news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Penjelasan Ilmiah Mengapa Orang Indonesia Sering Tanya 'Kapan Menikah?'

Generasi Milenial
Generasi Milenial
Konten dari Pengguna
25 Maret 2021 12:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
"Kapan menikah?" bisa jadi pertanyaan yang hampir sering kita dengar di kehidupan sehari-hari, apalagi bagi kita yang berusia pertengahan 20 hingga 30-an dan masih berstatus 'belum kawin'. Kata-kata tersebut biasanya datang dari orang tua, keluarga besar, teman dekat, teman lama, hingga rekan kerja.
ADVERTISEMENT
Entah maksudnya bersungguh-sungguh atau sekadar berbasa-basi, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menjadi momok bagi banyak perempuan Indonesia. Hal ini rupanya sedang dialami oleh Zola Yoana (35).
Zola yang memiliki profesi sebagai Certified Matchmaker alias jasa perjodohan sering dicecar pertanyaan kapan nikah?' oleh orang-orang terdekat, termasuk keluarganya. "Sering banget ditanya, sudah nikah belum? Kapan nikah?," cerita Zola dikutip dari perbincangan dengan kumparanWOMAN.
Ilustrasi wanita 30-an . Foto: Pixabay
Hal yang sama juga dialami oleh Vini Sipayung (32) yang bekerja sebagai Event & Partnership Manager di sebuah perusahaan coworking space di Jakarta. Vini yang sudah melajang selama dua tahun ini mengaku cukup lelah dengan berbagai pertanyaan seputar pernikahan.
Pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan memang telah menjadi fenomena tersendiri dalam kehidupan individu di Indonesia. Pertanyaan ini seakan menjadi fase tersendiri dalam kehidupan setiap orang.
ADVERTISEMENT
Jika kita pernah atau masih belum menikah di usia 20-an hingga awal 30-an, kita pasti kenyang dengan ragam pertanyaan ini. Pertanyaan yang kadang-kadang seakan sekadar basa-basi, hanya untuk dijadikan senda gurau, lama kelamaan bagi sebagian orang menjadi tekanan tersendiri dan hal yang sangat mengganggu.
Menikah seakan-akan menjadi hal yang wajib dilakukan ketika kita menginjak usia tertentu. Padahal benarkan demikian? Adakah usia ideal untuk kita menikah? Lalu bagaimana dengan yang tidak ingin mengikuti usia ideal tersebut? Apakah mereka bisa menjalani kehidupan sehari-hari tanpa dibebani pertanyaan tentang pernikahan?

