Konten dari Pengguna

Harus Ada Sanksi untuk yang Sembarangan Mempublikasi Kasus Bunuh Diri

Flowerentina Sara K. Putri
Beswan Djarum 2022/2023
14 September 2023 14:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Flowerentina Sara K. Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bunuh diri. Foto: Shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bunuh diri. Foto: Shutter stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewasa ini masyarakat tampaknya sudah familiar dengan kasus bunuh diri di tempat publik. Banyak saksi mata atau orang di sekitar yang mengabadikan momen bunuh diri dan mengunggahnya di media sosial.
ADVERTISEMENT
Hal semacam itu seolah sudah tak lagi jadi sesuatu yang tabu dan terlarang. Kamu bisa dengan mudah menemukan rekaman-rekaman kasus bunuh diri di media sosial, seperti TikTok, Instagram, Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Sebenarnya ada bahaya yang mengintai dari kebiasaan mempublikasi kasus bunuh diri seperti itu. Tak hanya menciptakan rasa ngeri, publikasi bunuh diri secara terang-terangan dapat memicu the werther effect.
Istilah Efek Werther dicetuskan seorang peneliti kasus imitasi atau peniruan bunuh diri, David Phillips pada tahun 1974. Philips menyoroti fenomena terkait bunuh diri di Eropa yang terjadi pada abad ke-18. Saat itu kasus bunuh diri naik pesat usai perilisan novel berjudul Die Leiden des Jungen Werthers pada 1774.
Saking populernya novel itu, hampir 2.000 pemuda Eropa melakukan bunuh diri dengan cara yang sama seperti apa yang Werther, tokoh dalam novel itu lakukan. Mereka melakukan aksi bunuh diri dengan menembakkan pistol di kepala, ketika cinta sudah kandas di depan mata, bahkan dengan mengenakan pakaian yang serupa dengan tokoh dalam novel tersebut.
ADVERTISEMENT
Philips kemudian meyakini bahwa bunuh diri itu bisa menular. Orang-orang yang merasa memiliki kesamaan latar dengan pelaku bunuh diri menganggap, keputusannya untuk melakukan hal yang sama dapat divalidasikan. Efek Werther diperburuk ketika metode bunuh diri diberitakan secara gamblang, sehingga dengan mudah dapat ditiru orang lain.

Regulasi di Indonesia

Ilustrasi bunuh diri dari atas gedung. Foto: Shutter Stock
Pada tahun 2001, WHO sebenarnya sudah merumuskan panduan mengenai publikasi bunuh diri agar Efek Werther dapat diminimalisir. WHO melarang pemublikasian kasus bunuh diri berupa foto, video, maupun kronologi kejadian secara gamblang.
Namun lantaran konten-konten mengenai bunuh diri mampu menggaet rating yang tinggi, panduan dari WHO itu seolah tak diindahkan. Fakta lapangan ini mendorong adanya urgensi untuk kembali melakukan optimalisasi substansi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
Kita tahu, UU ITE telah memayungi berbagai permasalahan yang muncul di era digital. Namun, berbeda dengan unggahan bermuatan pornografi, penipuan, penyebaran kebencian, maupun ancaman yang telah memiliki pasal khusus, unggahan dengan topik bunuh diri belum memiliki peraturan yang mengikat.
Ada pasal yang sebenarnya cukup relevan dengan Efek Werther, yakni Pasal 29 UU ITE mengenai teror dan ancaman elektronik. Pasal tersebut memuat mengenai ancaman pidana bagi orang dengan sengaja dan tanpa hak memberikan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi, peraturan tersebut muncul dikarenakan adanya usaha untuk menghindarkan tekanan psikis dari semua orang (Chasawi 2015).
Sayangnya Pasal 29 UU ITE saat ini masih belum dapat digunakan untuk menyelesaikan problematika publikasi mengenai bunuh diri. Hal itu diakibatkan oleh adanya unsur kesadaran pelaku atas ancaman dan adanya subjek spesifik yang dituju, bertentangan dengan yang dimiliki unggahan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Padahal, meskipun efek mengancam berupa dorongan bunuh diri yang dirasakan pembaca bukan merupakan tujuan utama dari pengunggah berita dan pihak mana saja yang terkena efek tidak ditentukan sedari awal, dampak akhir dari keduanya adalah sama dengan yang dikhawatirkan pada pidana ancaman elektronik. Berpangkal pada terlalu sempitnya lingkup undang-undang tersebut, maka penambahan ayat pada Pasal 29 UU ITE harus dipertimbangkan.
Anastasia Sari Dewi, seorang psikolog klinis dalam wawancaranya dengan detik.com (diunduh pada 14 Juli 2023) mengatakan, pengalaman melihat atau mendengar kejadian ngeri yang terjadi pada orang lain merupakan salah satu pemicu dari reaksi trauma seseorang. Memori mengenai pengalaman tidak menyenangkan tersebut dapat menimbulkan efek sedih, takut, dan mengancam dalam waktu yang lama.
ADVERTISEMENT
Maka, sejalan dengan penelitian mengenai Efek Werther, berita mengenai bunuh diri dan percobaan bunuh diri sejatinya meninggalkan pengaruh negatif besar pada masyarakat, apalagi yang melihat tayangan-tayangan tersebut di media sosial.
Timbulnya rasa takut dan ancaman yang mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri ini mengindikasikan bahwa tekanan psikis bagi seseorang tidak hanya timbul dalam perbuatan secara langsung dan terarah, melainkan dapat pula timbul dari efek berantai setelah diunggahnya konten yang memuat media bunuh diri. Dengan demikian, solusi berupa penambahan ayat ini tidak bertentangan dan justru sejalan dengan tujuan dari Pasal 29 UU ITE itu sendiri.

