Konten dari Pengguna

Vakansi ke Belitung Bersama Bayang-bayang Erlend Øye

3 Juli 2019 22:53 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hesti Widianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jadi, sudah kurang lebih 4 tahun berselang setelah terakhir kali gue solo traveling. Waktu itu, gue menghabiskan liburan kuliah ke Banyuwangi. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
ADVERTISEMENT
Kali ini, gue kembali memberanikan diri buat solo traveling ke Belitung.
Alasannya simpel, pertama gue belum pernah ke Sumatera. Kedua, ada kakak seorang teman yang menikah di Palembang dan dekat sama Belitung, jadilah gue extend beberapa hari untuk liburan di sana. Ketiga, lagunya Erlend Øye yang 'La Prima Estate' bikin gue pengin joget-joget di pantai. Terakhir, di Belitung ada pantai, dan pantainya bagus.
Sebelum pergi ke Belitung, gue cari tahu gimana caranya ke sana. Yang pasti, cuma bisa naik pesawat atau kapal. Gue awalnya pilih pesawat, dikira cuma Rp 300 ribu karena enggak jauh, kan, Palembang ke Belitung. Eh, ternyata sampe Rp 900 ribuan. Yaudah, gue pilih opsi kedua yaitu, naik kapal.
ADVERTISEMENT
Kapal dari Palembang ke Belitung sebenarnya enggak ribet. Tapi semua kapal dari Palembang yang menuju Belitung pasti transit di Bangka. Bisa naik kapal Ferry dengan harga di bawah Rp 100 ribu dari Pelabuhan Tanjung Api-api yang jaraknya sekitar 1 jam dari pusat kota Palembang. Atau naik kapal cepat Express Bahari dari Pelabuhan Boom Baru yang jaraknya cuma 20 menitan dari pusat kota, tapi lebih mahal.
Penginnya sih, gue naik Ferry karena murah. Tapi ternyata, kapal ini cuma mengantar dari Palembang ke Pelabuhan Muntok di Bangka. Dari sana, masih harus menuju Pelabuhan Pangkal Balam di Pangkal Pinang untuk mengejar kapal ke Belitung yang jadwalnya cuma Minggu, Senin, Rabu, dan Jumat jam 2 siang.
ADVERTISEMENT
Karena gue males mepet-mepet enggak pasti, jadilah gue memutuskan naik Express Bahari. Ternyata mereka menawarkan paket kapal dari Boom Baru ke Muntok, terus travel dari Muntok ke Pangkal Balam, dan kapal lagi dari Pangkal Balam ke Belitung.
Gue memutuskan untuk ambil paket ini dengan total harga Rp 497 ribu, yang gue beli di kantor Express Bahari di pertokoan Rajawali.
Tip: Beli tiket Express Bahari di kantornya langsung. Karena kalau di loket pelabuhan bisa dibohongi calo dan harganya jadi lebih mahal
Di saat teman-teman masih pada bobo, berangkatlah gue subuh-subuh ke Boom Baru, karena kapalnya berangkat jam 7 teng. Dari hotel, gue naik ojek online ke pelabuhan. Enggak nunggu lama, penumpang sudah pada boleh masuk ke dalam kapal.
ADVERTISEMENT
Ini pertama kali gue naik kapal cepat dan ternyata harus duduk di kursi sesuai nomor tiket. Kayak naik kereta gitu, dan dilarang duduk di atas atau di pinggir kapal.
Pelayaran dari Palembang ke Bangka rasanya mulus aja karena kebanyakan melewati Sungai Musi. Gue sempet dijelasin sama abang-abang yang ketemu di kapal, jadi si Express Bahari ini emang enggak boleh ngebut di sepanjang sungai. Karena nanti jadi berombak dan airnya terciprat ke rumah-rumah di bibir sungai. Beda cerita dengan pelayaran dari Bangka ke Belitung yang memang melewati laut lepas. Lengkapnya, bakal gue ceritain nanti.
Sekitar jam setengah 11 siang, gue akhirnya sampai di Muntok, Bangka. Senang banget, sih, karena ketemu laut lagi, dan di dekat pelabuhannya ada mercusuar gitu. Dari pelabuhan, gue jalan ke area parkiran untuk nyari mobil travel yang bakal membawa gue ke Pelabuhan Pangkal Balam.
