Konten dari Pengguna

Doorway & Ruins: Menyelam dalam Tubuh, Menggali Jejak di Ara Contemporary

Hidayat Adhiningrat
Seorang penulis seni amatir dan manusia yang senang bermain-main
6 Juli 2025 14:36 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Doorway & Ruins: Menyelam dalam Tubuh, Menggali Jejak di Ara Contemporary
Ara Contemporary  menghadirkan dua pameran mulai 5 Juli hingga 3 Agustus 2025. Di Galeri Utama, terselenggara pameran “Doorway”, sementara Galeri Fokus memamerkan“ruins and blueprints"
Hidayat Adhiningrat
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dual Pameran “Doorway” dan “ruins and blueprints” di Ara Contemporary (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Dual Pameran “Doorway” dan “ruins and blueprints” di Ara Contemporary (Dok. Hidayat Adhiningrat)
ADVERTISEMENT
Ara Contemporary menghadirkan dua pameran secara bersamaan mulai 5 Juli hingga 3 Agustus 2025. Di Galeri Utama, terselenggara pameran tunggal “Doorway” oleh Carmen Ceniga Prado, sementara Galeri Fokus memamerkan karya kolektif bertajuk “ruins and blueprints”. Mari kita telusuri keduanya.
ADVERTISEMENT
“Doorway” menampilkan eksplorasi mendalam Carmen Ceniga Prado—seniman Spanyol berbasis Singapura—terhadap tubuh dan spektrum sensasinya. Melalui abstraksi, ia menyelami perasaan dan sensasi internal yang muncul sebelum dikotak-kotakkan pikiran sebagai emosi atau rasa fisik. Di sini, abstraksi menjadi jembatan untuk menggambarkan hal-hal tak berbentuk namun viseral, membuka pintu menuju ruang penghayatan tubuh yang mendalam.
Akarnya pada seni ukir kayu membentuk apresiasi Ceniga Prado akan materialitas dan proses. Meski sifat taktil ukiran memberinya kesadaran fisik yang membumi, medium ini dirasa membatasi upayanya menangkap keadaan-keadaan yang cair dan tak pasti. Perjalanan seninya menemui titik balik saat ia didiagnosis nyeri kronis. Pengalaman ini mendorongnya lebih dalam menyelami tubuhnya sendiri, menjadikan lukisan dan coretan sebagai sarana mengakses dan mengekspresikan kehadiran serta gerak tubuh.
ADVERTISEMENT
Melukis pun berubah menjadi alat untuk memasuki ruang liminal (ambang batas antara emosi dan sensasi fisik) merangkul sifatnya yang sementara dan terus berubah. Gagasan ini kian mengkristal setelah Ceniga Prado menetap di Asia Tenggara, membentuk persepsinya yang lebih intim tentang tubuh. Pameran "Doorway" mengajak kita menyelami kepekaan akan nuansa tubuh dan proses batin dalam menyesuaikan diri dengan sensasi yang terus bergeser.
Ia bekerja dengan palet warna terbatas, namun memperluas jangkauannya lewat permainan transparansi. Interaksi antara lapisan buram dan tembus pandang justru lebih menonjolkan permainan bayangan dan cahaya ketimbang warna itu sendiri, menciptakan ilusi ruang dan kedalaman yang memikat. Pergeseran tonal yang halus dan bertahap ini seolah menghidupkan rasa perubahan terus-menerus, mengabadikan gerak lembut di antara nuansa. Di sinilah ritme dan vitalitas guratan-guratannya bersinar, menjadi jiwa karya.
Carmen Ceniga Prado di Ara Contemporary (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Tidak berhenti di situ, Ceniga Prado juga memperkenalkan “teknik baru”: menjahit fragmen-fragmen kanvas. Tindakan menyatukan potongan kain ini bagaikan metafora menyusun pecahan pemahaman akan tubuh yang senantiasa berubah, hingga membentuk gambaran yang utuh walau sementara. Proses menjahit ini sendiri menjadi cermin dari perjalanan panjangnya mempelajari tubuh batin.
ADVERTISEMENT
“Saya mulai melakukan ini baru-baru ini. Ini adalah teknik profesional, dan saya menjahitnya dengan cara ini (membuat garis seperti patahan). Saya merasa menjahit kanvas bersama sangat masuk akal untuk menunjukkan berbagai bagian dari diri kita yang selalu saling terhubung,” ucap Carmen.
Lewat meditasi visual pada ritme tubuh yang tenang, lukisan Ceniga Prado pun mengantar kita pada bahasa yang melampaui kata. Kebenarannya tak terucap, namun terasa justru ketika kita memandang ke dalam ruang-ruang di antara: di antara sensasi dan emosi, di antara yang terlihat dan yang tersembunyi.
Perhatikan Submerged, sebuah lukisan abstrak berukuran besar (200x150 cm) yang menyambut di dekat pintu masuk. Karya ini seketika menenggelamkan penonton dalam pengalaman visual yang mendalam dan emosional, bagai menyelami dunia batin seorang gadis yang tengah larut dalam kontemplasi diri. Dibuat dengan tinta dan akrilik di atas kanvas yang dijahit, bentuk persegi tradisional sengaja "dipatahkan" oleh jahitan seniman. Sentuhan viseral ini mengaburkan batas antara medium dan tubuh, menghadirkan siluet yang sekaligus realistis dan abstrak.
