Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sepak Bola dan Politik: Sejarah Perjumpaan Abadi
3 April 2023 9:49 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ganes Alyosha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia dipastikan batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Hal itu disampaikan FIFA melalui situs resminya, Rabu (29/3) malam. Meski FIFA tak secara gamblang menyebutkan alasannya, penolakan-penolakan terhadap keikutsertaan timnas Israel oleh berbagai pihak dipercaya menjadi penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sempat memberikan pernyataan resmi perihal keberlangsungan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Di kesempatan itu Jokowi menjamin posisi Indonesia terhadap Palestina serta mengimbau semua pihak agar memisahkan urusan Piala Dunia dengan politik.
"Saya menjamin keikutsertaan Israel, tidak ada kaitannya dengan konsistensi, posisi politik luar negeri kita terhadap Palestina karena dukungan kita ke Palestina selalu kokoh dan kuat. Dan dalam urusan dalam Piala Dunia U-20 ini, kita sependapat dengan duta besar Palestina untuk Indonesia, FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya. Jadi jangan mencampuradukan urusan olahraga dan urusan politik," ujar Jokowi di Istana Negara, Selasa (28/3).
Kehadiran unsur-unsur lain semisal ekonomi, sosial, budaya, termasuk politik makin tak terbendung lagi. Piala Dunia 2022 di Qatar yang lalu misalnya, sangat-sangat beraroma geopolitik. Polemik ban kapten “one love” sebagai kampanye LGBT, serta pitch invader berkaos “Save Ukraina” dan “Hormati Perempuan Iran” adalah beberapa muatan geopolitik yang berseliweran di tanah Qatar.
ADVERTISEMENT
Namun sejatinya bukan baru-baru ini saja politik dan sepak bola saling beririsan. Sejarah mengatakan bahwa perjumpaan politik dan olahraga ternyata telah tercatat sejak berabad-abad yang lalu. Keduanya dipercaya telah bertemu sejak abad ke-9 SM (sebelum masehi).
Victor Cha dalam jurnal Match point: Sports, Nationalism, and Diplomacy menyebutkan bahwa pada masa itu olimpiade kuno telah digelar di negeri para dewa, Yunani. Bangsa yang berpartisipasi dalam pesta olahraga itu di antaranya, Sparta, Ellis, dan Pisa. Ajang tersebut mempertandingkan cabang olahraga berkuda serta atletik seperti nomor lari, loncat, dan lempar.
Olimpiade berlangsung di tengah perang Pelloponesus yang melibatkan bangsa-bangsa peserta. Namun tiga raja dari tiga negeri berbeda, yaitu Iphistos dari Ellis, Cleosthenes dari Pisa, dan Lycurgus dari Sparta sepakat menandatangani perjanjian politik bernama Ekecheiria atau Olympic Truce. Sebuah kesepakatan gencatan senjata yang berlangsung selama perhelatan olimpiade.
Sementara Junwei Yu dan Dan Gordon dalam Nationalism and National Identity in Taiwanese Baseball, mengatakan bahwa politik telah memainkan peran utama dalam pengembangan olahraga bisbol di Taiwan.
ADVERTISEMENT
Sejak diperkenalkan lebih dari satu abad yang lalu, bisbol telah menjadi alat bagi kelas penguasa dalam melaksanakan agenda politiknya. Mulai dari propaganda Japanisasi saat masa pendudukan Jepang, kampanye de-Japanisasi atau Sinosisasi di rezim pemerintahan Chiang Kai-shek serta Chiang Ching-kuo, dan juga yang masih berlangsung hingga kini yaitu gerakan Taiwanisasi.
Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan The Games of the New Emerging Forces (Ganefo) sebagai olimpiade tandingan adalah wujud konkret dari bercampur-aduknya urusan politik dan olahraga. Pesta olahraga yang diselenggarakan pada tahun 1963 di Jakarta ini dikenal sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme barat.
Ajang yang diinisiasi oleh presiden Sukarno ini merupakan respons dari sanksi dan larangan IOC (International of Olympic Committee) kepada Indonesia untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. Indonesia dihukum karena tidak mengizinkan Israel dan Taiwan berpartisipasi pada gelaran Asian Games Jakarta 1962. Saat itu Indonesia memang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan Taiwan.
ADVERTISEMENT
Meski bertajuk pesta olahraga, Ganefo digunakan sebagai manuver politik luar negeri sang proklamator. Selain perlawanan terhadap dominasi barat pada tata kelola olahraga dunia, Ganefo juga digunakan untuk melanjutkan semangat KAA (Konferensi Asia-Afrika). Di antaranya untuk mempertebal perjuangan dekolonisasi Asia-Afrika dan menunjukkan eksistensi Gerakan Non-Blok.
Dalam ruang lingkup sepak bola, kelompok etnik Basque dan Katalan ingin diakui sebagai bagian yang terpisah dari Kerajaan Spanyol. Tuñón dan Brey dalam jurnal bertajuk Sports and Politics in Spain - Football and Nationalist Attitudes Within the Basque Country and Catalonia, mengatakan, klub kebanggaan Katalunya, FC Barcelona adalah simbol perjuangan rakyat Katalan.
