Konten dari Pengguna

Menguak Potensi Pangan Tradisional dan Modern dalam Menjamin Ketahanan Pangan

Ghina Fauziyah
Graduate Student of Food Science, IPB University
3 Desember 2024 23:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghina Fauziyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Ghina Fauziyah
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Ghina Fauziyah
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya mewujudkan ketahanan pangan telah sering dikembangkan, salah satunya dengan diversifikasi pangan baik pangan tradisional maupun modern. Indonesia memiliki aset berharga yang seringkali terlupakan yaitu keberagaman makanan pokok tradisional. Selain nasi, berbagai jenis umbi-umbian, jagung, dan sagu telah menjadi sumber karbohidrat bagi masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Namun faktor perubahan gaya hidup modern dan kesadaran akan kesehatan semakin mendorong masyarakat Indonesia untuk mencari alternatif makanan pokok selain nasi. Tren makan sehat dan bervariasi telah melahirkan beragam pilihan makanan pengganti nasi, diantaranya quinoa, dan oat. Artikel ini akan mengkaji perbandingan antara pangan tradisional dan modern, dengan tujuan untuk mengetahui mana yang lebih andal dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Nasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya makan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, belum lengkap rasanya jika makan tanpa nasi. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 31,54 juta ton. Menurunnya produksi beras mendorong masyarakat untuk mencari alternatif sumber karbohidrat. Hal ini memicu diversifikasi konsumsi pangan dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengonsumsi umbi-umbian, jagung, dan biji-bijian sebagai pengganti nasi.
Grontol jagung dan papeda, dua di antara sekian banyak kekayaan kuliner Nusantara yang patut mendapat apresiasi. Sebagai makanan pokok pengganti nasi, keduanya memiliki keunikan dan nilai gizi yang tinggi. Jagung yang merupakan bahan utama grontol, memiliki serat, vitamin, dan mineral yang baik untuk kesehatan pencernaan. Grontol jagung adalah makanan khas Jawa Tengah, yang terdiri dari jagung pipil yang direbus hingga empuk lalu disajikan dengan parutan kelapa. Teksturnya yang lembut dan rasa manisnya yang alami membuatnya menjadi hidangan yang sangat nikmat. Sementara itu, papeda adalah makanan khas dari Papua yang terbuat dari sagu dengan cara dimasak hingga kenyal. Teksturnya yang unik menyerupai lem, membuat papeda menjadi sensasi pengalaman kuliner yang berbeda. Sagu yang menjadi bahan utama papeda, merupakan sumber karbohidrat kompleks yang dapat memberikan energi secara perlahan. Selain memberikan nutrisi yang bernilai, mengonsumsi pangan lokal juga turut mendukung petani lokal dan melestarikan kearifan lokal. Sayangnya keberadaan makanan tradisional seperti grontol jagung dan papeda semakin terpinggirkan oleh makanan modern yang saat ini bermunculan akibat kemudahan mendapatkan infromasi dari berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Munculnya oat dan quinoa sebagai alternatif nasi membuka peluang pasar yang besar. Oat dan quinoa, dengan kandungan serat, protein, dan berbagai vitamin yang tinggi serta dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk mendukung gaya hidup sehat. Namun masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti harga yang relatif lebih mahal dan keterbatasan informasi mengenai cara mengolah dan mengonsumsi makanan ini. Hal tersebut dikarenakan baik oat dan quinoa bukan merupakan makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan menjadi tren saat penyebaran informasi mendunia. Selain itu hingga saat ini, oat dan quinoa yang dikonsumsi di Indonesia sebagian besar masih bergantung pada impor.
Baik pangan tradisional/lokal maupun modern, masing-masing memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri. Dengan adanya isu yang berkembang mengenai pengurangan impor dan peningkatan pada kearifan lokal dengan slogan “cintai produk Indonesia”, maka makanan tradisional menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterbatasan makanan pokok berupa nasi di Indonesia. Pangan tradisional seperti grontol jagung dan papeda tidak hanya kaya akan nutrisi, namun menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya kita. Dengan mempromosikan dan mengembangkan pangan lokal, tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor namun dapat melestarikan keanekaragaman hayati dan budaya Indonesia. Selain itu, inovasi dalam pengolahan pangan juga sangat penting untuk membuat makanan alternatif menjadi lebih menarik dan mudah diakses oleh generasi muda. Dengan demikian masyarakat Indonesia dapat menikmati makanan yang sehat, lezat, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Generasi muda yang memiliki semangat inovatif dan konektivitas yang tinggi berperan krusial dalam mendorong diversifikasi pangan. Mereka dapat menjadi agen perubahan dengan menggagas berbagai inisiatif seperti menciptakan konten menarik tentang makanan tradisional di media sosial, mengembangkan produk olahan pangan lokal yang kekinian, atau bahkan mendirikan usaha kuliner yang berbasis pada bahan-bahan lokal. Dengan demikian kearifan lokal dapat diperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama generasi muda, sehingga tercipta kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman pangan.