Submerged karya Carmen Ceniga Prado (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Perjalanan visual dimulai dari atas: lapisan biru dan putih yang lembut beriak seperti permukaan air atau langit yang terganggu, mengisyaratkan momen awal penyelaman. Warna-warna ini kemudian bergulir gradual ke bawah—beralih menjadi cokelat tanah, merah getir, dan hitam pekat—seakan menelusuri lorong tubuh: tenggorokan, jantung, hingga usus. Di tengah kedalaman itu, percikan merah seperti detak jantung muncul tak terduga. Aliran cat yang menetes vertikal menciptakan ritme organik, seakan lukisan itu sendiri bernapas dan berdenyut.
ADVERTISEMENT
Bagi sang seniman, Submerged adalah pintu masuk ke ruang hampa batin, tempat rasa sesak dan gelap bercampur dengan gejolak internal yang tak kunjung padam. Meskipun paletnya didominasi kegelapan, cahaya tersembunyi menyembul lewat sapuan tekstur dan permainan transparansi, mengungkap kompleksitas pergulatan jiwa. Lebih dari sekadar lukisan, Submerged adalah narasi tubuh yang bisu. Ia mengajak kita bukan hanya melihat, tapi merasakan, menyelam bersama ke kedalaman emosi yang tak terkatakan.
Dengan pendekatan serupa, sepuluh lukisan Carmen di pameran "Doorway" menyajikan meditasi visual tentang tubuh dan sensasi. Seperti diungkapkannya: "Saat mata tertutup, yang ada bukan hanya kegelapan tapi juga cahaya yang bergerak-gerak. Inilah yang kuusung: kegelapan bagian dalam tubuh yang justru penuh denyut kehidupan."
ADVERTISEMENT
Dari Submerged, mari melangkah ke Guardian Angel. Lukisan abstrak ini memikat dengan dinamika yang penuh tensi. Palet cokelat tua dan merah marun menciptakan kegelapan yang dalam, bagai ruang rahim yang misterius. Namun dari dalam kelam itu, ledakan oranye terang dan biru pucat menyembul bagai percikan energi kuantum—hidup, bergetar, dan terus bergerak. Teksturnya organik; goresan dan rembesan warnanya seperti aliran darah atau denyut syaraf, menciptakan ritme yang mengalir dari pusat ke tepi kanvas.
Guardian Angel karya Carmen Ceniga Prado (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Bagi sang seniman, karya ini adalah manifestasi perjalanan transformatif: dari gelap menuju terang, dengan energi tak kasat mata sebagai katalisnya. Interplay antara shadow dan light ini bukan pertentangan, melainkan tarian keseimbangan yang intim. Judul "Guardian Angel" pun terasa simbolis: ia adalah pengingat untuk berhenti sejenak, menyelami keheningan diri, dan menemukan ketenangan di tengah chaos. Denyut cahaya yang terus hidup dalam kanvas bagai kehadiran pelindung, titik awal kontemplasi tentang cahaya dalam batin.
ADVERTISEMENT
Abstraksi tetap menjadi bahasa utama Carmen di seluruh karyanya. Baginya, medium inilah yang sanggup menangkap "momen-momen di antara". Sensasi yang tak pernah statis, pesan yang terselip di sela kesadaran. "Begitu kau memahaminya," ujarnya, "Abstraksi justru menawarkan ruang di mana detail-detail terus berubah." Inilah kekuatannya: menjadi wadah bagi yang tak terpaku, merayakan fluiditas pengalaman manusia.
Dari Reruntuhan, Merancang Masa Depan
Berjalan paralel dengan “Doorway”, “ruins and blueprints” di Galeri Fokus Ara Contemporary membentangkan percakapan antara waktu: bagaimana masa lalu bergema di masa kini, dan reinterpretasi kontemporer memberi napas baru pada sejarah. Di sini, “reruntuhan” bukan akhir, melainkan titik tolak. Sebuah metafora kuat untuk menyelami warisan yang terus membentuk realitas kita hari ini.
ADVERTISEMENT
Tujuh seniman—Agan Harahap, Dita Gambiro, Enka Komariah, Ipeh Nur, Irfan Hendrian, Lai Yu Tong, dan Natalie Sasi Organ—menjalin respons unik terhadap gagasan ini. Lewat beragam medium, mereka menguliti ketegangan antara akurasi sejarah dan tafsir masa kini: bagaimana menatap ulang fragmen masa lampau justru menerangi kompleksitas zaman sekarang.
Karya-karya ini, meski berakar di kekinian, mengungkap jejak tak kasat mata sebagai cara-cara halus di mana trauma, ingatan, dan kebijaksanaan kuno meresap dalam pandangan, tindakan, bahkan napas kita sehari-hari. “Reruntuhan” dan “cetak biru” pun bersatu dalam siklus abadi: masa lalu membentuk fondasi kini, sementara respons kita hari ini menjadi cetak biru untuk masa depan. Sebuah putaran terus-menerus: mengingat, menafsir, lalu merancang ulang.
