Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Nakba: Pembersihan Etnis Palestina dan Ambisi Zionisme
18 Mei 2021 15:09 WIB
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Apa yang kita bayangkan dari negara dan bangsa Palestina sebelum peristiwa nahas tahun 1947-48? Apakah berupa tanah kosong yang diperebutkan sebagaimana narasi arusutama di media-media Barat?
ADVERTISEMENT
Kebun zaitun melintasi perbukitan yang menghiasi daratan dan pegunungan. Melewati desa dan kota-kota kecil, tumbuhan jeruk melintasi kawasan Yerusalem dan Jaffa. Palestina jelas bukanlah entitas kosong tidak berpenghuni.
Jauh sebelum peristiwa Nakba 1948, Palestina mandiri secara ekonomi. Memiliki sistem transportasi seperti kereta yang menghubungkan Yerusalem ke Damaskus, dan Haifa menuju kota-kota kecil dan daerah pantai Palestina. Haifa menjadi kota yang sibuk menyambut kapal-kapal yang menyeberangi Mediterania untuk kepentingan perdagangan. Identitas dan kebudayaan bangsa Palestina tercermin dalam tiap-tiap kota dan desa di sana.
Nakba sendiri secara harafiah berarti “bencana”. Istilah ini disematkan sebagai tragedi pembersihan etnis Palestina pada 1948 yang dilakukan oleh milisi Zionis: Irgun dan Haganah. Kedua milisi ini nantinya akan menjadi basis militer Israel, yang disebut Israel Defense Forces (IDF).
ADVERTISEMENT
Politik apartheid yang dilakukan Zionis ini tidak hanya mengusir orang-orang Palestina dari tanahnya, melainkan juga identitas, budaya, dan sejarahnya. Nakba menjadi peristiwa yang memilukan karena secara keji orang-orang Palestina dirampas kehidupannya.
Plan Dalet, yang kemudian disebut sebagai Plan D, adalah inisiatif Haganah untuk mengambil paksa semua area yang mereka peruntukkan untuk komunitas Yahudi. Haganah memiliki beberapa brigade yang masing-masingnya ditugaskan untuk menduduki tiap-tiap desa hingga membawa kehancuran total. Mereka menghancurkan rumah, sekolah, hingga rumah sakit hingga tidak ada tempat bagi orang-orang Palestina untuk kembali.
Zionis berupaya membangun narasi baru untuk memutus ingatan generasi selanjutnya terhadap peristiwa Nakba dan sejarah kebudayaan Palestina sebelum penjajahan. Teddy Katz, seorang mahasiswa Israel di Universitas Haifa menulis tesis magisternya pada 1998 dengan mengambil studi kasus pembantaian kelompok Zionis di desa Tantoura. Studi Katz memperlihatkan bukti empirik terjadinya pembantaian massal terhadap warga Palestina di sana: milisi Zionis mengeksekusi laki-laki, perempuan, dan anak-anak tanpa alasan yang jelas.
ADVERTISEMENT
Semua orang di desa Tantoura di bawa ke sebuah pemakaman, dan memaksa mereka untuk menggali kuburan. Setiap lubang yang selesai digali, milisi Zionis menembak mereka hingga jatuh ke lubang yang telah digali sendiri. Anak-anak Tantoura dipaksa untuk menyaksikan secara langsung orang tua mereka diberondong senjata tajam hingga tewas.
Temuan dari riset Katz justru berujung kecaman dan penyensoran dari pemerintah Israel. Katz dihukum oleh universitasnya dan digugat oleh veteran Haganah. Catatan dan hasil penelitiannya dihapus dari semua perpustakaan. Tindakan pemerintah Israel terhadap Katz bukanlah satu-satunya. Para sejarawan pro-Palestina sudah sejak lama mengalami penyensoran dan dakwaan bahwa hasil penelitian mereka subjektif belaka.
Upaya untuk membangun narasi Israel dilakukan dengan mengawasi tindakan orang-orang Palestina dan mengekang hak-hak sipilnya. Saya telah menjelaskan dalam tulisan sebelumnya, bahwa media-media Barat menghasilkan produk jurnalistik yang pro-Israel, bias informasi, dan membangun narasi baru untuk membenarkan tindakan milisi Zionis terhadap Palestina. Policy brief Al-Shabaka, sebuah lembaga pemikir yang memperjuangkan hak-hak kemanusiaan Palestina, melaporkan bagaimana hak-hak digital warga Palestina dikekang dan mereka yang melancarkan protes dipenjara oleh pemerintah Israel.
ADVERTISEMENT
Israel juga melarang peringatan Nakba. Mereka memperkenalkan Undang-Undang tentang Nakba tahun 2011 yang memberi wewenang kepada negara untuk menahan dana dari lembaga publik mana pun yang turut mengenang peristiwa Nakba. Zionis berupaya untuk membangun narasi bahwa Palestina adalah “tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah”. Narasi yang seolah membenarkan tindakan Zionis untuk mengambil alih tanah Palestina dan menutup kekejaman yang telah mereka lakukan. Menghapus Nakba adalah komponen kunci dari Israel agar warga Palestina tidak mendapatkan hak untuk kembali diakui secara internasional.