"alexa, play sherina - balon udaraku"
Gue kira mobil travel-nya itu mobil Elf, ternyata pakai Avanza. Gue duduk di barisan paling belakang bareng abang asal Sumatera Selatan (enggak tahu di mana tapi bukan Palembang), dan asal Belitung. Selama perjalanan, si abang Belitung ngajak ngobrol mulu, katanya biar dia enggak ngantuk.
ADVERTISEMENT
Gue seneng aja karena daripada dengerin lagu, gue mending ngobrol sama orang buat belajar aksennya (ini berguna biar dikira orang lokal hahahaha) dan nambah kenalan. Obrolannya ngalor-ngidul, mulai dari ngomongin perkebunan sawit--karena sepanjang jalan emang banyak kita temuin, kopi di Belitung, sampai cerita dia kecelakaan motor dan kalau naik motor harus pake helm.
Tanpa istirahat dan ngegas terus, kita sampai di Pelabuhan Pangkal Balam sekitar jam 13.30. Sebelum masuk ke kapal Express Bahari yang ternyata udah berlabuh, gue harus menukar tiket dan beli nasi kotak yang udah disiapin. Gue kira ini udah gratis, ya, ternyata harus bayar lagi Rp 24 ribu. Yaudahlah, gue juga sudah lapar banget.
Kapal berangkat menuju Belitung sekitar jam 14.00. Masih ingat di atas gue menyinggung soal bedanya pelayaran Palembang-Bangka dengan Bangka-Belitung? Well, di sini baru gue rasakan perbedaan itu.
ADVERTISEMENT
Enggak lama berlayar, orang-orang di dalam kapal langsung pada goyang-goyang. Kapalnya ngebut, Boy, dan selama berjam-jam rasanya kayak ngelewatin polisi tidur. Takut-takut nasi ayam yang udah gue makan keluar lagi, gue memutuskan untuk tidur aja dan berharap cepat sampai Belitung.
Sekitar jam 18.30, kapal akhirnya sampai di Belitung. Walaupun enggak bisa lihat laut karena udah gelap, gue senang karena berarti liburan gue udah dimulai.
Langsunglah gue menuju homestay backpacker pakai ojek. Tadinya, pengin jalan kaki karena kata Google Maps kalau jalan kaki waktu tempuhnya cuma 30 menit. Bisalah, habis duduk berjam-jam jalan kaki dulu. Eh, tapi asli gelap banget di sekitar pelabuhan. Daripada ambil risiko manggillah gue ojek pangkalan.
ADVERTISEMENT
Impresi pertama gue terhadap Belitung di malam hari itu gelap, Men. Minim banget pencahayaannya. Bahkan bundaran kota aja enggak ada lampu-lampu. Penerangan cuma dari toko-toko sama rumah aja. Lampu jalannya sedikit, nyaris enggak ada di beberapa gang. Untungnya, gue gampang nemuin homestay ini.
Homestay yang gue pilih ini namanya Belitung Homestay Backpacker. Gue merekomendasikan tempat ini banget, sih. Semalem cuma Rp 60 ribu (harga di Traveloka bisa berubah-ubah), dan lokasinya di Jl. Lettu Mad Daud Rt.18 Rw.09 no. 3, Tj. Pendam, yang dekat sama pusat kota.
Tidurnya di bunk bed, jadi sekamar bisa barengan sama beberapa orang. Tapi tenang aja karena tiap kasur dilengkapin sama gorden jadi kalau lagi tidur bisa ditutup. Selain itu, kamar tidur dan kamar mandinya bersih, adem, dan nyaman. Gue pas sampai di sana langsung amazed, sih, karena berasa kayak di rumah sendiri. Di sini juga bisa sewa motor dengan harga Rp 60 ribu/hari untuk motor kecil dan Rp 70 ribu/hari untuk motor besar.
ADVERTISEMENT
Malam pertama setelah diajak keliling Tanjung Pandan sama Kak Jack--temen sekamar gue--langsung rebahan dan tepar. Istirahat dulu sebelum jalan-jalan besoknya!
