Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Prabowo 2029: Mimpi, Ambisi, atau Ilusi?
15 Februari 2025 14:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Prabowo menyampaikan pidato pada HUT Partai Gerindra. Sumber Foto: Luthfi Humam/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm44h9qxw01qfeq18y286200.jpg)
ADVERTISEMENT
Politik, seperti waktu, sering bergerak lebih cepat dari yang kita kira. Seseorang baru saja dilantik sebagai presiden, tetapi bayangan pemilihan berikutnya sudah muncul di depan mata. Kita belum benar-benar melihat kepemimpinan itu bekerja, belum menguji janji-janji yang disampaikan, tetapi spekulasi tentang 2029 telah beredar di lorong-lorong kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Prabowo Subianto, yang akhirnya berhasil meraih kursi kepresidenan setelah bertahun-tahun berada di orbit politik, belum lama menikmati udara kekuasaan. Tapi kini, sebelum tinta tanda tangannya di lembaran keputusan pertama mengering, sudah ada wacana tentang kemungkinan ia maju kembali pada 2029.
Bukan sebuah pelanggaran. Konstitusi memungkinkan seorang presiden menjabat selama dua periode. Jika Prabowo maju lagi, itu adalah haknya, bukan manuver ilegal untuk memperpanjang kekuasaan. Tapi politik selalu lebih dari sekadar legalitas. Ia adalah pertarungan persepsi, narasi, dan arah sejarah.
Lalu, pertanyaannya bukan sekadar apakah Prabowo bisa maju lagi. Pertanyaannya adalah apakah demokrasi kita mengarah ke regenerasi atau stagnasi? Apakah kita memilih karena keyakinan atau karena terbatasnya pilihan?
Politik yang Tak Pernah Benar-Benar Berakhir
ADVERTISEMENT
Prabowo bukanlah sosok yang baru dalam politik Indonesia. Ia telah ada dalam arena ini lebih lama dari kebanyakan politisi yang kini mengisi parlemen. Dua kali ia kalah, dua kali pula ia menantang hasilnya. Tapi di 2024, dengan dukungan politik yang lebih matang dan strategi yang lebih cermat, ia akhirnya memenangkan pemilihan itu. Kini ia ada di puncak kekuasaan.
Tetapi politik seperti sejarah. Tidak pernah mengenal garis akhir. Yang menang tidak benar-benar menang, yang kalah tidak benar-benar kalah. Baru beberapa bulan menjabat, tapi isu pencalonannya di 2029 sudah beredar.
Apakah ini sinyal bahwa kepemimpinan Prabowo dianggap tak tergantikan? Bahwa politik kita tidak memiliki cukup nama untuk menawarkan sesuatu yang baru? Ataukah ini hanya kebiasaan lama: Di mana politik bukan tentang sistem yang bekerja, melainkan tentang siapa yang bertahan lebih lama di dalamnya?
ADVERTISEMENT
Demokrasi, Regenerasi, dan Ketergantungan pada Figur
Di negara-negara demokrasi yang mapan, pergantian pemimpin adalah sesuatu yang biasa. Nama datang dan pergi, sistem tetap berjalan. Tetapi di Indonesia, politik selalu berputar pada figur yang sama.
Dari Soekarno ke Soeharto, dari Habibie ke Gus Dur, dari Megawati ke SBY, dari SBY ke Jokowi, dan kini ke Prabowo. Nama-nama boleh berganti, tetapi pola tetap sama: kekuasaan terpusat pada individu, bukan sistem.
Lalu, jika di 2029 nama yang muncul lagi adalah Prabowo, apa artinya bagi demokrasi kita? Apakah ini berarti kepemimpinannya begitu efektif hingga layak untuk dilanjutkan? Ataukah ini tanda bahwa politik kita tidak mampu menghasilkan alternatif yang layak?
Sebuah demokrasi yang sehat itu membutuhkan regenerasi. Jika kita selalu kembali ke tokoh yang sama, itu bukan stabilitas—itu kemacetan.
ADVERTISEMENT
Antara Stabilitas dan Konsolidasi Kekuasaan
Pendukung Prabowo mungkin berargumen bahwa kepemimpinan yang berlanjut akan memberi kepastian. Bahwa program yang telah dimulai harus dilanjutkan, bahwa kebijakan yang sudah berjalan tak boleh berhenti di tengah jalan. Tetapi ada perbedaan antara stabilitas dan kelanggengan.
Sebuah sistem yang sehat tidak boleh bergantung pada satu orang. Karena sejarah juga mengajarkan bahwa pemimpin yang terlalu lama berada di kekuasaan sering kehilangan perspektif. Mereka terbiasa dengan kontrol, sulit menerima kritik, dan semakin tertutup dari realitas di luar lingkarannya.
Stabilitas itu penting. Tetapi, apakah stabilitas harus selalu dijaga oleh orang yang sama? Apakah demokrasi yang sehat harus selalu berkutat pada satu nama? Ataukah kita sedang menghadapi gejala di mana demokrasi justru menjadi lebih sempit, lebih eksklusif, lebih terpusat?
ADVERTISEMENT
Daya Tarik Kekuasaan dan Takut Akan Ketidakpastian
Kekuasaan adalah candu. Dan seperti candu, semakin lama seseorang menggunakannya, semakin sulit untuk melepaskannya. Di banyak negara, pemimpin yang telah terlalu lama berkuasa mulai percaya bahwa tanpa dirinya, negaranya akan runtuh. Ia merasa bahwa ia adalah satu-satunya yang bisa menjaga stabilitas, satu-satunya yang bisa memastikan arah politik tetap pada jalur yang benar.
Mungkin ini yang terjadi di Indonesia. Ketika nama yang muncul di setiap pemilihan adalah nama yang sama. Kita pun perlu bertanya: Apakah ini karena dia yang terbaik? Ataukah ini karena kita telah kehilangan kemampuan untuk mencari yang lain?
Ketika 2029 datang, apakah rakyat masih punya pilihan? Ataukah kita akan sampai pada satu kesimpulan: Lebih baik kembali ke yang sudah ada, daripada mengambil risiko dengan sesuatu yang baru.
ADVERTISEMENT
Jika itu terjadi, apakah demokrasi kita masih bekerja?
Rakyat dan Ingatan yang Pendek
Indonesia pernah menolak gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Ketika isu itu muncul di era Jokowi, publik bereaksi keras. Tetapi politik bergerak dalam siklus lupa/ingat. Kita pernah marah, lalu kita tenang, lalu kita lupa.
Maka pertanyaannya: Ketika 2029 datang, apakah rakyat masih peduli?
Ataukah kita akan menerima pencalonan Prabowo begitu saja, dengan dalih “tidak ada pilihan lain” atau “lebih baik yang sudah berpengalaman”?
Sebab dalam politik, narasi bisa dibentuk. Kita bisa dibuat percaya bahwa satu-satunya pilihan yang masuk akal adalah kembali ke yang sudah dikenal. Tetapi demokrasi seharusnya tidak bekerja seperti itu. Demokrasi seharusnya menawarkan sesuatu yang benar-benar baru.
ADVERTISEMENT
Prabowo 2029: Pilihan atau Kepastian?
Lima tahun adalah waktu yang panjang, tetapi dalam politik, itu bisa terasa seperti sekejap. Jika Prabowo mencalonkan diri lagi pada 2029, itu adalah haknya.
Tetapi tetap ada pertanyaan yang harus diajukan: Apakah ini karena rakyat masih menginginkannya, atau karena sistem telah diarahkan sedemikian rupa sehingga ia menjadi satu-satunya pilihan?
Demokrasi bukan hanya soal boleh atau tidak boleh. Demokrasi juga tentang bagaimana pilihan itu dibentuk, siapa yang mengendalikan wacana, dan apakah rakyat benar-benar memiliki suara dalam menentukan masa depan mereka.
Mimpi, Ambisi, atau Ilusi?
Prabowo 2029 bisa menjadi banyak hal. Bagi sebagian orang, ini adalah mimpi tentang kesinambungan kepemimpinan yang membawa stabilitas. Ada juga yang menilai ini adalah ambisi yang perlu diuji oleh kinerja dan kepuasan publik. Namun bagi sebagian lainnya, ini hanyalah ilusi—sesuatu yang tidak akan pernah terjadi, karena politik selalu penuh kejutan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti, demokrasi selalu menawarkan ruang bagi pilihan.
Jika kita ingin menjaga demokrasi tetap sehat, maka bukan hanya calon yang harus dipersiapkan, tetapi juga kesadaran rakyat dalam menentukan masa depan kepemimpinan negeri ini. Sebab dalam politik, pemimpin datang dan pergi.
Yang lebih penting bukan siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan itu dijalankan.