news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tes Keperawanan di TNI Belum Final Dihapus

Fitri Bintang Timur
Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia
Konten dari Pengguna
2 September 2021 10:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitri Bintang Timur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Riuh ucapan selamat bagi militer Indonesia yang diberitakan akan menghentikan tes keperawanan ‘dua jari’ seakan menggambarkan bagaimana negara ini sebenarnya sudah siap untuk menghargai perempuan dari partisipasi aktifnya, tidak hanya dari ketubuhan saja. Namun sejauh mana pernyataan pimpinan TNI AD dapat diimplementasi masih perlu dikaji.
ADVERTISEMENT
Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa mendapatkan tanggapan baik setelah pernyataannya untuk memperbaiki proses rekrutmen di TNI Angkatan Darat (AD) dengan menghilangkan tes yang tidak relevan. Beliau secara gamblang menyatakan kondisi hymen, atau selaput dara, bukanlah penilaian yang tepat bagi calon anggota di TNI AD. Yang dites adalah kesehatan dan kemampuan mengikuti pendidikan militer, sementara tes keperawanan yang tidak ada hubungannya dan tidak diperbolehkan lagi di untuk dilakukan di seluruh Rumah Sakit TNI AD.
Tidak setiap hari ada laki-laki pemimpin peduli untuk berbicara mengenai perempuan dan penghormatan ideal yang diberikan padanya. Pendekatan Jenderal Andhika berbeda dengan generasi AD sebelumnya, Jenderal (purn.) Moeldoko enam tahun lalu, yang saat menjabat menjadi Panglima TNI menyatakan bahwa tes keperawanan hukumnya wajib. Menurut Jenderal Moeldoko, tes tersebut termasuk dalam poin penilaian moral, yang harus dimiliki anggota TNI selain kesiapan mental, akademik dan fisik. Padahal tentu saja, kondisi hymen tiap individu beragam, dipengaruhi olah raga, kecelakaan atau sakit, yang mana merupakan indikator tidak akurat dan bermasalah untuk moral.
ADVERTISEMENT
Perubahan Belum Permanen
Mengenai apakah perubahan tes masuk TNI ini sudah dapat disambut baik, nyatanya belum. Kita masih menunggu pernyataan resmi senada dari pejabat setara dan satu tingkat di atas KASAD, yakni Kepala Staff Angkatan Laut, Laksamana TNI Yudo Margono; Kepala Staff Angkatan Udara, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo; dan yang paling penting adalah dari Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto.
Pernyataan pun belumlah cukup karena tidak bersifat mengikat. Panglima Tjahjanto akan pensiun pada November 2021, sehingga jika perubahan atas Keputusan Panglima TNI Nomor KEP/920/XI/2020 Tanggal 23 November 2020 belum keluar dua bulan lagi, pernyataan apa pun menjadi sia-sia.
Sulit berharap banyak dari pernyataan, karena sebelumnya penghentian tes keperawanan pernah terjadi pada medio 1980an saat terdapat pejabat tinggi di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melarang berlangsungnya praktik tersebut. Pelarangan itu hanya berlangsung dua tahun karena tidak adanya surat keputusan resmi yang menjadi rujukan pelaksanaan setelah masa jabatannya usai.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran masa lalu ini adalah dasar untuk tidak berpuas hati pada pernyataan manis, tapi perlu untuk mendorong perubahan kebijakan tertulis yang dapat menjadi landasan ke depan.
Sebagai institusi maskulin yang ring utamanya masih didominasi oleh old boys club, TNI jarang sekali memiliki kepemimpinan perempuan, hal yang mana membatasi pertimbangan atas keputusan strategis dan administrasi. Upaya pemberlakuan tes keperawanan ini, misalnya, perlu mendapat pertimbangan dari anggota Wanita TNI apakah mereka menganggap bahwa ujian tersebut mampu mengukur kemampuan mereka bekerja. Para pimpinan TNI perlu mengkaji pula apakah ujian masuk melalui tes keperawanan masih relevan, atau hanya kebiasaan kuno yang dapat ditinggalkan.
