Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Cerita Perjalanan 2 Pasang Elang Bondol untuk 'Kembali Pulang'
8 Agustus 2019 0:20 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelepasliaran kembali empat ekor Elang Bondol di Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), oleh Ibu Iriana Jokowi dan Ibu Mufidah Kalla, Rabu (7/8), merupakan salah satu rangkaian puncak acara peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2019 yang berlangsung pada 5-8 Agustus 2019. Baca juga: Jambore Nasional HKAN 2019 Berlangsung di Batam . Dengan tujuan meningkatkan fungsi ekologi kawasan setempat. Keempat ekor elang diberi nama: Leo, Ela, Malabar, dan Seujah.
ADVERTISEMENT
Nah, kalian jangan heran, kalau melihat nama-nama mereka, Sunda banget. Wajar saja, karena mereka 'kan direhabilitasinya di daerah Jawa Barat. Jadi, ada histori tersendiri. Cukup panjang perjalanan yang harus dilalui dua pasang Elang Bondol tersebut hingga bisa dilepasliarkan kembali ke rumah, habitatnya di alam liar. Setidaknya, Leo membutuhkan waktu tiga tahun sejak kedatangannya di Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK), Garut, Jawa Barat.
Elang Bondol (Haliastur indus) merupakan salah satu jenis elang yang cukup umum. Persebarannya cukup luas. Mulai dari India hingga Australia. Elang Bondol biasa memakan ikan. Tubuhnya memiliki ukuran sekitar 50 sentimeter (cm) dengan bentangan sayap sekitar 125 cm. Ibu kota negara Indonesia, Jakarta, menjadikannya sebagai simbol. Tidak heran jika Elang Bondol cukup dikenal banyak orang.
ADVERTISEMENT
Walaupun cukup umum, bukan berarti keberadaan mereka aman. Tingginya perburuan dan penangkapan Elang Bondol untuk dijadikan peliharaan membuat keberadaannya di Pulau Jawa mulai langka.
Zaeni Rakhman dari PKEK menceritakan, masing-masing empat Elang Bondol tersebut memiliki kisahnya tersendiri. Termasuk perjalanan yang harus ditempuh Leo, Ela, Malabar, dan Seujah hingga tiba di TWA Muka Kuning.
“Kedua pasang Elang Bondol tersebut, telah menjalankan proses rehabilitasi antara 490–885 hari. Selama proses tersebut, mereka diperiksa dan ditangani secara medis hingga dinyatakan sehat bebas dari penyakit. Kemudian selanjutnya memulihkan kembali perilaku alami mereka, seperti meningkatkan kemampuan terbang hingga berburu. Sampai sifat-sifat asli mereka berkembang kembali dan dinyatakan layak untuk dilepasliarkan,” cerita Zaeni Rakhman di TWA Muka Kuning.
Menurut Zaeni Rakhman, sebelum Leo dengan pasangannya, Ela; dan Malabar dengan pasangannya, Seujah, dilepasliarkan di TWA Muka Kuning, ada proses lain yang wajib dijalani kedua pasangan Elang Bondol tersebut, yaitu habituasi dan adaptasi. Apalagi cuaca dan suhu di Kamojang dengan Batam berbeda. Di Kamojang dingin dan sejuk, sedangkan Batam memiliki cuaca yang cukup panas.
Leo, sang jantannya Ela, tiba di PKEK pada 27 Februari 2017. Diserahkan langsung oleh warga melalui BKSDA Jawa Barat, Bidang III Ciamis. Leo menjalani masa rehabilitasi selama 855 hari. Saat datang, usianya masih muda, sekitar 2,5 tahun. Sedangkan Ela, datang pada 29 Maret 2018. Usianya juga masih muda saat itu. Masa rehabilitasinya 490 hari.