Revisi pada UU ITE

Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Revisi pasal dapat dilakukan dengan melakukan kriminalisasi pada pihak yang dengan tanpa hak menyebarkan informasi elektronik yang berpotensi menjadi ancaman dan atau teror bagi pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Dengan melakukan penambahan pada pasal tersebut, berimplikasi pada memungkinkannya pelaku yang mengunggah media berkaitan dengan bunuh diri untuk dipidana merujuk pada teror dan rasa takut yang muncul dari unggahannya.
Mengenai proses penegakan hukum sendiri, tidak akan jauh berbeda sistematikanya dengan penegakan pidana UU ITE lainnya. Pelaporan dapat dilakukan oleh masyarakat yang melihat unggahan, kemudian laporan akan dilanjutkan dengan penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian.
Apabila unggahan terbukti memenuhi syarat pemidanaan, selanjutnya tersangka akan diserahkan pada pengadilan untuk tahap penuntutan dan pemeriksaan. Dengan adanya proses yang demikian, konten bunuh diri pada akhirnya akan kembali terkontrol karena hanya dapat dipublikasikan oleh media pers profesional sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pada konteks ini, pers dapat merujuk pada kode etik jurnalistik mengenai larangan publikasi artikel bermuatan sadis dan pada panduan WHO mengenai tata cara publikasi berita bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Adapun, untuk dapat dikatakan sesuai dengan WHO, berita mengenai bunuh diri diwajibkan memenuhi syarat berupa tidak memuat data diri korban, lokasi bunuh diri, metode yang dilakukan, media asli dari kasus tersebut, dan penggunaan bahasa sensasional yang berpotensi mendorong pembaca melakukan miskonsepsi.
Selain itu, berita diwajibkan untuk menginformasikan bahwa bunuh diri tidak hanya dipicu alasan tunggal, penekanan berulang mengenai bunuh diri yang tidak menyelesaikan masalah, dan ajakan bagi masyarakat untuk menghubungi layanan yang mendukung aksi pencegahan bunuh diri apabila dirasa perlu.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa pengoptimalisasian UU ITE dengan revisi berupa penambahan ayat pada Pasal 29 dapat mencegah penyebaran unggahan media bunuh diri secara liar di media sosial.
Hal tersebut akan diikuti dengan hadirnya ruang bagi media pers untuk menerbitkan berita yang sesuai dengan panduan WHO, sehingga tetap meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai hadirnya potensi bunuh diri tanpa diikuti dengan dampak buruk yang ditimbulkan oleh Efek Werther.
ADVERTISEMENT