Kisah Dita, Gajah yang Mati Usai Bertahan Hidup 5 Tahun dengan 3 Kaki

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2019 21:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gajah 'Dita" ditemukan mati mengenaskan di kubangan dalam kondisi membusuk. Foto: BBKSDA Riau
zoom-in-whitePerbesar
Gajah 'Dita" ditemukan mati mengenaskan di kubangan dalam kondisi membusuk. Foto: BBKSDA Riau
ADVERTISEMENT
Setelah bertahan sekitar 5 tahun, dalam kondisi kaki kiri buntung akibat terkena jerat pemburu pada 2014, akhirnya perjalanan hidup Dita, sang Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrensis) liar berakhir tragis. Ia ditemukan mati membusuk pada 7 Oktober 2019. Terjerembab di kubangan dalam usia 25 tahun.
ADVERTISEMENT
Cerita tersebut dikonfirmasi langsung oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, yang selama ini secara maksimal terus menerus me-monitoring keadaan Dita di SM Raja.
Kabar kematian Dita berawal dari laporan masyarakat yang diterima BBKSDA Riau, pada 7 Oktober 2019. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga, diketahui mempunyai ciri-ciri: jenis kelamin betina, usia 25 tahun, cacat kaki kiri depan (tidak ada telapak kaki) dan tidak mempunyai gading. Walaupun saat ditemukan tidak ditemukan adanya luka bekas benda tajam lain dan kekerasan fisik, namun kondisinya telah membusuk dengan isi perut sudah keluar.
Menurut Kepala BBKSDA Riau, Suharyono, berdasarkan ciri-ciri fisik tersebut, dapat dipastikan kalau itu Dita, anggota kelompok kecil Gajah liar di Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. “Dita diperkirakan telah mati 5 hari sebelum ditemukan bangkainya oleh warga. Dari hasil nekropsi yang dilakukan oleh Tim Medis BBKSDA Riau, pada 8 Oktober 2019, secara umum menunjukkan penyebab kematian ‘Dita’ adalah Septikemia/Sepsis (peradangan di seluruh tubuh karena infeksi). Sebagai informasi, Dita merupakan bagian dari 7 ekor Gajah liar yang ada di SM Balai Raja,” kata Suharyono melalui pesan WhatsApp.
ADVERTISEMENT
Sebelum ditemukan mati mengenaskan, sejak ditemukan pertama kali dengan kaki kiri depan buntung pada 2014, berbagai upaya medis telah dilakukan oleh BBKSDA Riau bersama dengan Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) dan Himpunan Penggiat Alam (HIPAM) Divisi Konservasi Gajah.
Perjalanan Hidup ‘Dita’: 2014 – 2019
Ada kisah menarik sekaligus mengharukan selama lima tahun perjalanan hidup 'Dita’ semenjak ditemukan dalam kondisi kaki depan kiri buntung. Hal tersebut diceritakan oleh Kepala Bidang Wilayah I BBKSDA Riau, Heru Sutmantoro.
Gajah 'Dita' semasa hidup saat dilakukan pengobatan, 2017. Foto: BBKSDA Riau
Dita sebenarnya merupakan salah satu individu dari bagian kelompok Gajah Sumatera di Santong Balai Raja–Giam Siak Kecil. Jadi, dulu sebelum tahun 2015, kelompok gajah ini, jumlahnya sekitar 50 ekor. Rute perjalanan mereka sehari-hari yaitu SM Balai Raja–SM PLG Sebanga, dan SM Giam Siak Lecil, kita-kira hingga menempuh 50-70 kilometer. Selama siklus hidupnya, mereka terus akan berputar-putar melewati rute tersebut. Karena memang merupakan jelajah tradisional Gajah Sumatera di SM Balai Raja dan SM Giam Siak Kecil.
ADVERTISEMENT
Kemudian seiring perjalanan waktu, akibat semakin habitat yang terfragmentasi, seperti munculnya permukiman, perkebunan sawit, dan hutan tanaman industri (HTI), menyebabkan mereka kesulitan untuk bermigrasi lokal dari Balai Raja ke Giam Siak Kecil. Akhirnya mereka terpecah menjadi 2-3 kelompok.
“Nah, kemungkinan kelompok Dita cs, saat itu berada di Balai Raja. Karena, kesulitan untuk kembali ke Giam Siak Kecil, akhirnya Dita cs menetap di SM Balai Raja,” cerita Heru melalui sambungan ponsel.
“Sampai kemudian, pada 2014, kelompok kecil di SM Balai Raja tersebut, salah satu anggotanya Dita terkena jerat,” lanjut Heru.
Hal tersebut diketahui oleh petugas di lapangan. Mereka melihat Dita berjalannya tertatih-tatih. Kemudian, diketahui, kalau kaki kiri depannya terluka akibat terkena jerat. Kemudian, dilakukanlah pengobatan pada luka tersebut. Karena, ternyata lukanya sudah membusuk, sehingga harus diamputasi. Pembusukan terjadi karena diperkirakan luka akibat jerat tersebut sudah berlangsung cukup lama. Pasca-amputasi, kondisinya terus dalam monitoring BBKSDA Riau.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data, dejak ditemukan dalam keadaan luka, pada 2014, Dita menjadi prioritas dan dalam monitoring tim BBKSDA Riau. Ada beberapa kali upaya medis yang dilakukan kepadanya, mulai 2014, 2015, 2016, 2017, dan terkhir 2018 melakukan dua kali pengobatan.