Nah, kalau Malabar, si jantan pasangannya Seujah, datang di PKEK tanggal 27 Nvember 2017. Diserahkan langsung oleh salah seorang warga Bandung. Usianya saat itu sekitar tiga tahun. Menjalani masa rehabilitasi 614 hari. Sedangkan Seujah, juga sama, serahan warga Bandung pada 20 Februari 2018. Usianya sama dengan Malabar, tiga tahun. Masa rehabilitasinya 527 hari.
Menurut Zaeni Rakhman, beberapa hari sebelum dilepasliarkan, yaitu pada Selasa (30/7), ia tiba di Batam untuk melihat lokasi penanaman mangrove dan rencana tempat pelepasliaran kembali Leo, Ela, Malabar, dan Seujah. Karena memang salah satu habitat mereka adalah kawasan pinggiran pantai. Termasuk hutan mangrove tentunya.
ADVERTISEMENT
“Setelah saya melakukan rapid assessment, ternyata mangrove di sana belum ada tegakkan pohon cukup besar yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai pohon sarang atau naungan,” kata Zaeni Rakhman.
Melihat hal tersebut, menurutnya pemilihan lokasi TWA Muka Kuning, justru lebih baik dan tepat. Dengan tiga alasan penting, yaitu:
Cerita lainnya yang juga menarik dari perjalanan Leo, Ela, Malabar, dan Seujah, yaitu ketika membawanya dari Kamojang menuju Batam. Menurut Zaeni Rakhman, mereka berangkat menggunakan pesawat dari Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, pada Sabtu (3/8). Begitu tiba, karena dibawa dari wilayah yang tinggi ke tempat yang rendah, mereka otomatis perlu adaptasi dengan lingkungan sekitar. Utamanya dari aspek suhu, kelembapan, dan sebagainya. Karenanya, keempatnya dimasukkan dalam kandang habituasi.
ADVERTISEMENT
“Salah satu kendalanya yaitu, ketika dari empat Elang Bondol tersebut, ada satu yang drop. Mulai terjadi sejak penerbangan. Agak sedikit drop. Kemudian, kami berikan multivitamin. Termasuk yang tidak drop juga. Itu disebabkan karena harus menempuh perjalanan yang cukup jauh,” ungkap Zaini Rakhman.
Menurut Zaini Rakhman, dua pasang Elang Bondol ini meninggalkan PKEK di Kamojang menuju Kertajati, Majalengka, sejak Jumat malam (2/8). Jadi, cukup lama sekitar seharian, mereka berada di dalam kotak yang tidak terlalu besar. Tingkat stresnya pun jadi cukup tinggi. Hal tersebutlah yang menyebabkan salah satunya sedikit drop.
“Itulah sebabnya, tadi ketika Ibu Iriana dan Ibu Mufidah melepasliarkannya, yang satu tertinggal di kandang sementara atau agak terakhir terbangnya. Yaitu di Seujah, pasangannya Malabar,” kata Zaini Rakhman.
ADVERTISEMENT
Tetapi beberapa saat setelah di lepas, menurut Zaini Rakhman, si Seujah sudah terbang dan berputar-putar di atas waduk Muka Kuning dan hutan sekitarnya.
“Setelah dilepasliarkan, keempatnya akan dipantau sekitar dua pekan. Sore ini saja, sudah terlihat ada yang terbang sekitar 500 meter dari titik pelepasan. Ada juga yang 300 meter dan 200 meter serta berputar-putar saja di sekitar situ. Memang, biasanya 3 hari pertama, mereka akan eksplorasi dulu. Lalu baru kemudian akan memilih lokasi, kira-kira di mana gitu yang cocok,” tambah Zaini Rakhman.
Melihat perjalanan Leo, Ela, Malabar, dan Seujah yang cukup panjang untuk bisa kembali pulang pada habitatnya yang alami, memang sangat menarik. Mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Jadi, dari sini, kita bisa tahu, merilis mereka kembali adalah jalan yang paling terbaik. Termasuk dengan satwa lain tentunya. Mereka semua, para satwa tersebut kembali ke rumah mereka. Karena, sejatinya memang tidak ada kata seindah rumah. Termasuk satwa-satwa tersebut.
ADVERTISEMENT