Urusan Pernikahan Dianggap Urusan Bersama

Ilustrasi menikah. Foto: Pixabay
Menurut Peneliti Sosial Vokasi Universitas Indonesia Devie Rachmawati, fenomena pertanyaan 'Kapan Menikah’ di Indonesia sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Menurutnya, berdasarkan ilmu tipologi, masyarakat Indonesia termasuk ke dalam masyarakat komunal, sedangkan di negara barat adalah masyarakat individual.
ADVERTISEMENT
Devie menjelaskan bahwa masyarakat komunal adalah bagian dari masyarakat sosial. Inilah yang mengakibatkan tidak adanya batasan antara kehidupan pribadi (domestik) dan sosial.
Ranah domestik menjadi ranah sosial, begitu juga sebaliknya. Tingkat ketergantungan individu terhadap masyarakat sosial sangat tinggi sehingga menimbulkan ekspresi dalam bentuk pertanyaan seputar kehidupan personal.
"Bagi masyarakat komunal, pertanyaan tersebut bukan sesuatu yang sifatnya menyinggung, karena itu justru menunjukkan kepedulian mereka terhadap individu yang ada di lingkungan mereka. Itu adalah bentuk tanggung jawab masyarakat sosial bagi individu yang hidup di dalam masyarakat komunal," tutur Devie dikutip dari kumparanWOMAN.
Ilustrasi wanita 30-an. Foto: Pixabay
Dalam hal ini, masyakarat komunal tidak bermaksud untuk 'menekan' individu dengan pertanyaan tersebut. Tetapi, pertanyaan tersebut memiliki dua maksud tertentu: untuk memastikan bahwa norma sosial yang dianut di kelompok masyarakat komunal dapat berjalan dan mendorong terciptanya bantuan sosial.
ADVERTISEMENT
"Bantuan sosial itu muncul dengan 'eh, nanti aku jodohin dengan si ini ya, aku kenalin dengan si itu ya'. Jadi, pertanyaan itu bukan dalam rangka menekan, diskredit atau diskriminasi, tetapi itu bentuk 'kepedulian' sosial yang akan mendorong bantuan sosial (mengenalkan, menjodohkan)," kata perempuan yang juga menjadi dosen vokasi Universitas Indonesia ini.
Sementara itu, menurut psikolog Alvieni Angelica, M.Psi, istilah 'kebiasaan yang terkait dengan proses pikir tidak sadar ini disebut juga sebagai autopilot.
Berdasarkan penelitian 'Autopilot Britain' Study yang dilakukan oleh lembaga Action for Happiness untuk Marks & Spencer di Inggris 2017 silam, sekitar 96 persen orang hidup dengan autopilot. Artinya, banyak aktivitas termasuk perkataan yang diucapkan yang tidak mereka sadari.
ADVERTISEMENT
"Pertanyaan terkait dengan urusan pribadi merupakan pertanyaan berulang yang seringkali kita dengar sejak kita masih kecil di berbagai situasi sosial. Sesuatu yang diulang-ulang masuk menjadi program bawah sadar seseorang sehingga ketika orang berada dalam situasi sosial, maka kebanyakan orang akan berfungsi secara autopilot, termasuk menanyakan hal terkait pernikahan," tutur Alvieni.
Tetapi faktanya, bila direnungkan kembali, pertanyaan tentang pernikahan ternyata lebih banyak ditanyakan kepada perempuan. Psikolog yang juga founder dari perusahaan consulting psychology Enlightmind ini memaparkan bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan fungsi reproduksi perempuan.
Secara biologis, perempuan memiliki kemampuan istimewa untuk melahirkan anak. Sehingga, banyak anggapan yang beredar di masyarakat, bahwa semakin tua seorang perempuan, semakin sulit dan tinggi risiko dalam melahirkan.
ADVERTISEMENT
"Selain itu, ada anggapan lain bahwa perempuan mengalami penuaan lebih cepat daripada laki-laki, sehingga muncul kekhawatiran bahwa penuaan mengurangi daya tarik dan kesempatan perempuan memperoleh pasangan," kata psikolog yang membuka praktik di daerah Cibubur, Jakarta Timur.
Dari sisi medis, usia produktif perempuan berada pada rentang usia 21 hingga 35 tahun. Sehingga tidak heran jika, pada usia tersebut perempuan paling gencar mendapat tekanan untuk menikah.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat 2013 dari Badan Pusat Statistik Indonesia, angka tertinggi pernikahan di Indonesia berada pada rentang usia 19 hingga 24 tahun, yaitu 47,96 persen. 26,34 persen berada pada usia 16 hingga 18 tahun dan 17,29 persen untuk usia 25 tahun ke atas.
ADVERTISEMENT
Data tahun 2013 itu menunjukkan ada tren menikah yang cukup awal namun ada kemungkinan tren angka ini berubah seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat.

