Konten dari Pengguna

Cerpen: Lelaki yang Memanggul Batavia di Punggungnya

Gilang Ramadhan
Pengajar - Penulis - S1 Bahasa dan Sastra Indonesia - Warga Gang Mangga Garis Lurus
8 Juni 2025 14:42 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Cerpen: Lelaki yang Memanggul Batavia di Punggungnya
Kasim bin Saleh, pengangkut air dari Kampung Prapatan, adalah satu-satunya manusia di Batavia yang mengaku pernah menggendong kota ini di punggungnya.
Gilang Ramadhan
Tulisan dari Gilang Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Sebuah Cerita Pendek

Lanskap Kota Tua. Sumber: Freepik.com/4045
zoom-in-whitePerbesar
Lanskap Kota Tua. Sumber: Freepik.com/4045
Kasim bin Saleh, pengangkut air dari Kampung Prapatan, adalah satu-satunya manusia di Batavia yang mengaku pernah menggendong kota ini di punggungnya. Bukan sebagai metafora. Bukan dalam arti tanggung jawab sosial atau semacamnya, seperti yang biasa dikicaukan para tokoh Sarekat Islam dari panggung rapuh di tanah lapang. Ia betul-betul secara fisik, literal, dan dengan dengkulan lutut yang menyerah pelan-pelan, telah menggendong Batavia, dari Kali Krukut sampai Weltevreden, dari Kampung Melayu sampai Stadhuisplein, lengkap dengan rumah-rumah bergaya Indisch, bunyi lonceng Gereja Sion, dan bau asin yang merayap dari muara.
ADVERTISEMENT
Tentu tak ada yang percaya.
“Kasim, kamu itu kebanyakan ngopi campur opium!” bentak Sabeni, tukang cukur yang rambutnya lebih jarang dari pelanggan di bulan puasa. “Kalau Batavia kamu gendong, mestinya kita semua jatuh.”
Kasim cuma nyengir. Giginya ompong tiga, bukan karena usia, tapi karena waktu kecil jatuh dari pelana sapi di Kebon Sirih. Ia tahu, orang-orang kampung akan terus mengejek mimpinya. Tapi setiap malam, ketika lampu-lampu petromaks padam dan malam menyelinap seperti gerombolan rampok, ia bermimpi lagi: dirinya memanggul kota ini, jalan demi jalan, bangunan demi bangunan, seperti kuli memanggul peti-peti gula di pelabuhan Sunda Kelapa.
Anehnya, setiap kali ia bangun, punggungnya benar-benar sakit. Bukan pegal biasa. Lebih mirip remuk halus yang perlahan menjalar ke tengkuk dan ubun-ubun. Istrinya, Halimah, seorang janda cantik eks penjual kue cucur di Pasar Senen yang baru ia nikahi tiga bulan lalu, berkali-kali membujuknya untuk berobat ke tabib Cina di Tanah Abang.
ADVERTISEMENT
“Nanti kalau tulangnya patah, saya kawin lagi, lho,” ujar Halimah setengah mengancam, setengah menggoda. Kalimat yang ia ucapkan sambil mengaduk kopi dan memandangi ayam jago Kasim yang bernama Multatuli.
Pekerjaan Kasim sederhana: memikul air dalam dua gentong dari Kali Ciliwung ke rumah-rumah Belanda di daerah Rijswijk dan Noordwijk. Ia tahu kota ini lebih baik dari peta mana pun yang pernah digambar insinyur Belanda. Ia tahu jalan-jalan tikus yang hanya dilalui tikus dan juru tulis. Ia tahu bau kamar seorang meneer dapat dibedakan dari jenis sabun yang digunakan: sabun Prancis beraroma lemon untuk orang kaya baru, sabun Inggris beraroma lavender untuk yang lama-lama di Hindia dan malas pulang karena istrinya sudah kawin lagi dengan mertuanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada bulan-bulan itu, tahun 1896, Batavia sedang digeliatkan oleh proyek besar: jalur trem uap. Pemerintah kolonial ingin menjadikan kota ini lebih cepat, lebih bersih, lebih Eropa. Itu artinya: kampung-kampung harus minggir, rumah-rumah panggung harus roboh, dan kuburan-kuburan tua harus dibongkar agar tak mengganggu fondasi.