Di Galeri Fokus, miniatur Dita Gambiro berjudul Harapan Baru (107x70x12cm) menjadi pintu masuk yang menyentuh. Dibangun dari plywood, cat akrilik, dan kawat anyam, karya ini membekukan fragmen sejarah kelam: deretan ruko di Glodok yang menjadi saksi bisu kerusuhan 1998.
ADVERTISEMENT
Bangunan kuning pucat itu berdiri loyo—cat mengelupas, struktur rusak—seperti cermin kehancuran fisik dan mental keluarga yang hidupnya bergantung pada toko-toko itu. Tapi di tengah reruntuhan, sesuatu yang baru muncul: teralis besi yang membelit jendela-jendela melengkung. Elemen protektif ini, yang tak ada sebelum tragedi, kini menyatu dengan bangunan bagai parut pelindung. Ia bisikkan kisah ketahanan: upaya merajut stabilitas dari benang-benang trauma.
Today’s Paper, Yesterday’s Home karya Dita Gambiro (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Narasi kepedihan berlanjut di karya Dita lainnya: Today’s Paper, Yesterday’s Home. Di sini, Dita mengumpulkan iklan baris koran tentang properti terjual, ditempelkan pada miniatur ruko serupa. Setiap kliping adalah batu nisan bisu: toko yang dulu menjadi nadi kehidupan, terpaksa dilepas pemiliknya demi bertahan. Koran bekas yang menguning itu menjadi artefak keputusasaan; miniatur ruko berubah jadi kuburan memori. Bersama Harapan Baru, keduanya membentuk diptik tentang siklus kepemilikan: kehilangan yang memaksa manusia menciptakan pelindung baru, sambil menggenggam erat kenangan yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Bergeser dari miniatur Dita, Enkan Komariah menghadirkan diptika perih lewat Manusia Modern dan Militer di Atas Tanah Makmur—dua panel minyak di atas kertas (masing-masing 107x78 cm) yang mengiris hati. Panel kiri mempertontonkan paradigma kekuasaan: seorang figur bertopeng helm militer berdiri kaku, tatapannya kosong mengawasi sangkar logam raksasa. Di dalamnya, sosok terkurung membungkuk pasrah. Potret menyakitkan putra-putri terbaik Indonesia yang terjebak dalam sangkar politik. Besinya berkarat; jerujinya membayangi harapan yang dipenjara.
Panel kanan menghadirkan ironi modernitas: dua pekerja berbaju putih terpasung di depan mesin merah tua yang berdentum. Gerak mereka robotis, mata terpaku pada tuas dan lampu yang berkedip. Di belakangnya, siluet-siluet pohon kering dan bayangan manusia terproyeksi di dinding. Lanskap suram yang mengeringkan makna "Tanah Makmur" dalam judul.
Manusia Modern dan Militer di Atas Tanah Makmur karya Enkan Komariah
Karya ini adalah kritik visual pilu atas tragedi sejarah: bagaimana negara pernah mengirimkan generasi emasnya ke luar negeri dengan janji kemakmuran, hanya untuk menjerumuskan mereka ke dalam labirin pengasingan abadi oleh intrik kekuasaan. Palet kelam dengan semburan merah darah bukan sekadar warna, ia adalah duka yang membeku dan amarah yang terpendam. Setiap guratan di atas kertas menjadi epitaf bagi mereka yang terdampar di antara identitas: tak bisa pulang, tak diterima di perantauan. Di atas reruntuhan janji, yang tersisa hanyalah sangkar waktu dan mesin pengabdi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, "Doorway" dan "ruins and blueprints" di Ara Contemporary bukan sekadar pameran paralel. Mereka adalah dua sisi mata uang yang sama. Di Galeri Utama, Carmen Ceniga Prado membukakan pintu ke geografi tubuh yang paling intim: ruang liminal antara sensasi dan emosi, tempat desahan menjelma lukisan. Karyanya mengingatkan: tubuh bukan kuburan statis, tapi sungai yang selalu mengalir.
Sementara di Galeri Fokus, tujuh seniman "ruins and blueprints" menancapkan kaitan ke tanah. Melalui reruntuhan sejarah, mereka memintal cetak biru untuk ingatan kolektif. Di sini, puing bukan akhir, melainkan batu pertama menuju pemahaman. Bersama, kedua pameran menjawab pertanyaan abadi: Bagaimana merajut makna dalam dunia yang retak?
Jawabannya tersembunyi dalam palet Carmen yang bernapas, dalam teralis besi Dita, dalam sangkar logam Enkan. Kita diajak berhenti di ambang. Merasakan denyut nadi sendiri sementara mata menatap bayangan masa lalu. Sebab di ruang antara sensasi dan ingatan itulah—seperti bisik Carmen—cahaya bergerak dalam gelap.
ADVERTISEMENT