Camp Nou, markas El Barca tak ubahnya panggung kampanye partai politik. Fans Barca tak jarang membentangkan bendera dan mengumandangkan nyanyian-nyanyian anti Spanyol. Lebih ekstrem lagi, klub Athletic Bilbao yang berada di wilayah otonom Pais Vasco, mengharamkan pesepak bola negeri matador yang bukan dari suku Basque untuk memperkuat klub berjuluk Los Leones tersebut.
ADVERTISEMENT
Di belahan dunia yang lain, mulanya sepak bola dimanfaatkan oleh elite Arab Palestina untuk membangun sentimen nasionalisme. Setelah Zionis mengambil alih kekuasaan, di mana elite Arab Palestina dibuang dan diasingkan, fungsi sepak bola bergeser menjadi alat untuk mendorong integrasi warga Arab dan memanipulasi identitas nasional Arab di wilayah kekuasaan Israel.
Dalam bukunya berjudul Nasionalisme Palestina di Lapangan Hijau: Sejarah Ringkas Sepak bola Arab-Palestina di Wilayah Kekuasaan Israel, Tamir Sorek memperlihatkan betul bagaimana kekuasaan bekerja dalam sepak bola.
Sorek menjelaskan bahwa identitas primordial pesepak bola Palestina di Israel nyaris disembunyikan sama sekali. Salah-salah mereka bisa menerima hukuman oleh pemerintah Israel. Para pesepak bola Arab yang berkarier di Israel pun cenderung memilih untuk tak memperlihatkan identitas nasionalnya.
ADVERTISEMENT
Di tanah air, sepak bola telah lama dikenal sebagai alat perjuangan. Dalam buku berjudul Peringatan dan Sejarah 30 Tahun PSSI yang dibuat oleh PSSI, dituliskan bahwa dua tahun pasca Sumpah Pemuda yang dilaksanakan pada tahun 1928, berdirilah Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia.
Dengan semangat Sumpah Pemuda, Ir Suratin Sosrosugondo mendirikan PSSI sebagai kamuflase pergerakan kaum pemuda dalam mempersatukan Indonesia untuk melawan penjajah.
Organisasi yang merupakan gabungan sejumlah Voetbal Bond (Perkumpulan Sepak bola) dari berbagai daerah tersebut turut berjuang seirama dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kala itu PSSI menjadi sekolah kebangsaan bagi para pemuda yang belum leluasa berkecimpung di dunia politik.
Saat itu PSSI juga membentuk kesebelasan yang mewakili semangat perlawanan dan identitas nasional golongan bumiputera. Tim bentukan PSSI berhasil menandingi kesebelasan NIVB/NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Bond/Nederlandsch Indische Voetbal Unie) yang merupakan tim bikinan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Dari ragam perspektif sejarah di atas kita dapat melihat, bahwa irisan antara politik dan sepak bola telah terjadi dari waktu ke waktu dan abadi hingga hari ini. Mimpi tuk memisahkan keduanya adalah ahistoris. Mereka yang masih berharap boleh jadi termasuk golongan orang-orang yang naif.
Meski pada hakikatnya olahraga bukanlah politik, namun pengorganisasiannya di tingkat apa pun adalah urusan politik. Baik itu level Piala Dunia hingga level tarkam (antar-kampung) sekalipun. Urung digelarnya Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia besar kemungkinan diakibatkan oleh konstelasi politik yang dianggap mengancam keamanan event.
Yang disayangkan, agaknya situasi tersebut adalah sesuatu yang dapat dipetakan sejak jauh-jauh hari. Kepastian lolosnya timnas Israel ke putaran final bahkan sudah diketahui sejak Juni 2022 yang lalu. Penolakan-penolakan terhadap kehadiran mereka adalah sebuah keniscayaan yang cepat atau lambat bakal muncul ke permukaan.
ADVERTISEMENT
Mengingat sejarah panjang hubungan Indonesia-Israel dan posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina, langkah-langkah preventif dan manajemen risiko idealnya sudah dipersiapkan sejak dini. Bukan menunggu gejolak penolakan terekskalasi.
Timnas U-20 yang saban hari berlatih telanjur gagal bertanding di Piala Dunia. Publik sepak bola kecewa karena kompetisi level dunia yang ditunggu-tunggu urung digelar di tanah air. Pihak-pihak yang berwenang terhadap pengorganisasian Piala Dunia U-20 di Indonesia wajib bertanggung jawab.
Sepak bola Indonesia sudah overload momentum untuk bertransformasi menjadi lebih baik. Dualisme federasi, sepak bola Gajah, pembekuan PSSI, tragedi Kanjuruhan, hingga yang terkini gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Tanpa adanya transformasi total, sepak bola kita hanya akan mengulang tragedi yang sama.