Sejak proyek itu dimulai, mimpi Kasim jadi lebih berat. Dalam tidurnya, kota yang ia pikul bukan cuma Batavia hari ini, tapi juga segala kenangan, kematian, dan kebohongan yang tertimbun di bawahnya. Setiap langkahnya membawa derit, bukan dari lututnya, tapi dari dalam tanah: suara rumah yang diusir, suara gerobak yang kehilangan jalannya, suara bayi yang tak lagi tahu siapa leluhurnya.
Dan anehnya, ia mulai mendengar kota berbicara. Awalnya hanya gumaman. Lalu berubah menjadi bisikan, dan akhirnya keluhan. “Terlalu banyak yang ditanam di punggungku,” kata kota itu dalam suara yang mirip campuran suara bedinde tua dan pejabat Belanda dengan masalah sinus. “Airku dialiri limbah pabrik indigo, jiwaku dikuras dari kuburan keramat, dan kini kalian mau pasang rel trem di tulang belakangku?”
ADVERTISEMENT
Kasim merasa bersalah. Tapi apa yang bisa dilakukan seorang pengangkut air?
Suatu pagi, ketika ia menyeberangi kanal Molenvliet, Kasim terhenti. Ada yang aneh. Ia menengadah. Langit tampak seperti biasa: biru kotor, berlapis kabut asap, dengan suara peluit trem mengiris pagi. Tapi di ujung jalan, tempat rumah tua peninggalan Portugis berdiri, tanah tampak merekah. Seolah baru selesai menggeliat seperti orang bangun tidur setelah mimpi buruk.
Tanah itu tidak sekadar retak. Ia menganga. Seperti luka yang menuntut diobati. Orang-orang mengelilinginya, menunjuk-nunjuk, dan seperti biasa: tidak melakukan apa-apa.
Kasim mendekat. Di antara puing-puing tanah dan bata yang hancur, ia melihat sesuatu: seutas sabuk kulit tua, melilit serpihan tulang yang rapuh, di samping sebuah batu nisan yang hampir pudar. Nama yang tertera: Siti Marsiyah binti Arifin, wafat 1832.
ADVERTISEMENT
Ia kenal nama itu.
Itu nama ibunya.
Tapi mustahil. Ibunya meninggal di Cirebon, bukan Batavia. Lagi pula, ia anak satu-satunya, dan waktu ibunya meninggal, ia baru berumur tujuh. Tapi nama itu ada di sana, persis seperti dalam mimpi terakhirnya. Bahkan sabuk kulit itu, satu-satunya peninggalan bapaknya yang pernah ia lihat, juga muncul, dalam keadaan masih utuh.
Kasim jatuh terduduk.
Orang-orang menatapnya seperti melihat orang gila.
Dan mungkin memang begitu: orang gila pertama yang sadar bahwa kota ini perlahan-lahan bangkit dari bawah tanahnya sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena terlalu banyak yang dikubur tanpa dimintai izin.
Hari itu, Kasim tidak bekerja. Ia duduk di warung kopi dekat Stasiun Meester Cornelis, memesan kopi hitam dan roti kompeni yang keras seperti kepala inspektur pajak. Ia menatap gentong-gentong air yang kosong, seolah di sana tersimpan semua mimpi yang tak bisa ia tentukan lagi: apakah ia yang bermimpi Batavia, atau Batavia yang memimpikan dirinya?
ADVERTISEMENT
“Dunia ini penuh orang waras yang sebenarnya ngigau,” katanya pada Multatuli si ayam jago, yang menatapnya dengan mata kosong seperti guru sekolah yang bosan.
“Kalau orang gila bisa ngerti kota lebih baik dari insinyur, lebih baik kota ini kita titipin saja ke orang gila,” gumamnya, tertawa sendiri, seperti orang gila beneran.
Tapi itulah Kasim.
Ia tidak sedang bercanda.
Atau mungkin sedang.
Karena kota ini sudah terlalu lama dijalankan oleh orang-orang yang tak tahu bahwa sejarah juga punya punggung, dan suatu hari nanti, ia akan pegal juga.
***
Sejak hari tanah menganga itu, Kasim tak pernah tidur nyenyak lagi. Bukan karena nyamuk, bukan pula karena Halimah, yang belakangan gemar berdandan seperti nyonya Belanda dengan bedak terlalu tebal dan sepatu terlalu sempit, entah siapa yang ia coba tiru, tapi karena suara kota yang makin cerewet. Kota itu tak lagi berbisik, ia kini memekik, mengeluh, dan kadang-kadang bernyanyi dengan nada sumbang seperti seriosa yang dipaksa pentas di pekuburan.