Ambisi Zionisme
Berdirinya negara Israel tidak lepas dari proyek sekaligus ambisi Zionisme yang muncul pada perempat akhir abad ke-19. Zionisme bukanlah “kerinduan kembali pada Zion” –wilayah di mana Yerusalem didirikan, –melainkan sebuah paham dan gerakan politik yang memeluk erat chauvinisme dan rasisme. Bahkan mereka rela menjilat negara-negara imperialis di dunia untuk melancarkan ambisinya. Tidak mengherankan jika pada awal 1940-an, pasukan milisi Zionis dipersenjatai sekaligus menerima pelatihan militer dari imperialis Inggris. Zionis telah bersekutu dengan kekuatan-kekuatan imperialisme dunia.
ADVERTISEMENT
Theodor Herzl, seorang jurnalis asal Austria pada 1986 menerbitkan The State of the Jewish, yang kemudian menjadi manifesto politik bagi gerakan Zionis. Ambisi Zionis tertuang dalam apa yang ditulis Herzl dalam tulisannya tersebut: “Orang yang tidak berpikir mungkin, misalnya, membayangkan bahwa eksodus ini harus mengambil jalannya dari peradaban ke padang gurun. Tidak begitu! Itu akan dilakukan seluruhnya dalam kerangka peradaban.
Kita tidak akan kembali ke tingkat yang lebih rendah, kita akan naik ke tingkat yang lebih tinggi. Kami tidak akan tinggal di gubuk lumpur; kita akan membangun rumah baru, dan lebih indah, lebih modern, dan memilikinya dengan aman…. Kita harus di sana membentuk bagian dari tembok pertahanan untuk Eropa di Asia, sebuah pos peradaban terdepan melawan barbarisme…. [Eropa] harus menjamin keberadaan kami.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan Herzl menunjukkan dasar-dasar yang menjadi amibisi Zionisme. Untuk mengangkat peradaban kaum Yahudi, dibutuhkan negara Yahudi yang mewakili kaum Yahudi di seluruh dunia. Ambisi ini berimplikasi pada pengakuan terhadap kaum Yahudi tidak lagi berkaitan dengan di mana mereka lahir, melainkan legitimasi politik melalui sebuah negara itu sendiri. Yahudi bukan sekadar ekspresi keagamaan maupun kebudayaan Ibrani, melainkan dianggap sebagai negara-bangsa. Tentu klaim ini juga tidak sepenuhnya disepakati secara bulat di kalangan kaum Yahudi sendiri.
Di sisi lain, ambisi untuk “naik ke tingkat yang lebih tinggi” sebagaimana dikatakan Herzl tidak lepas dari penderitaan Yahudi di tengah kuatnya anti-semitisme di Eropa. Di bawah kekaisaran Tsar Rusia, pogrom – tindakan penghancuran secara keji – dialami kaum Yahudi. Pada mulanya, ada keinginan untuk melakukan asimilasi agar kaum Yahudi memiliki posisi setara dengan etnis lainnya. Herzl melihat persidangan di Prancis yang menghukum Kapten Alfred Dreyfus (perwira militer Yahudi) tahun 1894 secara tidak adil menganggap asimiliasi tidak akan membuat kaum Yahudi tetap aman. Itulah mengapa bagi Herzl, diperlukan negara yang berdaulat.
ADVERTISEMENT
Ambisi negara Yahudi ini berimplikasi pada kebutuhan atas tanah: karena sebuah negara berdiri di atas tanah yang sah dan diakui. Herzl mengatakan, “Eropa harus menjamin keberadaan kami” berbuah pada upaya gerakan Zionisme untuk melobi bahkan menjilat kekuatan imperialisme dunia. Ketika kekuatan milisi Zionis terbentuk di bawah kekuatan imperialis, singkat cerita, sepanjang 1947-48 mereka melancarkan aksi pembersihan etnis dengan kejam di atas tanah Palestina. Kemudian mendirikan negara Israel pada tahun 1948. Mereka telah melakukan pogrom di atas tanah Palestina.
Mengembalikan Ingatan Nakba
Herzl berambisi untuk membentuk negara penjajah. Itu sangat jelas. Herzl sendiri pada mulanya mempertimbangkan beberapa wilayah untuk dijajah selain Palestina: Argentina, Uganda, Siprus, dan bahkan beberapa negara bagian di Midwest Amerika Serikat. Namun, kuatnya faksi agama dalam kelompok Zionis membuat perhatian penjajahan kepada Palestina yang mereka anggap sebagai “tanah air” bagi Yahudi kuno.
ADVERTISEMENT
Menjadi jelas bahwa konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan ini adalah ambisi penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina. Bahkan ambisi mereka adalah menghabisi seluruh orang Palestina tanpa tersisa sedikitpun. Dengan demikian, mereka yang mendaku berposisi netral, secara tidak langsung ikut berkontribusi dalam melegitimasi penjajahan dan kejahatan.
Agar tidak ada lagi yang bersikap denial, peristiwa Nakba harus terus dikenang. Nakba adalah bukti kekejaman sekaligus kejahatan terhadap warga Palestina yang tidak berdosa. Itulah mengapa narasi tentang Nakba harus terus digaungkan, untuk memberitahu generasi-generasi baru tentang sejarah yang berusaha disensor. Ingatan tentang nakba menjadi bukti otentik bahwa Palestina (termasuk Hamas) bukanlah teroris sebagaimana yang diklaim, melainkan Zionislah yang menjadi teroris sesungguhnya.
Tulisan ini dirangkum dari Esai yang ditulis Sumaya Awad & Annie Levin, aktivis kiri pro-Palestina di Amerika Serikat dengan judul asli: “Roots of the Nakba: Zionist Settler Colonialism”. Esai tersebut menjadi salah satu bab dalam buku berjudul “Palestine: A Socialist Introduction”.
ADVERTISEMENT