Konten dari Pengguna

Revisi UU TNI dan Bayang-bayang Masa Lalu

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
19 Februari 2025 14:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi TNI AD. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi TNI AD. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Kita pernah hidup dalam sebuah masa ketika tentara bukan sekadar penjaga batas negeri, tetapi juga hadir dalam kantor-kantor birokrasi, ruang-ruang parlemen, bahkan di dalam kamar-kamar kebijakan yang seharusnya menjadi domain sipil. Kita menyebutnya dwifungsi, sebuah konsep yang menempatkan militer dalam dua peran sekaligus: sebagai alat pertahanan negara dan sebagai pengendali politik.
ADVERTISEMENT
Reformasi 1998 berjanji mengakhiri itu. TNI, yang dulu adalah ABRI, akhirnya ditata ulang, dipisahkan dari kepolisian, dan dikembalikan ke tugasnya yang paling hakiki: menjaga kedaulatan, bukan mengelola negara. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi penanda perubahan itu.
Namun, kini revisi atas undang-undang itu sedang disiapkan. Ia hadir seperti bayangan yang bergerak perlahan, menyelinap ke dalam wacana kebijakan, ke dalam retakan-retakan sistem yang sudah mulai terbiasa melihat tentara di mana-mana—dari operasi penanggulangan bencana, proyek infrastruktur, hingga pengamanan konflik sosial.
Kita bertanya, revisi ini untuk apa?
Di Antara Reformasi dan Hasrat Kembali
Sejarah sering bergerak dengan cara yang tidak linier. Ia seperti ombak, kadang surut, kadang datang lagi. Apa yang dulu kita anggap selesai ternyata hanya menunggu saatnya untuk kembali.
ADVERTISEMENT
Draf revisi UU TNI yang beredar memuat sejumlah perubahan yang memantik perdebatan. Salah satu poin krusialnya adalah perluasan peran militer dalam ranah sipil. Dalam rancangan itu, TNI tak hanya bertugas di bidang pertahanan, tetapi juga berwenang untuk masuk dalam penanganan keamanan dalam negeri, bencana alam, hingga ancaman siber.
Pemerintah berdalih bahwa revisi ini diperlukan untuk menjawab tantangan baru. Dunia berubah, ancaman tak lagi sebatas agresi militer konvensional. Ada ancaman non-militer yang membutuhkan keterlibatan TNI, seperti perang siber, radikalisme, dan bencana alam.
Tapi kita harus ingat, dalih yang sama pernah digunakan di masa lalu.
Dulu, dwifungsi ABRI juga lahir dari logika yang serupa. Militer dikatakan perlu masuk ke dalam sistem pemerintahan karena negara ini butuh stabilitas. Militer harus berperan dalam pembangunan karena sipil dianggap belum cukup kompeten. Logika itu bertahan selama tiga dekade, sebelum akhirnya reformasi menyapu bersihnya.
ADVERTISEMENT
Maka pertanyaannya, apakah kita sedang mengulang sejarah?
Supremasi Sipil: Sebuah Titian yang Rawan
Di negara yang demokratis, hubungan antara sipil dan militer harus dijaga dengan cermat. Militer adalah alat negara, bukan penguasa negara. Ia tunduk pada pemerintahan sipil, bukan berdiri sejajar, apalagi lebih tinggi.
Reformasi militer yang dilakukan sejak 1998 bertumpu pada prinsip ini. TNI dipisahkan dari politik praktis, peran mereka dalam pemerintahan dikurangi, dan urusan keamanan dalam negeri diserahkan kepada kepolisian.
Jika revisi UU TNI membuka ruang bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil, maka kita sedang bergerak mundur. Pelibatan militer dalam keamanan dalam negeri, misalnya, bisa mengaburkan batas antara tugas TNI dan Polri. Ini bukan hanya soal institusi, tetapi juga soal paradigma.
ADVERTISEMENT
Militer bekerja dengan pendekatan perang, kepolisian bekerja dengan pendekatan hukum. Jika militer kembali diberi ruang lebih luas dalam penanganan konflik sosial atau ancaman dalam negeri, kita bisa bertanya: apakah nanti negara ini akan lebih sering menghadap rakyatnya sendiri dengan logika perang?
Di titik ini, supremasi sipil menjadi taruhannya. Jika revisi ini berjalan tanpa kendali, kita mungkin akan melihat militer semakin sering hadir dalam berbagai aspek kehidupan sipil. Awalnya dalam keadaan darurat, lalu perlahan-lahan menjadi kebiasaan.
Peradilan Militer dan Bayangan Impunitas
Poin lain yang juga krusial dalam revisi ini adalah perihal peradilan militer. Saat ini, jika seorang prajurit TNI melakukan tindak pidana umum, ia masih diadili dalam sistem peradilan militer. Dalam revisi, aturan ini diperkuat.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, ini berpotensi menciptakan impunitas. Kita telah melihat kasus-kasus di mana prajurit yang terlibat dalam pelanggaran hukum sulit dijerat secara transparan karena berada dalam mekanisme internal militer.
Jika kita ingin membangun negara hukum yang sejati, maka semestinya setiap warga negara tunduk pada hukum yang sama. Tidak boleh ada dua sistem hukum yang berjalan secara terpisah hanya karena seseorang memakai seragam tertentu.
Hukum adalah hukum, dan ia harus berlaku untuk semua orang, tanpa kecuali.
Di Persimpangan Jalan
Maka, kita pun sampai di persimpangan.
Di satu sisi, ada suara yang mengatakan bahwa dunia telah berubah, bahwa militer harus diberi peran yang lebih luas dalam menjaga negara ini. Tapi di sisi lain, ada suara yang mengingatkan bahwa sejarah pernah mencatat bagaimana militerisme bisa tumbuh pelan-pelan, lalu mengakar, hingga akhirnya menjadi kekuatan yang sulit dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, revisi ini tak lahir dalam ruang hampa. Ada dorongan dari dalam, dari tubuh militer sendiri yang mungkin merasa perannya harus diperbesar. Ada dorongan dari pemerintah yang ingin memiliki lebih banyak alat untuk menjaga stabilitas. Ada pula dorongan dari dinamika global, dari ancaman-ancaman baru yang membuat peran militer tampak lebih relevan.
Tapi justru di sinilah kita harus berhati-hati.
Reformasi 1998 tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari kesadaran bahwa demokrasi membutuhkan keseimbangan. Bahwa militer harus tetap profesional, berada di baraknya, dan tidak tergoda untuk masuk ke dalam urusan politik atau pemerintahan.
Jika revisi UU TNI ini melangkah terlalu jauh, maka kita bukan hanya sedang merevisi sebuah undang-undang. Kita sedang mengubah arah sejarah.
ADVERTISEMENT
Apakah kita benar-benar ingin ke sana?
Demokrasi yang Diuji
Sejarah selalu menguji kita dengan cara yang tak terduga. Kadang ujian itu datang dalam bentuk yang eksplisit, seperti kudeta atau perang. Tapi kadang ia datang dalam bentuk yang lebih halus, seperti sebuah revisi undang-undang.
Revisi UU TNI mungkin hanya terlihat seperti perubahan hukum di atas kertas. Tapi jika kita tidak cermat, ia bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.
Maka, kita harus bertanya: Apakah revisi ini benar-benar untuk kepentingan bangsa? Ataukah ini hanya jalan lain bagi kembalinya bayang-bayang masa lalu?
Jawabannya, ada di tangan kita.