Selain ke tujuan wisata, gue juga pengin cobain makanan enak di Belitung. Untuk sarapan gue memilih ke Kedai Mak Jannah yang jual Suto Belitong. Sepiring Suto Belitong ini harganya Rp 15 ribu dan isinya ada ketupat, emping, bihun, sama kuah santan manis kayak opor. Jujur rasanya biasa aja tapi emang enak buat sarapan.
Empingnya menyeimbangkan rasa manis dari kuah santan, bikin tiap suapan menyenangkan.
Kelar sarapan, gue dan Bella--yang lagi liputan di Belitung--lanjut ke Belitung Timur, tepatnya ke Museum Kata Andrea Hirata, ke replika SD Muhammadiyah, dan ke mi ayam Siu Mie. Dari Tanjung Pandan ke Belitung Timur ini dari ujung ke ujung, dengan jarak kurang lebih 80 kilometer.
ADVERTISEMENT
Naik motor sewaan, panas-panas, kita cabut, naik motor 1,5 jam nonstop. Asli, jalanannya enak banget! Semulus itu dan sepi. Bahkan beberapa kali di jalan enggak ada orang. Makanya gue tancap gas terus 80 km/h, sampe hampir 100 km/h tapi karena pake Beat jadi kalau udah terlalu ngebut agak oglek-oglek serem.
Tip: Usahain isi bensin di pom bensin, jangan eceran. Selain lebih mahal, gue enggak tahu kenapa bensin eceran cepat banget habisnya
Sekitar 1 jam kita udah sampe di Museum Andrea Hirata. Tiket masuknya Rp 50 ribu karena dapat buku kecil soal Laskar Pelangi. Katanya, ini museum literasi pertama di Indonesia. Iya, sih, ada pengenalan soal penulis ternama di dunia, cuplikan karyanya, tapi gue ngeliatnya jadi cuma buat foto-foto aja karena dekorasinya nyentrik berwarna-warni.
ADVERTISEMENT
Juga karena ini museum punyanya Andrea, dan tentang buku Laskar Pelangi itu, ya, jadi isinya prestasi dia dan karyanya. Enggak begitu edukatif, dan biasa aja untuk harga tiket yang cukup mahal. Begitu pula pas kita ke replika SD Muhammadiyah. Menurut gue, dua tempat ini biasa aja, tapi karena udah jauh-jauh ke Belitung, ya, enggak ada salahnya untuk singgah.
Selain itu, dengan pergi ke Belitung Timur, gue jadi paham sama cerita dari abang Belitung di kapal. Dia bilang kalau Belitung ini enggak merata bagian timur sama barat. Karena pelabuhan adanya di barat, jadi yang maju, ya, Tanjung Pandan. Iya, sih, kondisinya kalau dibandingkan cukup beda. Mungkin kalau enggak ada dua tujuan wisata itu tadi, enggak bakal ada orang yang ke timur, ya?
ADVERTISEMENT
Dari SD dan museum yang lokasinya ada di Gantong, kita motoran lagi buat ke Manggar makan mi ayam Siu Mie. Untuk ulasan lengkapnya mending baca aja di sini. Yang pasti, mi ayam ini jadi highlight liburan gue ke Belitung.
Habis makan, kita buru-buru balik Tanjung Pandan karena si Bella pesawat ke Jakarta jam 16.30. Nah, setelah Bella cabut ke bandara, barulah gue jalan-jalan sendirian. Pas itu udah jam 15.00, dan sebagai penikmat senja, gue langsung berburu sunset.
Dari rekomendasi Kak Jack, salah satu pantai yang oke untuk nyore adalah Bukit Berahu. Jaraknya cuma 20 kilometer dari homestay, jadi motoran bentar terus sampai deh. Enggak lupa, dong, motorannya sambil dengerin Erlend Øye yang 'La Prima Estate'.
ADVERTISEMENT
Untuk masuk ke pantai ini bayar Rp 10 ribu, sudah termasuk kupon gratis minuman. Saking excited-nya ketemu pantai lagi, gue enggak notice bisa dapet minum gratis dan langsung turun ke bibir pantai.