ADVERTISEMENT
“Lepaskan aku, Kasim...”
Itu yang ia dengar setiap malam. Suara itu muncul dari antara retakan genteng, sela tikar, bahkan dari celah punggungnya sendiri. Awalnya ia kira itu halusinasi karena kelelahan. Tapi lalu tanah kembali pecah. Kali ini di daerah Pasar Baru. Lubang yang muncul lebih lebar, dan kali ini bukan tulang atau sabuk tua yang muncul, melainkan potongan ubin Belanda yang dilukis tangan dengan motif bunga krisan dan tulisan “Voor mijn geliefde, 1814.”
Kasim mematung. Ia merasa seperti penonton sulap yang tahu persis dari mana kelinci itu keluar, tapi tetap tak paham bagaimana caranya.
Pemerintah kolonial, tentu saja, tidak percaya pada lubang-lubang itu. Mereka menyalahkan saluran air yang buruk, akar pohon tua, atau gempa kecil yang tidak tercatat. Seorang ahli teknik sipil berkebangsaan Swiss bahkan menulis laporan setebal tiga puluh halaman berjudul De Psychosomatische Aarde van Batavia, yang intinya menyatakan bahwa kota ini terlalu sentimental untuk ditata ulang.
ADVERTISEMENT
Di kantor Gubernur Jenderal, para meneer kebingungan. Mereka tidak siap menghadapi kota yang punya kehendak sendiri. Mereka terbiasa menghadapi orang-orang: bisa disuap, diancam, dijebloskan. Tapi tanah? Tanah yang meronta? Itu di luar kurikulum universitas Leiden.
Mereka lalu mengundang orang pintar. Dukun dari Banten, dukun dari Banyuwangi, bahkan dukun dari Cianjur yang konon bisa bicara dengan kambing. Semua gagal. Tanah terus merekah. Setiap kali jalur trem dipancang, ada saja kejadian aneh: rel yang melengkung sendiri, tukang gali yang kesurupan, atau batu nisan tua yang tiba-tiba muncul di tengah jalan dengan ukiran aksara Arab yang tak bisa dibaca siapa pun kecuali Pak Haji Somad dari Pekojan.
Pak Haji Somad membaca ukiran itu sambil mengelus janggut:
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Kasim menjadi bahan gosip. Ia dianggap semacam peramal, ada juga yang menyebutnya seorang wali. Anak-anak mulai mengikutinya ketika ia memikul air. Para ibu-ibu menitipkan nama almarhum untuk dicari di dalam mimpi. Bahkan seorang wedana datang diam-diam dan bertanya apakah kuda-kudanya yang hilang lima tahun lalu ikut terkubur di kota yang ia pikul itu.
“Tapi jangan bilang-bilang ke istri saya,” bisik wedana. “Dia kira saya jual kuda buat beli perempuan.”
Kasim cuma mengangguk. Ia mulai terbiasa dilabeli macam-macam. Orang gila. Orang suci. Orang yang dibayar Belanda. Orang yang dijauhi jin. Orang yang jinnya kebanyakan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tak lagi sendiri. Kota kini hidup di bawah kulitnya. Di setiap langkahnya, ia bisa merasakan jalan mana yang dulu sawah, jalan mana yang bekas pemakaman, dan jalan mana yang sebaiknya tak dilalui sebelum fajar karena di bawahnya ada dendam yang belum reda.
ADVERTISEMENT
Suatu malam, mimpi Kasim berubah.
Ia tak lagi memanggul kota. Kali ini kota memanggul dirinya.
Ia terbangun dalam posisi menggantung, seperti wayang yang talinya dipegang oleh tangan raksasa. Ia melayang di atas peta Batavia, melihat jalur-jalur air, makam-makam tua, rumah-rumah Indisch, dan garis-garis lurus buatan Belanda yang hendak menggantikan bentuk-bentuk liar kampung-kampung pribumi.
Ia melihat dirinya sebagai titik kecil di tengah kerumitan itu. Sebuah titik yang digerakkan, tapi juga menggerakkan. Di bawahnya, suara kota menggema:
“Kamu pikir kamu yang memikulku? Hm. Mungkin. Tapi aku juga yang melahirkanmu, Kasim.”
