kepentingan bisnis besar bisa lebih mudah mengendalikan kebijakan nasional, sering kali dengan mengorbankan kepentingan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Mencari Jalan Tengah: Otonomi yang Fleksibel
Bukan berarti desentralisasi yang telah berjalan selama ini tanpa cela. Banyak daerah yang gagal mengelola kewenangannya dengan baik, korupsi di tingkat lokal merajalela, dan birokrasi daerah sering kali lebih lamban dari yang diharapkan. Tetapi, solusi atas masalah ini bukan dengan menarik semua kewenangan ke pusat, melainkan dengan membangun mekanisme kontrol yang lebih efektif.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan pendekatan otonomi yang lebih fleksibel, di mana kewenangan dibagi secara proporsional antara pusat dan daerah berdasarkan kapasitas serta kebutuhan masing-masing wilayah. Misalnya, untuk daerah dengan kapasitas administratif yang rendah, pusat bisa membantu dalam aspek perizinan dan pengawasan. Tetapi bagi daerah yang sudah memiliki tata kelola yang baik, mereka seharusnya diberi keleluasaan untuk mengatur sendiri kebijakan perizinan dan pembangunan ekonominya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, transparansi dalam pengambilan keputusan harus menjadi prioritas. Sentralisasi kewenangan hanya akan memperburuk masalah jika tidak ada mekanisme akuntabilitas yang kuat. Keterlibatan publik dalam pengawasan perizinan dan kebijakan investasi harus diperkuat, bukan dikurangi.
Menegaskan Arah Otonomi Daerah
Dua dekade lebih setelah reformasi, Indonesia masih mencari formula terbaik dalam mengelola hubungan pusat dan daerah. UU Cipta Kerja, terlepas dari niat baiknya, telah menggeser keseimbangan kekuasaan yang selama ini telah dibangun dengan susah payah.
Jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan daya saing ekonomi tanpa mengorbankan otonomi daerah, maka reformasi birokrasi harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif. Kewenangan tidak boleh hanya ditarik ke pusat tanpa mempertimbangkan konteks lokal. Sebaliknya, hubungan pusat dan daerah harus dibangun atas dasar kemitraan yang seimbang, di mana pemerintah daerah tetap memiliki suara dalam menentukan kebijakan yang berdampak pada wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Reformasi sejati bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua. Jika otonomi daerah hanya dijadikan alat untuk kepentingan politik sesaat, maka kita tidak sedang berbenah, melainkan mundur ke masa lalu yang telah kita tinggalkan.
Indonesia tidak boleh kembali ke era sentralisasi. Jika pemerintah ingin rakyat percaya pada reformasi yang dilakukan, maka otonomi daerah harus tetap menjadi pilar utama dalam pembangunan nasional. Sebab, kunci kemajuan bukanlah pada birokrasi yang semakin terpusat, melainkan pada keseimbangan antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal.
Otonomi daerah bukan sekadar konsep hukum, tetapi juga tentang kepercayaan: kepercayaan bahwa daerah mampu mengurus dirinya sendiri, kepercayaan bahwa demokrasi bisa berjalan dari bawah ke atas, dan kepercayaan bahwa masa depan Indonesia ada di tangan seluruh rakyatnya, bukan hanya di meja para birokrat di ibu kota.
ADVERTISEMENT