Gajah 'Dita' semasa hidup saat dilakukan pengobatan, 2017. Foto: BBKSDA Riau
Seruni dan Bara: Sahabat Pendamping Dita Semasa Hidup
Ada hal menarik lain tentang kehidupan Dita. Sebuah kisah persahabatan dia. Ternyata, Dita selama ini mempunyai sahabat, seekor Gajah betina juga yang bernama Seruni yang mempunyai anak seekor Gajah jantan bernama Bara yang sudah menginjak usia sekitar 10 tahun. Mereka berdualah yang kemudian selalu menemani Dita. Ke mana-mana, mereka selalu tolong-menolong. Sebagai Gajah jantan, selama ini, Bara sangat sigap membantu Dita di lapangan. Bara selalu siap mendorong tubuh Dita untuk membantunya saat kesulitan untuk berjalan. Sebenarnya, tidak hanya Bara. Seruni juga turut menolongnya. Mereka terlihat sangat kompak.
ADVERTISEMENT
“Waktu melihat salah satu rekaman video mereka, saya merasa sangat terenyuh. Betapa kompaknya mereka. Seruni dan anaknya, Bara, istilahnya sudah menjadi soulmate-nya Dita. Sangat perhatian dengan nasibnya Dita,” kata Heru.
Selama dalam pengawasan, Tim BBKSDA Riau beberapa kali melakukan pengobatan. Seperti, ketika Dita kondisinya lemah dan hampir tidak bisa jalan. Dengan bantuan Vesswick, tim kemudian melakukan upaya medis.
“Beberapa kali, kita melakukan upaya pengobatan, karena kondisinya memang lemah. Kemungkinan karena pengaruh bekas luka jerat. Sebagaimana kita ketahui, aktivitas gerak Gajah itu ditopang oleh kaki,” tambah Heru.
Sekitar akhir 2017, Bara dinyatakan mulai masuk masa remaja. Kemudian, ia harus keluar dari kelompok kecil tersebut. Karena, memang dalam sejarahnya, seekor anak Gajah jantan, jika sudah menginjak masa remaja harus meninggalkan kelompoknya. Tetapi, setelahnya, Seruni melahirkan anak pada awal 2018.
Kaki kiri depan Gajah 'Dita' yang luka akibat jerat,, akhirnya diamputasi. Foto: BBKSDA Riau
Sepeninggal Bara dan Seruni yang kembali memiliki anak yang masih kecil, akhirnya Dita seperti kehilangan soulmate. Karena, Seruni sudah tidak dapat sepenuhnya mendampingi Dita. Jadi, Dita seperti kurang terurus. Sedangkan kondisi kakinya dalam keadaan cacat. Itu yang terjadi pada kelompok Dita.
ADVERTISEMENT
“Sebelum ditemukan mati, kita sempat mencari Dita. Karena kita kehilangan posisinya. Namun, terakhir kemarin, kita mendapat informasi kalau Dita ditemukan dalam kondisi mati membusuk di dalam kubangan,” kata Heru.
Setelah dilakukan pemeriksaan, dari hasil analisis medis, tidak ditemukan adanya keracunan, luka baru, atau kekerasan fisik terhadap Dita. Namun, berdasarkan sample organ dan sebagainya, karena efek dari luka akibat jerat ternyata telah menjalar. Sehingga ada beberapa saraf yang mungkin sudah tidak berfungsi lagi. Setelah selama ini tim terus me-monitoring Dita dan melakukan pengobatan. Namun, ternyata Dita sudah tidak bisa bertahan lagi. Kondisinya semakin lemah. Sampai akhirnya mati. Usai dilakukan pemeriksaan, akhirnya jasad Dita dikuburkan pada Rabu (9/10/2019).
“Sangat disayangkan kematian Dita, hasil pemeriksaan nekrosis, kematian disebabkan sepsis akibat luka jerat yang dulu. Tim BBKSDA Riau dan mitra sudah maksimal untuk berikan tindakan medis dan sesuai pertimbangan konservasi, Dita bisa tetap bersama kelompoknya,” kata Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
ADVERTISEMENT
Kisah kematian Gajah Dita, menjadi cerita kesekian yang harusnya membuat kita semakin menyadari, betapa mengerikannya dampak dari jerat. Sebelumnya, kita sudah beberapa kali mendapat informasi mengenai ditemukannya satwa-satwa liar dan dilindungi yang ditemukan dalam keadaan mati dalam kondisi mengenaskan karena terkena jerat. Seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Beruang Madu, dan lainnya.
Gajah 'Dita' semasa hidup saat dilakukan pengobatan, 2017. Foto: BBKSDA Riau
Begitu dahsyatnya efek yang ditimbulkan oleh jerat. Tidak heran, KLHK telah menyatakan perang terhadap jerat. Salah satunya dengan melakukan patroli sapu bersih jerat dan upaya penegakan hukum. Namun, tentu juga harus ada kerja sama dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Wiratno, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
“Saya menghimbau semua unsur masyarakat bahu-membahu membantu tim KSDAE saling mengingatkan untuk tidak pasang jerat,” kata Wiratno.
Selamat jalan Dita, kini kamu sudah tidak merasakan sakit lagi. Beristirahatlah dengan tenang. Semoga tidak ada jerat lagi yang akan membuat celaka dan kematian pada satwa-satwa liar lainnya.
Mari bersama kita jaga kelestarian dan menjaga keselamatan satwa-satwa liar dan dilindungi lainnya. Jangan sampai ada Dita-Dita lain yang harus menjadi korban. Bersama-sama kita nyatakan perang terhadap jerat.