Dan mendadak, Kasim ingat sesuatu: ibunya memang wafat di Batavia. Ia diminta pamannya tinggal di Cirebon setelah itu, dan kisah kematian ibunya diceritakan ulang oleh kerabat yang ingin menyelamatkan ingatannya dari rasa malu. Malu karena ibunya mati mengenaskan: tertimbun reruntuhan rumah karena penggalian kanal Molenvliet yang ceroboh.
ADVERTISEMENT
Ia menangis.
Ia bangun dengan punggung yang bukan hanya sakit, tapi retak. Fisiknya masih utuh, tapi ada bunyi kecil setiap kali ia berdiri, seperti bambu patah di dalam tubuh. Dan sejak malam itu, ia tak bisa berjalan tegak lagi.
Namun anehnya, setiap kali ia berjalan bongkok, orang-orang menyapanya lebih hormat.
“Assalamualaikum, Mbah Kasim!”
Batavia terus berubah. Jalur trem tetap dibangun, meski kini harus memutar-mutar untuk menghindari “titik-titik keras kepala.” Orang-orang Belanda menyebutnya de geestzones, zona-zona roh. Para pejabat tinggi mulai khawatir. Bukan soal proyek, tapi soal prestise. Batavia yang mereka bayangkan sebagai miniatur Amsterdam, kini tumbuh seperti kota aneh: modern di satu sisi, tapi terus menerus diganggu bisikan sejarah dari bawah.
ADVERTISEMENT
Di satu rapat tertutup, seorang kontrolir, Meneer van den Broeck, yang gemar makan semur jengkol dan konon punya indra keenam, mengusulkan agar nama kota ini diubah.
“Batavia sudah terlalu penuh makna,” katanya. “Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak suara.”
Seseorang mengusulkan nama Nieuw-Holland.
Yang lain mengusulkan Kompeniville.
Tapi semua nama terasa palsu.
Karena semua orang tahu: kota ini tak mau diubah. Ia menolak nama baru seperti ia menolak fondasi trem yang menekan luka lamanya.
Kasim sendiri makin diam. Ia tak lagi banyak bicara. Ia lebih banyak mendengar. Kota itu terus bicara padanya: tentang arwah tukang batik yang mati tenggelam, tentang pemuda Cina yang dipenggal di Kali Besar, tentang bayi-bayi tak berdosa yang dikubur di bawah fondasi rumah meneer agar tidak menangis malam-malam.
ADVERTISEMENT
Ia tahu, suatu hari nanti, punggungnya akan benar-benar patah. Tapi ia juga tahu, selama ia masih bisa menahan retakan itu, kota ini tak akan roboh. Bukan karena kekuatan beton atau keputusan pemerintah, tapi karena satu orang yang mau mengakui beban sejarahnya.
Satu orang.
Satu punggung.
Satu kota.
Yang menolak dilupakan.
***
Suatu pagi yang terlalu tenang untuk kota yang biasanya gaduh, Kasim menyadari sesuatu: ia tidak lagi bisa membedakan mimpi dan siang hari. Matanya terbuka, tapi dunia tampak setipis bayangan. Rumah-rumah melayang seperti wayang kelilipan angin. Dan orang-orang yang ia jumpai di jalan, mulai dari penjual bubur hingga preman pasar, semua mengucapkan salam dengan cara yang sama:
“Terima kasih sudah membawa kami, Kasim.”
ADVERTISEMENT
Ia menyangka sedang berhalusinasi. Tapi kemudian, ketika ia menyentuh dinding rumahnya sendiri, tangannya tembus. Ia melihat jantung rumahnya: sebuah jam tua, satu-satunya peninggalan ibunya, berdetak di udara, telanjang dan rentan.
Di luar rumah, tanah mendidih. Bukan api, bukan lava, tapi kenangan. Kasim melihat potongan-potongan waktu memancar dari celah tanah: pesta dansa para nyonya Belanda di Gedung Harmoni, kereta kuda yang menabrak becak di Tanah Abang, anak-anak Melayu bermain kelereng di halaman masjid tua, dan seseorang yang bisa jadi ayahnya sendiri sedang mencatat sesuatu di buku lusuh sambil berkata:
Hari itu, jalur trem terakhir hendak diresmikan. Jajaran pejabat Hindia-Belanda, para meneer, noni, pastor, dan bahkan pemuka masyarakat lokal diundang. Genderang ditabuh. Umbul-umbul dikerek. Seekor kuda Belgia disiapkan menarik kereta pertama melewati rel yang membelah Glodok hingga Molenvliet.
