Konten dari Pengguna

Retret Kekuasan Lembah Tidar

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
17 Februari 2025 9:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Abid Raihan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Abid Raihan/kumparan
ADVERTISEMENT
Lembah Tidar, dalam ingatan sejarah, selalu memiliki makna lebih dari sekadar lanskap alam. Ia adalah tempat dididiknya para calon perwira, kawah candradimuka bagi mereka yang kelak menjadi penjaga negara. Kini, di tempat yang sama, 505 kepala daerah hasil Pilkada 2024 berkumpul. Mereka dipanggil ke Magelang, bukan untuk sekadar mendengar ceramah birokrasi atau mendalami regulasi pemerintahan daerah, tetapi untuk sesuatu yang lebih mendalam: sebuah retret politik.
ADVERTISEMENT
Kata “retret” menyiratkan sejenak menjauh dari hiruk-pikuk, sebuah jeda dalam kebisingan kekuasaan. Tetapi di Lembah Tidar, retret ini bukan sekadar peristirahatan. Ia adalah panggilan untuk berkumpul dalam satu barisan, menyamakan arah, menyelaraskan langkah. Kepala daerah datang dengan mandat rakyat, tetapi mereka disambut dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar administrasi pemerintahan: mereka dihadapkan pada kekuasaan yang ingin memastikan bahwa tidak ada yang melangkah terlalu jauh dari garis yang telah digariskan.
Dari Otonomi ke Penyeragaman
Ketika desentralisasi diperkenalkan dalam reformasi, ia datang dengan janji: bahwa daerah akan memiliki lebih banyak kendali atas nasibnya sendiri. Kepala daerah dipilih langsung, bukan lagi ditunjuk oleh pusat, dan mereka memiliki kebebasan untuk merancang kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Tapi dalam politik, kebebasan selalu diawasi. Otonomi daerah, yang diharapkan menjadi ruang bagi inovasi dan kreativitas dalam tata kelola pemerintahan, perlahan menemukan batasnya. Pusat ingin daerah berkembang, tetapi tidak ingin daerah menjadi terlalu mandiri. Maka, dibuatlah mekanisme kontrol.
Retret ini, dengan segala nama dan formatnya, bukan sekadar pembekalan teknis. Ia adalah proses penyeragaman. Kepala daerah dari berbagai latar belakang politik, ideologi, dan kepentingan dipertemukan dalam satu ruang, mendengar arahan dari menteri, lembaga negara, bahkan dari Presiden sendiri. Pesannya jelas: kepala daerah harus bekerja dalam satu visi besar, visi yang telah ditentukan oleh pusat.
Di sinilah letak ketegangan yang selalu ada dalam hubungan pusat-daerah. Otonomi menuntut kebebasan untuk beradaptasi dengan kebutuhan lokal, tetapi kekuasaan pusat menginginkan keseragaman. Retret ini menjadi cara untuk memastikan bahwa tidak ada kepala daerah yang berjalan terlalu jauh dari garis kebijakan nasional.
ADVERTISEMENT
Magelang dan Disiplin Politik
Lembah Tidar adalah tempat yang identik dengan kedisiplinan militer. Hierarki jelas, komando tegak, loyalitas mutlak. Dalam sistem seperti ini, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang harus dikendalikan, bukan didorong.
Ketika kepala daerah dikumpulkan di tempat seperti ini, pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih dari sekadar teknis pemerintahan. Ini bukan hanya soal bagaimana mengelola anggaran daerah atau menjalankan program pembangunan, tetapi juga tentang disiplin politik.
Seorang kepala daerah, dalam sistem demokrasi, seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Tetapi dalam sistem politik yang lebih besar, ia juga harus menyadari batas-batas kekuasaannya. Retret ini, secara halus, menjadi pengingat: bahwa meskipun mereka menang dalam pemilihan, kekuatan politik yang lebih besar tetap mengendalikan arah kebijakan mereka.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika pemerintah pusat berbicara tentang “sinkronisasi visi,” itu bukan sekadar koordinasi. Itu adalah penegasan bahwa kepala daerah bukan pemimpin mandiri, tetapi bagian dari sistem yang lebih besar. Mereka harus mengikuti arahan, memastikan bahwa kebijakan daerah tidak bertentangan dengan garis besar kebijakan nasional.
Ikatan Emosional atau Loyalitas Politik?
Salah satu tujuan retret ini, menurut penyelenggara, adalah membangun “ikatan emosional” antara kepala daerah dengan pemerintah pusat dan sesama kepala daerah. Kalimat ini terdengar lembut, seolah yang sedang dibangun adalah kerja sama yang harmonis.
Tetapi dalam politik, “ikatan emosional” sering kali adalah eufemisme untuk loyalitas. Kepala daerah diharapkan tidak hanya bekerja selaras dengan pusat, tetapi juga menunjukkan kesetiaan. Mereka bukan hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga harus menjadi bagian dari jaringan politik yang lebih besar, jaringan yang memastikan bahwa kebijakan pusat tetap berjalan tanpa hambatan.
ADVERTISEMENT
Dan dalam sistem seperti ini, mereka yang tidak menunjukkan kesetiaan yang cukup akan menemukan dirinya tersisih. Anggaran bisa tertunda, kebijakan bisa dipersulit, dan dalam situasi tertentu, kepala daerah bisa berhadapan dengan tekanan politik yang lebih besar.
Ke Mana Arah Otonomi Daerah?
Retret di Lembah Tidar ini bukan sekadar acara tujuh hari. Ia adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar: perubahan arah dalam hubungan pusat dan daerah. Jika reformasi membawa semangat desentralisasi, maka apa yang kita lihat hari ini adalah upaya perlahan untuk menarik kembali kendali pusat atas daerah.
Otonomi daerah, jika dibiarkan tumbuh tanpa batas, bisa melahirkan kekuatan politik baru yang tidak selalu sejalan dengan pusat. Sejarah menunjukkan bahwa dalam sistem politik apa pun, pusat selalu ingin memastikan bahwa kekuasaan tidak terfragmentasi terlalu jauh. Retret ini adalah bentuk dari strategi itu—bukan dengan paksaan langsung, tetapi dengan mekanisme yang lebih halus: pembekalan, pengarahan, dan penanaman disiplin politik.
ADVERTISEMENT
Maka, ke mana arah otonomi daerah setelah ini?
Apakah kita masih akan melihat kepala daerah yang benar-benar berani membuat keputusan mandiri? Ataukah kita akan melihat mereka sebagai perpanjangan tangan pusat, menjalankan kebijakan tanpa banyak ruang untuk inovasi?
Jika retret ini adalah awal dari pola baru dalam hubungan pusat-daerah, maka kita mungkin perlu bertanya: apakah otonomi daerah masih benar-benar ada? Ataukah yang tersisa hanyalah struktur administratif yang tunduk pada arahan dari atas?
Sejarah selalu menunjukkan bahwa kekuasaan tidak pernah sepenuhnya dilepaskan. Ia bisa didistribusikan, tetapi tidak pernah benar-benar diberikan tanpa syarat. Dan di Lembah Tidar, di antara kabut yang menyelimuti perbukitan, kita melihat bagaimana kekuasaan, sekali lagi, memastikan bahwa ia tetap berada dalam genggamannya.
ADVERTISEMENT