Stigma Negatif Perempuan Belum Menikah

Ilustrasi perempuan saat bergosip. Foto: Pixabay
Perempuan usia 30-an yang belum menikah beberapa ada yang dianggap terlalu mengejar karier. Vhea Verdyana adalah salah satu yang merasakan tekanan menikah pada usia yang dalam pandangan dia masih muda, yaitu 26 tahun.
Vhea sering sekali ditanyakan masalah jodoh, terutama dari orang tuanya yang menuntutnya untuk cepat menikah. Hal ini juga disebabkan faktor kakak perempuannya yang berusia 37 tahun belum juga menikah. Menurut Vhea, ibunya khawatir ia akan bernasib sama dengan kakaknya, yaitu menjadi 'perawan tua'.
"Ibu sering kali bertanya (kapan nikah?). Dan karena teman-teman seusia saya sudah banyak yang menikah atau lamaran, dari situ ibu jadi makin sering nanya karena dia tidak mau saya terlalu lama single," cerita Vhea dengan kumparanWOMAN.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya lumayan tertekan karena bingung mau bagaimana, laki-laki saja tidak ada. Bukan tidak ada sama sekali, tapi belum ada yang cocok. Kadang jadi kepikiran dan tertekan," lanjutnya.
Vhea sendiri mengaku bahwa ia sebenarnya sudah memiliki keputusan tersendiri untuk hidupnya. Ia belum ingin menikah sama sekali dan lebih memilih menikmati waktu usia mudanya dengan sendiri dan mengejar karier.
Cerita lain datang dari Mira Irawan (43) yang bekerja sebagai PR Consultant. Di usianya yang sudah kepala empat, Mira mengaku sudah 'kenyang' dengan pertanyaan 'kapan menikah?' yang dibarengi dengan tekanan-tekanan dari lingkungan sekitarnya.
Mira bahkan pernah sampai berbohong. Ia mengaku sudah ada pasangan dan calon pendamping hidup, demi menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mengusiknya.
Tak hanya itu, Mira juga sempat malas pergi ke pesta pernikahan dan pergi ke acara keluarga karena ingin menghindar dari pertanyaan tersebut. Ia bercerita pernah berada dalam fase ingin sekali menikah. Meski ada beberapa laki-laki yang datang silih berganti dalam hidupnya, ia tak kunjung menemukan yang cocok. Rasa marah, kesal, hingga menyalahkan diri sendiri pernah dirasakannya.
Ilustrasi pernikahan. Foto: Pixabay
"Teman-teman sudah menikah, saya merasa kesepian. Teman saya sudah move on, saya masih gini-gini saja. Saya sempat kesal, marah dengan diri sendiri. Saat itu saya mikir, 'apa yang salah dengan diri gue ya? Kenapa ya? Gue enggak jelek, punya pekerjaan, gue sehat. Kenapa, sih, enggak ada yang nyantol satu juga," ungkap Mira.
ADVERTISEMENT
Tetapi ketika memasuki usia 40-an, pemikiran Mira mulai berubah. "Sekarang, kalau ada jodoh itu bonusnya, kalau tidak ada, ya hidup ini sudah memuaskan untuk saya," lanjutnya.
Seiring dengan berjalannya waktu pula, Mira merasa dirinya semakin matang dan dewasa dalam melihat kehidupan pernikahan dan berumah tangga. Ia percaya, kehidupan seseorang, termasuk pernikahan dan membangun rumah tangga, sudah diatur oleh Tuhan.
Kini, ia mulai bisa menerima statusnya yang saat ini masih melajang, meski tidak menampik, ada sebutan 'perawan tua' melekat di dirinya.
"Istilah perawan tua itu sangat menyakitkan lho. Mungkin mereka tidak menyebut langsung di depan saya, tapi saya tahu saya dipandang sebagai perempuan yang kurang utuh karena perawan tua. Pasti menyakitkan sih, kalau dijadikan bahan bercandaan. Untuk hal ini, saya masih sensitif," paparnya.
ADVERTISEMENT
Istilah perawan tua memang menjadi istilah yang kerap disematkan pada perempuan Indonesia yang tak kunjung menikah hingga akhir 30-an sampai usia 40-an. Label-label seperti ini juga dialami oleh perempuan lajang di negara lain.
Di China misalnya. Perempuan yang masih melajang dan tak memiliki pasangan di usia 30-an disebut dengan istilah ʻleftover women’ atau 'perempuan sisa’. Sedangkan di Korea Selatan perempuan lajang diistilahkan dengan sebutan 'Mi-hon’.
Selain perawan tua, ada berbagai label negatif lainnya yang disematkan pada perempuan lajang. Mulai dari anggapan 'tidak laku’, dibilang 'terlalu pemilih’, atau bahkan dikira memiliki orientasi seksual berbeda menjadi hal yang biasa menghinggapi perempuan lajang.
Ilustrasi wanita karier. Foto: Getty Images
Menurut psikolog Alvieni Angelica, M.Psi, stereotip negatif ini memang akan selalu ada dan sulit untuk dihindari di Indonesia atau di manapun kita berada.
ADVERTISEMENT
"Tetapi, apabila dilihat dari sudut pandang pemikiran yang jernih, setiap perempuan bisa memilih responnya. Bisa saja ia hanyut dengan stigma yang diberikan dan merasa menderita karenanya, namun ia juga bisa memilih untuk tidak merespons hal itu," jelas Alvie.
Alvie menyarankan untuk tidak langsung memberikan respons apapun. Pahami lebih dulu bahwa kebanyakan orang sebenarnya bertanya dalam keadaan tidak menyadari perkataan apa yang diucapkannya (autopilot).
"Selain itu, pikiran kita pun perlu ditata dengan keyakinan bahwa semua perempuan ingin bahagia, namun bahagia tidak harus diletakkan dalam status 'menikah’," imbuhnya lagi.