ADVERTISEMENT
Kasim berdiri di antara kerumunan, dengan punggung membungkuk seperti gunung yang terlalu lama menyangga langit. Ia tahu: saat kereta itu lewat, kota akan pecah. Bukan karena keretanya, tapi karena sejarah sudah jenuh ditindih. Ada batas di mana luka berhenti bersabar.
Ia melangkah ke tengah rel.
Semua orang menoleh.
“Kasim, minggir!” teriak seseorang.
Tapi Kasim hanya menunduk. Ia seperti hendak mencium tanah, atau mungkin membisikkan sesuatu ke dalamnya.
“Kita sudah cukup diam,” katanya pelan.
Tanah mulai gemetar. Bukan gempa, tapi sesuatu yang lebih purba. Seperti tarikan napas terakhir dari nenek moyang yang sudah terlalu lama dikurung dalam nama jalan dan prasasti berbahasa asing.
Rel trem itu patah.
Kuda Belgia yang hendak ditunggangi Gubernur Jenderal meringkik dan menolak melangkah.
ADVERTISEMENT
Dan dari balik tanah, sesuatu muncul.
Bukan monster. Bukan hantu. Tapi kota. Kota lama. Kota yang terlupakan. Batavia yang asli, yang bukan hanya Belanda, tapi juga Betawi, Melayu, Arab, Jawa, Cina, dan siapa pun yang pernah meneteskan keringatnya ke tanah ini.
Kasim roboh.
Punggungnya benar-benar patah.
Orang-orang membopongnya, tapi tanah menolak dilepaskan. Ia sudah menjadi bagian dari kota itu. Seperti akar. Seperti fondasi tak kasat mata. Seperti kenangan yang tak pernah selesai diucapkan.
Di ujung hayatnya, Kasim berkata kepada seorang anak kecil yang menangis melihatnya:
“Nak, kalau kau besar nanti, jangan cuma cari yang baru. Ingat juga yang pernah ada.”
“Yang pernah ada?” tanya si anak.
“Iya,” jawab Kasim. “Yang pernah mengangkat kota ini, sebelum kau tahu ia punya nama.”
ADVERTISEMENT
Dan ia tersenyum, seperti seseorang yang akhirnya dibebaskan dari tugas seumur hidupnya.
Kota kembali diam. Tapi diam yang berbeda.
Rel trem tetap dibangun, tapi sekarang harus bernegosiasi dengan tanah. Kadang rel itu berbelok tak masuk akal, hanya untuk menghindari sebongkah batu nisan atau sebatang pohon tua yang menolak dicabut. Para meneer kesal. Tapi rakyat menyebutnya: kompromi.
Di pojok kota, dekat jembatan tua yang dulu hampir runtuh karena digali terlalu dalam, ada sebuah tugu kecil. Tak ada nama. Hanya ukiran punggung membungkuk yang mengangkat bayangan kota.
“Siapa ini?” tanya turis Belanda bertopi lebar.
“Ah,” kata pemandu lokal sambil nyengir. “Itu yang dulu memanggul kota sendirian.”
“Nama dia?”
“Tidak penting,” katanya. “Yang penting, kota ini akhirnya tahu siapa yang selama ini menyangga semua yang ingin dilupakan.”
ADVERTISEMENT
Dan Batavia? Ia tetap Batavia. Meski kelak diubah namanya menjadi Jakarta, meski dibangun jalan tol, gedung pencakar langit, dan jalur MRT, kota itu tetap menyimpan satu bagian yang tak bisa diaspal: suara punggung Kasim yang patah, tapi tak pernah putus.
Kota itu, mau modern atau tidak, akan selalu ingat bahwa pernah ada lelaki yang memanggul seluruhnya, demi memastikan sejarah tak tertimbun semen.
Dan kadang, di malam-malam tertentu, jika kau berjalan pelan melewati Glodok dan mendengar suara tanah berderit pelan, jangan takut. Itu bukan hantu. Itu kota yang sedang berganti posisi di punggung seseorang yang belum sepenuhnya istirahat.