Capek Nunggu Doang, Black Mirror Sama Parah Kayak Game of Thrones

Helinsa Rasputri
Bukan pecinta kopi
Konten dari Pengguna
13 Juni 2019 15:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helinsa Rasputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Episode 2 dari Season 2 Black Mirror: White Bear (dok. IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
Episode 2 dari Season 2 Black Mirror: White Bear (dok. IMDb)
ADVERTISEMENT
Tahun 2017 lalu, saya dikenalkan dengan serial televisi bertajuk "Black Mirror" oleh seorang teman kerja di kantor lama. Berbekal flashdisk yang sudah dikosongkan isinya, saya pun meng-copy sekian banyak episode "Black Mirror" untuk dihabiskan pada libur akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Kalimat pertama yang saya ucapkan ketika menonton Black Mirror pertama kali adalah, "Totally insane!''. Ya, saya yang mulai gumoh dengan tontonan berupa drama romantis komedi ala Korea dan film aksi Hollywood yang punya ritme saingan - jadi teman - menangkap musuh - jadian sama teman setim merasa punya warna baru dalam hidup.
Cara "Black Mirror" mengkritisi teknologi dikemas secara apik. Mulai dari teknologi yang biasa digunakan dalam keseharian hingga yang advance bisa saya temukan dari serial televisi yang satu ini.
Ditambah lagi aksen British yang ditampilkan di setiap adegan, bikin saya makin deg-degan sekaligus penasaran. Aksen bahasa yang klasik itu memang jauh lebih mampu menggugah hasrat saya ketimbang bahasa Inggris beraksen Amerika atau bahkan bahasa ibu sekalipun. Meskipun sampai sekarang, saya belum fasih hehehe.
Episode "Shut Up and Dance" dari Black Mirror Musim Ketiga (Dok. IMDb)
Karena itu, ketika seluruh episode yang saya punya sudah habis saya lahap, tentu saja saya kembali 'lapar' dengan episode baru. Kemudian "Black Mirror" hadirlah dalam balutan musim kelima.
ADVERTISEMENT
Sama seperti "Game of Thrones" yang butuh waktu dua tahun, "Black Mirror" juga tentu butuh waktu untuk mempersiapkan episode gila lainnya. Sayang, sama seperti "Game of Thrones" yang terkesan terburu-buru dalam menyelesaikan kisah, "Black Mirror" juga sama saja. Saya? Sama saja kecewanya.
Bagi saya, tiga episode musim kelima "Black Mirror" kehilangan sisi kelam. Twist-nya tidak semengejutkan episode sebelumnya. Terkesan kering dan kurang referensi. Apalagi episode tiga dalam musim kelimanya, yaitu "Rachel, Jack and Ashley Too" kurang dibekali dengan jalan cerita yang greget.
"Black Mirror" ibarat kekasih yang terlalu lama pergi.
Episode ketiga musim kelima, "Rachel, Jack and Ashley Too" (Dok. IMDb)
Mungkin alasannya demi mencari penghasilan yang baik demi masa depan yang cerah. Menuntut ilmu ke Negeri China, mencari kedamaian, ingin 'menemukan' jati diri, atau apapun itu.
ADVERTISEMENT
Terlihat penuh kepastian dan janji ketika pergi, sehingga sangat dinanti untuk kembali. Tapi saat ia datang, ia seakan bukan lagi dia. Mungkin karena bertemu seorang baru di sepanjang petualangannya, atau bisa saja karena ia menyadari ini jalan yang terbaik. Yang tentu saja enggak menjanjikan buat semua orang.
Karena itu, kali ini, saya dan Hesti kembali mengambil tempat sebagai 'tukang kritik' dan membuat review tentang Black Mirror musim kelima. Enjoy this podcast dan silakan tinggalkan jejak saran jika berkenan :)