Konten dari Pengguna

Cuti Melahirkan: Mengubah Paradigma dari "Cuti Ayah" Menjadi "Cuti Keluarga"

Gregorius B Prajogi
Dokter spesialis, orangtua anak neurodivergent, pemerhati masalah kanker dan kebijakan kesehatan
17 Desember 2024 18:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gregorius B Prajogi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Cuti Melahirkan dan Kesetaraan Gender

ADVERTISEMENT
Masalah kesetaraan gender di tempat kerja masih menjadi tantangan besar bagi perempuan, terutama bagi mereka yang baru saja menjadi ibu. Data dari Indonesia Family Life Survey yang dilaporkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa hingga enam tahun setelah melahirkan, perempuan Indonesia lebih cenderung berhenti bekerja dibandingkan laki-laki. Fenomena ini mencerminkan bagaimana peran tradisional perempuan sebagai pengasuh utama masih mendominasi, menyebabkan diskriminasi dalam dunia kerja. International Labour Organization (ILO) juga mencatat adanya perilaku diskriminatif di berbagai negara, seperti membatasi rekrutmen pekerja perempuan usia subur atau memasukkan klausul larangan hamil selama masa kontrak. Produktivitas pekerja perempuan usia subur seringkali dianggap lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki karena adanya kewajiban perusahaan memberikan cuti melahirkan. Disparitas ini menyebabkan ketidaksetaraan gender dalam kesempatan kerja, penghasilan, dan perkembangan karir.
ADVERTISEMENT

"Cuti Melahirkan" dan "Cuti Ayah"

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (KIA) mencakup beberapa perubahan penting terkait hak cuti bagi pekerja perempuan dan laki-laki di Indonesia. Bagi pekerja perempuan, UU ini memberikan hak cuti melahirkan paling singkat selama tiga bulan pertama, dan dapat diperpanjang hingga tiga bulan tambahan jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Selain itu, pekerja perempuan yang mengalami keguguran berhak mendapatkan waktu istirahat selama satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan medis dari dokter kandungan atau bidan. Pekerja laki-laki diberikan hak cuti pendampingan istri selama dua hari pada masa persalinan, yang dapat diperpanjang hingga tiga hari tambahan atau sesuai kesepakatan, serta cuti dua hari untuk mendampingi istri yang mengalami keguguran.
ADVERTISEMENT
Saat ini, regulasi cuti bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sedang dalam pembahasan. Pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen ASN sebagai aturan pelaksana dari UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN. Selain mengatur cuti melahirkan bagi ASN perempuan yang melahirkan, RPP ini juga mengatur cuti bagi ASN laki-laki yang mendampingi istrinya saat persalinan.
Meskipun undang-undang yang ada sudah mengatur hak-hak cuti melahirkan dan pendampingan istri, masih ada ruang untuk perbaikan lebih lanjut. Pengaturan kebijakan yang cenderung berfokus pada kelahiran dan pendampingan masih menunjukkan pandangan patriarkat, yang menempatkan tanggung jawab perawatan anak pada pundak ibu. Bagi 49,53% perempuan Indonesia, yang bekerja sebagai tenaga profesional, tentunya hal ini menempatkan beban ekstra dibandingkan pekerja laki-laki sebayanya.
ADVERTISEMENT
Diskusi terkait cuti melahirkan dan cuti pendampingan akhir-akhir ini cenderung berpusat pada penyediaan cuti bagi pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan, dan berapa durasi cuti yang dianggap tepat. Cukup menarik memang bahwa "Cuti Ayah" seringkali dipandang negatif sebagai memberi manfaat tambahan pada suami tanpa manfaat bagi istri. Tidak bisa disangkal bahwa masyarakat Indonesia memang masih patriarkat, sehingga waktu tambahan yang diperoleh oleh ayah belum tentu akan digunakan untuk pengasuhan anak. Namun demikian perlu disadari bahwa selain dikotomi "Cuti Ayah" dan "Cuti Ibu" sebenarnya terdapat pula opsi yang lebih akomodatif, yaitu "Cuti Orangtua" atau Shared Parental Leave. Selama periode cuti orangtua ini, ayah dan ibu dapat bergantian menjalankan karir dan pengasuhan anak sehingga memberi dampak dan kesetaraan yang lebih nyata dibandingkan cuti ayah. Pendekatan cuti orangtua juga mengangkat sudut pandang keluarga sebagai sebuah kesatuan, dan memberi kesempatan bagi suami dan istri untuk mencari solusi terbaik dalam menyeimbangkan antara karir dan tanggung jawab rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Karir dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama. Foto: Shutterstock

