Tunisia, Pionir Feminisme di Dunia Arab

George Junior
Diplomat Muda. Sebelumnya ditugaskan di KBRI Tunis.
Konten dari Pengguna
13 Juli 2018 5:27 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari George Junior tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tiga hari terakhir terdapat pemberitaan di beberapa media Indonesia mengenai ditangkapnya Adnan Oktar. Penangkapan ini membuat pembahasan mengenai sosoknya, yang lebih dikenal dengan nama pena Harun Yahya, mencuat.
ADVERTISEMENT
Harun Yahya merupakan sosok kontroversial, bahkan di negaranya sendiri. Namun, mungkin hal yang paling diperhatikan publik ialah bagaimana sang penulis dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang dijuluki kittens.
Harun Yahya dan para kitten-nya (Foto: Instagram @semraozgiray_a9)
Terlepas dari benar atau tidaknya konsep feminisme Harun Yahya, menarik untuk melihat perkembangan feminisme di negara-negara Islam, khususnya negara-negara Arab.
Perkembangan feminisme terbaru di sebuah negara Arab yang paling kasat mata bagi masyarakat Indonesia adalah diizinkannya wanita di Arab Saudi untuk mengemudi. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Tunisia adalah negara Arab termaju dalam hal feminisme.
Mengamankan hak wanita di awal kemerdekaan Tunisia
Bendera Tunisia (Foto: Pixabay)
Jumlah penduduk Tunisia per bulan Juli 2017 diperkirakan sejumlah 11,4 juta, di mana 98% adalah etnis Arab dan 99,1% menganut Agama Islam. Pasal pertama dalam Konstitusi Tunisia menyatakan bahwa Islam merupakan agama resmi negara tersebut. Tunisia juga memiliki seorang imam besar yang ditunjuk oleh Presiden Tunisia.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan segala ke-Islam-annya, kesamaan hak antara pria dan wanita di Tunisia sudah diundangkan sejak tahun pertama kemerdekaannya. Pada tanggal 13 Agustus 1956, kurang dari lima bulan sejak kemerdekaan Tunisia dari Perancis, Perdana Menteri Habib Bourguiba menandatangani Code du statut personnel (CSP). Sejak saat itu, tanggal 13 Agustus diperingati sebagai Hari Perempuan di Tunisia.
Kelompok wanita menyambut Presiden Habib Bourguiba di Istana Bardo, Tunis, pada Hari Proklamasi Republik Tunisia, 25 Juli 1957 (Foto: Wikipedia Commons)
CSP merupakan undang-undang pertama di sebuah negara Arab yang memberikan kesetaraan hak antara pria dan wanita, khususnya dalam hal perkawinan. Hal-hal yang diatur dalam CSP masih progresif dalam standar modern, a.l.:
ADVERTISEMENT
Perkembangan feminisme di Tunisia modern
Suasana protes di Avenue Habib Bourguiba, Tunis, pada tanggal 1 Mei 2012 (Foto: scossargilbert, Flickr)
Feminisme di Tunisia terus berlanjut hingga masa kini. Setelah Revolusi Melati di akhir tahun 2010, hak wanita Tunisia bahkan lebih terjamin. Pasal 21 dalam konstitusi baru Tunisia yang disepakati pada tahun 2014 menjamin gender equality. Pasal 46 mengatur lebih lanjut hal-hal a.l. gender parity di lembaga-lembaga seperti ARP (DPR Tunisia) dan pemberantasan kekerasan terhadap wanita.
Meherzia Labidi, anggota Assemblée nationale constituante, badan yang merumuskan Konstitusi Tunisia Tahun 2014 (Foto: UN Women/Ryan Brown)
Di tahun 2017, Tunisia telah mencabut sebuah undang-undang dari tahun 1973, sehingga wanita Tunisia Muslim dapat menikah dengan pria non-Muslim. Tahun ini, Tunisia mungkin akan mengubah undang-undangnya agar wanita mendapatkan hak waris yang sama dengan pria. Walau mengundang kontroversi, sepertinya Tunisia akan terus menjadi pionir feminisme di dunia Arab.
ADVERTISEMENT