Laki-laki Juga Mendapat Tekanan yang Sama

Ilustrasi pria bekerja. Foto: Getty Images
Tak hanya perempuan, laki-laki rupanya juga mendapatkan tekanan sosial tentang pernikahan. Hal ini dirasakan oleh Kris Mikail Silitonga (31), karyawan swasta di salah satu perusahaan ritel di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pria yang biasa disapa Mika ini agak risih dengan pertanyaan kapan nikah?' dan sempat membuatnya kepikiran terus- menerus, terlebih lagi, pertanyaan itu sering ditanyakan.
"Saya agak risih dengan pertanyaan 'kapan menikah' itu, tapi belum sampai tahap tertekan, hanya pernah kepikiran. Saya dua bersaudara, tapi kakak sudah meninggal, jadi sekarang saya anak satu-satunya dan sering ditanya kapan menikah supaya bisa jadi penerus keluarga. Ini yang membuat saya kepikiran," cerita Mika.
Tak jarang, sang ibu suka menjodoh-jodohkannya. Berbagai cara dilakukan sang ibu untuk mencarikannya jodoh. Salah satu modusnya adalah dengan minta diantar ke acara arisan. Mika tak ambil pusing dengan hal ini, walaupun hingga saat ini ia merasa belum ada yang cocok dengannya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Mika tidak terlalu mempermasalahkan dirinya yang belum juga menikah. Bila disindir halus oleh teman-temannya tentang pernikahan, Mika menanggapinya dengan bercanda. Tetapi terkadang, ia merasa terbebani ketika orang lain yang tidak dekat dengannya bertanya-tanya tentang statusnya dan kemudian menasihatinya.
Perkataan seperti 'sudah umur segini, mau nunggu apa lagi?' tidak satu dua kali didengarnya. Akibatnya, ada perasaan tidak enak, jadi lebih sensitif atau bad mood.
"Pertanyaannya macam-macam, 'lo kenapa sih belum nikah? Kenapa sih, nggak nikah?'. Memangnya kenapa, sih? Sepertinya kalau belum nikah itu dosa, ya," ujar pria yang hobi membaca buku ini.
Perasaan terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan ini membuat orang selalu mencari cara, bagaimana cara menjawab pertanyaan ini dengan tepat.
ADVERTISEMENT

Lalu apa yang harus kita lakukan ketika dihadapkan pada pertanyaan tersebut?

Ilustrasi wanita liburan sambil bermain laptop. Foto: Pixabay
Alvieni menyarankan untuk meluangkan waktu dalam memikirkan dan mencintai diri sendiri. Apakah kita merasa nyaman dengan diri sendiri? Apakah kita tidak suka dengan diri sendiri? Atau hal-hal lain yang mungkin mengganjal di pikiran.
"Bila kita sendiri tidak suka dengan situasi kita saat ini, maka komentar society akan terasa seperti tekanan. Dalam hal ini, menemui psikolog bisa membantu untuk menguraikan rasa dan pemikiran yang kita rasakan sehingga kita bisa menjadi lebih objektif melihat situasi kita," tutup Alvie. (via)