Shared Parental Leave

Pada tahun 1974, Swedia menggantikan cuti melahirkan khusus ibu dengan cuti orang tua selama 6 bulan, memungkinkan kedua orang tua untuk mengambil cuti guna merawat anak mereka. Pekerja laki-laki dan pekerja perempuan mendapat alokasi bergiliran, masing-masing 3 bulan dalam periode tersebut, dengan tujuan untuk mendorong kontribusi setara dalam pengasuhan anak bagi pekerja laki-laki dan memberi kesempatan karir setara bagi pekerja perempuan. Kebijakan serupa diterapkan pula di Kanada, dengan durasi 40 minggu yang dapat diambil bergantian mulai dari akhir cuti melahirkan (15 minggu wajib) hingga anak berusia 1 tahun. Dibuka opsi untuk berbagi manfaat ini namun satu orang tua tidak dapat menerima lebih dari 35 minggu manfaat standar. Dalam penetuan manfaat cuti orangtua, Kanada tidak membedakan apakah cuti orangtua tersebut diambil oleh pihak pekerja laki-laki atau pekerja perempuan.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya Kanada, Austria menerapkan periode cuti melahirkan wajib (Mutterschutz) dan cuti orangtua (Elternkarenz). Pasca cuti melahirkan selama 8 minggu, setiap orang tua berhak atas minimal dua bulan cuti yang tidak dapat dialihkan hingga usia anak 2 tahun. Begitu pula dengan Inggris yang menerapkan kebijakan cuti orangtua (Shared Parental Leave) setelah cuti melahirkan (Maternity Leave).

Benarkah Merugikan?

Salah satu kritik yang sering diajukan di media nasional terkait cuti orangtua adalah terkait kewajiban perusahaan membayar gaji selama "Cuti Ayah". Kewajiban perusahaan membayar gaji penuh bagi pekerja laki-laki selama periode cuti dipandang sebagai sesuatu yang merugikan perusahaan, sehingga berpotensi pemutusan hubungan kerja dengan dampak yang besar terhadap perekonomian. Sudut pandang ini sangat menarik, karena menunjukkan benih kesadaran dari sebuah masyarakat patriarkat terhadap masalah yang selama ini harus dianggap wajar oleh 8.6 juta pekerja perempuan Indonesia yang terpaksa berhenti bekerja setelah berkeluarga.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem cuti orangtua yang diterapkan di berbagai negara, sebenarnya dapat ditemukan pola yang umum: cuti melahirkan bersifat wajib dengan gaji penuh bagi ibu, sedangkan cuti orangtua bersifat fleksibel dengan gaji parsial (misalnya di Kanada) atau sebagai unpaid leave dengan jaminan sosial dari pemerintah. Dengan kata lain, cuti orangtua merupakan bentuk kehadiran negara dan bukan beban bagi perusahaan. Cuti orangtua di negara-negara yang menerapkan sistem tersebut telah terbukti pula meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, sehingga berdampak positif terhadap produktivitas masyarakat secara keseluruhan. Mengapa harus menunggu peningkatan jumlah angkatan kerja di tahun 2045 jika jumlah angkatan kerja bisa kita tingkatkan sekarang juga melalui partisipasi perempuan?

Cuti Orangtua bagi Keluarga Indonesia

Kebijakan cuti orang tua yang komprehensif dan adil sangat penting untuk mendukung kesetaraan gender di tempat kerja dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Melalui penerapan kebijakan yang berkeadilan dan fleksibel seperti yang dicontohkan oleh beberapa negara lain, Indonesia dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, mendukung karir ibu, dan memastikan kesejahteraan keluarga yang lebih baik. Tentunya berbagai kebijakan tersebut tetap harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia, namun kebijakan yang tepat akan berdampak positif terhadap partisipasi perempuan dalam angkatan kerja sehingga mendukung masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh keluarga di Indonesia.
ADVERTISEMENT