Mengapa Baik untuk Menghilangkan Tes Keperawanan
Sampai awal tahun 2021 hanya terdapat 8.400 personel perempuan di korps Wanita TNI (WanTNI) atau sekitar tiga persen dari total seluruh anggota aktif, yang mana jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan kelompok yang direpresentasikannya. Menurut data BPS tahun 2020 populasi perempuan membentuk setengah dari Indonesia, yang sayangnya jumlah ini menghilang ketika masuk ke ranah publik, khususnya militer yang kita bahas di sini. Merujuk pada teori pengurangan kehadiran perempuan secara bertahap (progressive underrepresentation of women) yang sudah digunakan untuk mengukur bidang-bidang maskulin lain, fenomena ‘menghilangnya’ perempuan bukanlah sulap. Perempuan hilang secara sistematis dan terstruktur melalui apa yang digambarkan sebagai diagram corong, di mana terdapat tiga tahap eliminasi keikutsertaan mereka di bidang-bidang tertentu: (1) sulitnya akses, (2) pembatasan partisipasi, dan (3) penjegalan karier.
Gambar: Ilustrasi penulis, disadur dengan edit dari Cronin dan Roger, 1999.
Diagram corong berkurangnya partisipasi secara bertahap ini dapat diaplikasikan pada jumlah perempuan di bidang militer Indonesia. Menghitung jumlah personel Wanita TNI saat ini sekitar delapan ribuan yang diseleksi sejak tiga dekade lalu (diestimasi dari usia pensiun 53 bagi bintara dan tamtama, serta 58 tahun bagi perwira), setahunnya hanya ada sekitar 200 perempuan yang bergabung di militer Indonesia. Padahal mungkin ada ribuan perempuan yang berminat untuk menjadi anggota TNI namun terkendala masalah akses, antara lain terbatasnya fasilitas dan kebijakan pendidikan (sebelum tahun 2013, perempuan tidak bisa masuk ke Akademi Militer Magelang, namun melalui Sekolah Perwira Prajurit Karier atau Sekolah Calon Perwira) dan juga tes keperawanan yang membuat individu dari keluarga konservatif cenderung tidak setuju untuk mengikutinya.
ADVERTISEMENT
Di tahap selanjutnya, pembatasan partisipasi perempuan di tingkat menengah dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI yang pada Pasal 4 menyatakan “Wanita yang menjadi Prajurit dalam menjalani Dinas Keprajuritan disesuaikan dengan kodrat, harkat, dan martabat kewanitaannya”. Adanya peraturan tertulis ini membuat penugasan perempuan di TNI menjadi terbatas tergantung bagaimana atasan menterjemahkannya.
Pembatasan partisipasi perempuan terjadi melalui penolakan atasan untuk menugaskan WanTNI di posisi tempur, serta penempatan dan patroli hanya di wilayah dan waktu yang ‘aman’ atau nir-konflik. Pembatasan ini pada akhirnya berdampak pada jenjang karier WanTNI yang lebih singkat. Selain itu, sedikitnya jumlah perempuan yang naik menjadi perwira tinggi di TNI juga disebabkan oleh adanya kebijakan atasan yang tidak mengizinkan WanTNI untuk naik pangkat melebihi pangkat suaminya, jika bertugas di TNI, dengan alasan menjaga keutuhan keluarga.
ADVERTISEMENT
Keluarga seakan adalah institusi sakral bagi TNI yang juga mewajibkan calon istri dari personel untuk menjalani tes keperawanan. Aturan mengenai syarat untuk menjadi pasangan tertuang dalam Keputusan Menhankam/Pangab Nomor Kep/01/I/1980 tanggal 3 Januari 1980 tentang Peraturan Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Anggota yang mungkin sudah saatnya ditinjau ulang.
Selain bahwa peraturan tersebut sudah ketinggalan zaman, pengaturan masalah pribadi menjadi isu negara merupakan penghamburan sumber daya yang berasal dari uang rakyat. Mengingat banyaknya perempuan yang bekerja dan membayar pajak, sudah sepantasnya seluruh jajaran lembaga membuat kebijakan yang mendukung kemajuan, alih-alih membatasi mereka.
Alangkah baiknya jika TNI bisa semakin profesional dengan menghilangkan tes keperawanan. Selain meminimalisir kegaduhan protes dari dalam dan luar negeri, kebijakan tersebut akan mendorong pencapaian sasaran 30 persen perempuan di TNI. Meningkatnya jumlah personel Wanita TNI akan mendorong partisipasi Indonesia yang lebih luas secara internasional, termasuk melalui peran di pasukan dan kerja-kerja misi perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa.
ADVERTISEMENT
-------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia.