Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Raja Kecil
13 Februari 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: Freepik](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkybxrjsg8fmae92dxgntjpa.jpg)
ADVERTISEMENT
Pada suatu pagi yang gerimis, seorang lelaki paruh baya berdiri di beranda rumahnya, menatap ke arah bukit-bukit yang samar di kejauhan. Di kepalanya berkecamuk sebuah pertanyaan yang sederhana namun berbahaya: mengapa seorang yang begitu kecil bisa merasa sebesar raja?
ADVERTISEMENT
Di negeri yang kita diami, sejarah berulang seperti nyanyian yang sudah kehilangan nada aslinya. Raja-raja kecil terus lahir dari rahim politik yang tidak pernah kehabisan daya untuk melahirkan penguasa baru—meski sering kali mereka lebih mirip bayangan dari para pendahulunya ketimbang sosok yang benar-benar membawa zaman baru.
Seorang raja kecil lahir bukan dari ketegasan, bukan dari visi, bukan pula dari ketulusan melayani. Ia lahir dari kelindan kepentingan, dari sistem yang merawat ilusi bahwa kuasa adalah hak yang bisa diwariskan, bahwa rakyat hanyalah pemandu sorak dalam panggung kekuasaan yang didesain untuk para pemain utama.
Keserakahan yang Tersamarkan
Raja kecil tidak perlu istana yang megah. Ia hanya butuh panggung. Ia berdiri di sana, berpidato, berbicara tentang demokrasi, tentang kebersamaan, tentang masa depan yang lebih baik. Kata-katanya terdengar puitis, seolah keluar dari seorang negarawan besar, meski jika kita mendengarnya dengan saksama, ada jeda yang ganjil, ada kehampaan yang sunyi di sela-sela kalimatnya.
ADVERTISEMENT
Karena ia tidak bicara dengan gagasan. Ia bicara dengan kalkulasi.
Raja kecil bukanlah seorang revolusioner. Ia tidak ingin mengubah dunia, ia hanya ingin bertahan. Dalam politik, bertahan adalah segalanya. Maka ia menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Ia mengumpulkan orang-orang di sekelilingnya, bukan karena mereka berbakat atau memiliki integritas, tapi karena mereka bersedia mengabdi.
Ia menciptakan tatanan yang rapuh, sebuah kerajaan mini yang tidak dibangun di atas prinsip atau kebenaran, tapi di atas kepentingan yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Dan karena itulah, raja kecil tidak memiliki sahabat, hanya pengikut. Tidak memiliki lawan, hanya musuh.
Sejarah yang Berulang
Seorang sejarawan pernah berkata bahwa kekuasaan, jika tidak dikendalikan oleh prinsip, hanya akan berakhir sebagai permainan berulang yang membosankan. Di negeri ini, kita sudah melihat betapa seringnya seorang pemimpin yang tampak besar ternyata hanyalah raja kecil yang menumpang pada gelombang besar.
ADVERTISEMENT
Mereka masuk ke dalam pusaran sejarah, menjadi nama-nama yang sempat menghiasi lembaran surat kabar, tetapi akhirnya ditinggalkan oleh waktu.
Apa yang membuat seorang pemimpin dikenang?
Bukan seberapa lama ia berkuasa, tapi seberapa besar ia mengubah sesuatu. Seorang negarawan membangun institusi yang kokoh, seorang raja kecil membangun lingkaran kekuasaan yang loyal. Seorang negarawan berpikir tentang dua generasi ke depan, seorang raja kecil berpikir tentang pemilu berikutnya.
Kita sudah terlalu lama diperintah oleh raja-raja kecil yang sibuk mempertahankan takhta yang mereka anggap abadi, meski sejarah selalu membuktikan bahwa tidak ada kekuasaan yang benar-benar bertahan selamanya.
Kehampaan di Balik Simbol
Salah satu ciri khas raja kecil adalah obsesinya pada simbol. Ia ingin terlihat kuat, ia ingin dihormati, ia ingin dikenang. Maka ia memahat patung dirinya, ia mendirikan monumen, ia membangun jalan yang dinamai dengan namanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tetapi dalam keheningan malam, di saat ia sendirian, ia mungkin bertanya: apakah semua ini akan bertahan?
Sejarah mencatat banyak penguasa yang mencoba mengabadikan diri dengan membangun sesuatu yang megah. Tetapi waktu lebih perkasa dari marmer dan batu. Waktu menghapus nama-nama dengan begitu mudah, mengubah monumen menjadi reruntuhan, mengubah simbol menjadi kenangan samar yang akhirnya dilupakan.
Karena dalam politik, yang bertahan bukanlah mereka yang memiliki kuasa, tetapi mereka yang meninggalkan jejak.
Raja kecil tidak meninggalkan jejak. Ia hanya meninggalkan bayangannya sendiri.
Harapan yang Tak Pernah Mati
Namun, meskipun kita telah berulang kali melihat raja-raja kecil naik dan jatuh, tetap saja harapan tidak pernah benar-benar mati.
Di suatu tempat, ada seorang pemuda yang membaca buku dan mulai mempertanyakan segalanya. Ada seorang petani yang mulai menyadari bahwa nasibnya tidak boleh terus-menerus ditentukan oleh mereka yang duduk di kursi-kursi mahal. Ada seorang ibu yang mengajarkan anaknya bahwa kejujuran lebih penting daripada kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak memiliki panggung. Mereka tidak memiliki kekuatan. Tetapi mereka memiliki sesuatu yang lebih besar: kesadaran.
Dan di dalam sejarah, kesadaran adalah benih yang paling berbahaya.
Karena pada akhirnya, setiap raja kecil akan menghadapi akhir yang sama. Mereka akan ditinggalkan, mereka akan dilupakan, dan yang akan tersisa hanyalah pertanyaan: mengapa kita membiarkan mereka berkuasa begitu lama?
Jawaban dari pertanyaan itu bukanlah sekadar refleksi. Ia adalah peringatan. Bahwa kita tidak boleh lagi membiarkan raja-raja kecil lahir dari ketakutan kita sendiri.
Bahwa suatu hari, panggung itu harus diberikan kepada mereka yang benar-benar ingin membangun, bukan hanya bertahan.
Dan pada hari itu, sejarah akhirnya bisa bernapas lega.