Tantangan Krisis Iklim dan Solusi Pelestarian Lingkungan

Helenerius Ajo Leda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
11 Januari 2024 5:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helenerius Ajo Leda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto: canva
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Gerakan Sejuta Pohon yang diperingati setiap tanggal 10 Januari, menyoroti eskalasi kondisi iklim global yang semakin ekstrem. Dampak dari perubahan iklim, terutama peningkatan suhu bumi sebesar sepersepuluh derajat Celsius, merupakan hasil dari peningkatan emisi gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Badan Atmosfer dan Kelautan AS (NOAA) (Kompas, 2023) menunjukkan, emisi gas rumah kaca terus meningkat sejak tahun 2022 dan suhu Bumi kembali memecahkan rekor terpanas pada tahun 2023. Suhu bumi mengalami kenaikan rat-rata mencapai 1,5 derajat Celsius. Proyeksi menunjukkan kemungkinan lonjakan suhu yang lebih tinggi dalam beberapa minggu atau bulan mendatang di tahun 2024 (Kompas, 2023)
Aktivitas ekonomi manusia menjadi penyebab utama kenaikan emisi dan suhu bumi. Relasi yang bersifat trade-off antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup masih terus berlangsung. Akan tetapi, prioritas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi cenderung lebih dominan daripada usaha untuk perbaikan kualitas lingkungan yang berkelanjutan.
Beragam aktivitas ekonomi manusia seperti eksploitasi bahan bakar fosil, pembangkit listrik, pertanian, industri, transportasi, dan berbagai proses industry, termasuk dalam sektor-sektor yang berkontribusi pada peningkatan emisi CO2, metana, dinitrogen oksida, serta gas lainnya.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan WMO, saat ini pertumbuhan CO2 secara signifikan melebihi era pra-industri, mencapai lebih dari 50 persen. Selama emisi terus berlanjut dihasilkan dari aktivitas manusia, CO2 akan terus terakumulasi di atmosfer dan menyebabkan kenaikan suhu global (Kompas, 2023).
Kita mestinya membuka mata, bahwa dampak dari perubahan iklim menjadi semakin nyata dengan potensi terjadinya bencana-bencana yang mengakibatkan kenaikan harga pangan. Selain itu, dampak bencana iklim memiliki potensi merugikan ekonomi secara keseluruhan.
Penelitian Litbang Kompas menunjukkan bahwa cuaca ekstrem menyebabkan risiko kerugian fisik hingga Rp 1.963 triliun. Kekeringan, salah satu bencana iklim yang paling berisiko, memiliki potensi kerugian ekonomi hingga Rp 968 triliun dan berdampak pada kerusakan lingkungan dengan risiko hingga 35 juta hektare (Kompas, 2024).
ADVERTISEMENT
Menghadapi tantangan ini, solusi yang holistik dan terkoordinasi diperlukan. Langkah-langkah mitigasi perlu diprioritaskan dengan menekankan pada pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pengembangan teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan kebijakan pengurangan limbah serta emisi industri. Dukungan masyarakat, termasuk edukasi tentang pentingnya pelestarian lingkungan, juga menjadi kunci.
Kesadaran akan urgensi perubahan dalam aktivitas ekonomi menjadi krusial. Pendekatan yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan iklim dalam setiap keputusan ekonomi akan membantu meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan mengurangi risiko bencana iklim yang lebih luas. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan lembaga internasional diperlukan untuk menciptakan solusi yang efektif dan berkelanjutan guna melindungi masa depan bumi.
Perubahan iklim dan peningkatan suhu bumi yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan. Hanya dengan tindakan konkret dan kolaboratif dalam mengurangi emisi serta adaptasi terhadap perubahan iklim, kita dapat melindungi planet ini untuk generasi mendatang.
ADVERTISEMENT