Lemes banget pas kaki gue menginjak pasir putih halus, nyeburin kaki ke air, rambut ditiup angin sepoi-sepoi, sambil dengerin deburan ombak yang lembut menyapa. Aih, tsedap. I was instantly in love with this beach, tho. Tenang, sepi, cocok banget buat tiduran, baca buku, sambil dengerin lagu. Apalagi suara deburan ombak yang tenang tadi diiringi 'Song On The Beach'-nya Arcade Fire yang ada di film 'Her'. Duh, lo bayangin aja, deh, gimana peaceful-nya.
Setelah sarapan yamien Nyong Choi, gue cabut ke beberapa pantai. Gue sengaja pilih lewat Jalan Sijuk baru baliknya ke arah Tanjung Pandan lewat Jalan Pattimura yang emang biasa orang lewatin untuk ke pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi.
ADVERTISEMENT
Gue lega sudah memutuskan ambil jalur tengah ini. Karena gue dapet nyusurin dari sebelum Tanjung Tinggi, istirahat di Tanjung Tinggi, mampir lihat Tanjung Kelayang, baru balik lagi ke Tanjung Pandan.
Wah, kali ini gue lagi-lagi seneng banget sama jalurnya. Apalagi dengan pemandangan birunya air laut dan putihnya pasir yang nemenin gue menyusuri jalan. Daripada pantainya, gue lebih seneng sama perjalanannya ini. Lihat, deh, pemandangannya, kalau ban motor kempes di jalan kayak gini enggak bakal kesel-kesel amat, deh.
Lokasi strategis buat tukang tambal ban, belum ada saingan, bisa nebar paku di mana saja sesuka hati. Senin harga naik!
Setelah puas leha-leha di Tanjung Tinggi (iya, liburan ini gue emang cuma pengin gegoleran di pantai), gue mampir bentar ke Tanjung Kelayang yang biasa aja. Karena emang pantai ini jadi tempat menyeberangnya kapal-kapal sewaan yang ke Pulau Lengkuas dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Sekitar jam 15.00, gue udah balik lagi di Tanjung Pandan. Untuk menghabiskan waktu, gue makan Nasi Gumok dan minum es kopi susu di Warung Kopi Ake. Nasi Gumok ini kayak nasi kucing tapi lebih gumok--gemuk--aja. Isinya nasi sama ikan goreng dua dan ditambah kuah santan belimbing yang rasanya manis asam. It's a goodun.
Kurang sambel aja, Bang.
Jujur, sore ini gue sempet bingung mau ngapain lagi, sih. Gue udah mager ke tempat wisata lainnya tapi enggak mau balik homestay. Akhirnya, gue muter-muter kota, ngabisin bensin, ketemu sama anak-anak muda yang lagi pada main skateboard, dan menikmati sunset terakhir di Belitung dari salah satu kafe di depan Pantai Tanjung Pendam.
Lucunya, di sini ada minuman namanya Orange Is The New Black. Sebagai penggemar dari serial Netflix itu, gue tanyalah ke abangnya.
ADVERTISEMENT
"Bang, ini kenapa dinamain OITNB?"
"Soalnya itu campuran jeruk sama kopi."
"Oh, bukan karena ada sinetronnya?"
"Hah?"
"Iya, jadi ada sinetron bule namanya sama. Haha."
"Saya enggak tahu. Saya bikin aja minuman ini dan kasih nama OITNB. Mau coba?"
"Boleh, deh."
Eh, rasanya kayak kulit jeruk. Ra nggenah.
Malamnya di homestay, gue ngobrol sama pemiliknya, namanya Bu Yuli. Sambil ngemilin pempek dan mangga yang dia kasih, Bu Yuli cerita soal pengalamannya solo travelling juga ke Vietnam.
Seru, dia punya pemahaman kalau solo travelling itu bikin seseorang lebih mengenal dirinya. Gimana menghadapi situasi, dan bergantung ke diri sendiri. Sayangnya, obrolan cuma bentar karena dia mau pacaran sama suaminya di pinggir pantai sambil ngopi dan makan pisang goreng lol.
ADVERTISEMENT
Paginya gue naik pesawat balik ke Ciputat. Walaupun trip kali ini cuma bentar, tapi it's a much needed getaway from the polluted air and bad traffic in Jakarta. Besides, it's always nice to get to know myself a bit better, and learn to be comfortable in my own skin. Til next trip then!