Konten dari Pengguna
7 Ciri-Ciri Pola Pertanian Tradisional Nusantara yang Berbeda dengan Era Modern
28 Agustus 2025 15:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
7 Ciri-Ciri Pola Pertanian Tradisional Nusantara yang Berbeda dengan Era Modern
Pola pertanian tradisional belum dilengkapi teknologi secanggih era modern. Simak ciri-ciri pola pertanian tradisional Nusantara dalam artikel ini.Hendro Ari Gunawan
Tulisan dari Hendro Ari Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Praktik bertani telah dilakukan masyarakat sejak zaman dahulu untuk bertahan hidup. Aktivitas ini berlangsung secara alami dan dilakukan turun-temurun sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, gaya bertani di masa kini cukup berbeda dengan masa lalu. Lantas, seperti apa ciri-ciri pola pertanian tradisional Nusantara? Cari tahu informasi selengkapnya di bawah ini.
1. Penggunaan Alat yang Sederhana
Dikutip dari Buku Ajar Teknologi Pertanian susunan Aji Jumiono dkk, salah satu ciri utama pertanian tradisional adalah penggunaan alat yang masih sederhana. Contoh alatnya adalah pacul (cangkul), luku (bajak), garu, arit (sabit), gatul, ganden dan lain-lain.
Alat-alat tersebut digunakan untuk pertanian basah maupun kering. Bagi yang belum tahu, pertanian basah adalah jenis pertanian yang membutuhkan irigasi air, contohnya sawah. Sedangkan pertanian kering merujuk pada kegiatan bercocok tanam di ladang.
2. Pemanfaatan Tenaga Manusia atau Hewan
Pertanian tradisional sepenuhnya bergantung pada manusia. Itulah kenapa pekerjaan ini dilakukan secara gotong royong pada masa lalu, agar cepat selesai. Terkadang, manusia juga memanfaatkan hewan untuk membantu pekerjaan lebih efisien.
ADVERTISEMENT
Contohnya, petani menggunakan kerbau atau sapi untuk membajak sawah. Tentunya ini berbeda dengan era modern, di mana pembajak bisa menggunakan mesin traktor yang lebih cepat dan mudah dikendalikan.
3. Bergantung pada Musim serta Kondisi Alam
Petani zaman dahulu juga sangat bergantung pada kondisi alam untuk bertani, seperti curah hujan, iklim, dan musim tanam. Mereka juga mempertimbangkan pengaruh kondisi alam pada hama.
Misalnya saat musim hujan, ada banyak hama seperti tikus dan wereng. Jadi, dengan memahami kondisi alam, petani bisa membuat strategi pertanian yang lebih efektif.
4. Skala Lahan Pertanian
Merujuk buku Pertanian Modern susunan Dr. Agus Suprapto, S.P., M.P., IPM, dkk, skala lahan pertanian tradisional umumnya kecil. Sebab, digarap hanya untuk konsumsi keluarga sendiri.
ADVERTISEMENT
Ini pula yang membuat kebanyakan orang di masa lalu punya lahan tani sendiri, karena untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga masing-masing. Berbeda dengan masa kini, orang-orang bisa membeli bahan pangan di pasar atau supermarket.
5. Keragaman Tanaman (Polikultur)
Di masa lalu, petani cenderung menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan (polikultur). Hal ini dilakukan untuk menjaga tanah tetap subur, sekaligus menjamin ketersediaan pangan rumah tangga. Dikutip dari laman GeoPard, metode polikultur juga sangat baik untuk meminimalkan hama, penyakit, dan bahkan gulma.
6. Penggunaan Bibit Lokal
Dalam pertanian tradisional, petani menggunakan bibit lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini tergolong efektif karena bibit itu telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Walau begitu, tentu saja bibit lokal masih tidak seproduktif bibit unggul di dunia modern.
ADVERTISEMENT
7. Minim Paparan Bahan Kimia
Pada zaman dahulu, penggunaan pupuk dan pestisida sangatlah minim atau bahkan tidak ada. Petani tradisional lebih sering menggunakan kompos atau pupuk kandang. Tentu saja, hal ini membuat kualitas tanaman jadi lebih alami dan sehat.

