Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kendaraan Nol Emisi yang Menghasilkan Emisi
8 November 2022 15:25 WIB
Tulisan dari Hilman Afif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ekor selalu muncul dari setiap kejadian, begitupun dengan kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV). Bagi penulis, janji yang diumbar melalui wacana transisi alat transportasi nol emisi adalah hal yang dilematis. Satu sisi diperlukan untuk menekan laju emisi udara dan suara di perkotaan , namun sisi sebaliknya turut berkontribusi dalam memproduksi emisi dan penghancuran di wilayah lain dalam konteks rantai pasok.
ADVERTISEMENT
EV sebagai mobil masa depan (yang berarti hari ini) adalah sebuah konsep yang memiliki nilai Clean, Green and Keen. Mengutip dari buku yang dirilis oleh Oxford Science Publication tentang Modern Electric Vehicle Technology , dijelaskan bahwa EV disebut Clean karena menghasilkan nol emisi lokal dan rendah emisi global. Green karena ramah lingkungan dan Keen karena ada kecerdasan yang tajam dalam setiap proses pembangunan kendaraan listrik.
Kondisi dunia yang hari ini semakin menunjukkan perhatiannya kepada pembangunan yang berkelanjutan, menjadikan EV sebagai solusi yang dianggap mampu mengakomodir kebutuhan manusia untuk mobilisasi dan lingkungan untuk tidak semakin tercemar. Bahkan, Presiden Indonesia turut mengambil langkah untuk mempercepat implementasi EV di Indonesia.
Beragam peraturan hingga instruksi dirilis dalam tempo sesingkat-singkatnya. Di awali dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, hingga terbaru Inpres Nomor 7 Tahun 2022 yang menginstruksikan seluruh aparat pemerintahan (tak terbatas pada pusat namun pula daerah) untuk segera mengganti mobil dinas konvensional ke mobil yang ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan namanya, EV tak lagi menggunakan bahan bakar minyak sebagai energi. Ia dipicu oleh listrik yang disimpan dalam baterai lithium ion. Dengan energi yang dihasilkan dari listrik, kendaraan ini diklaim mampu mengurangi polusi yang selama ini diproduksi dari gas buang bahan bakar minyak.
ADVERTISEMENT
Mayoritas EV di pasaran mengandalkan nikel dan cobalt sebagai komponen pembentuk baterai untuk meningkatkan kinerja mobil listrik. Penggunaan baterai pada kendaraan listrik sebetulnya telah digunakan sejak pertengahan 1990-an yang diimplementasikan pada Toyota Prius dengan jenis baterai Nickel Metal Hydride (NMH).
Nikel memainkan peran yang sangat penting dalam baterai litium ion yang hari ini masif digunakan sebagai pendukung mobil listrik. Hingga hari ini, terdapat 2 jenis nickel-based batteries yang paling umum digunakan oleh EV yaitu Nickel Cobalt Alumunium (NCA) dan Nickel Manganese Cobalt (NMC). Di kutip dari nickelinstitute.org , keuntungan paling utama menggunakan nikel sebagai komponen penyusun baterai antara lain membantu memberikan kepadatan energi lebih tinggi dan kapasitas penyimpanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan baterai berbasis fero atau besi (lithium ferrophosphate battery/LFP). Dengan masifnya wacana transisi kendaraan ke mobil listrik, dapat dipastikan bahwa nikel akan menjadi komoditas seksi yang akan terus dieksploitasi.
ADVERTISEMENT
Di balik kegunaan nikel sebagai bagian dari ekosistem “ramah emisi”, nyatanya, ada sisi buruk yang turut berkontribusi terhadap perusakan lingkungan terutama di Indonesia bagian Timur. Sejak 2009 hingga 2021, sekitar 41 ribu hektar hutan alam hilang (deforestasi) dimakan alat berat ketika mencari harta karun (Nikel) yang terkandung dibawahnya.
Deforestasi yang terjadi turut melepaskan emisi hingga 20 juta tCO2-e. Angka ini setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh 833.333 unit mobil Toyota Avanza tahun 2014 tipe 1.3 yang memiliki konsumsi BBM 10 Km/L, dipakai dalam waktu 5 tahun dengan asumsi jarak tempuh 20.000 Km/tahun dan emisi yang dihasilkan sebesar 2,4 Kg CO2/L.
Belum lagi jika bicara soal sumbangan emisi yang dihasilkan dari PLTU sebagai pemasok listrik di smelter nikel. Terlihat pemerintah melalui Kementerian ESDM saat ini tengah menyusun strategi untuk mempercepat proyek pembangkit listrik 35.000 MW yang salah satu alasannya untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi smelter nikel. Dari data Kebutuhan Tenaga Listrik Fasilitas Permunian milik Kementrian ESDM , diketahui kebutuhan tenaga listrik untuk smelter nikel dari PLTU mencapai 2.673 MW. Jika dihitung, emisi yang akan terlepas akibat dari kegiatan PLTU diperkirakan mencapai 21.354,92 kTon CO2/tahun dengan asumsi faktor emisi PLTU batu bara sebesar 1,14 kg/KWh.
ADVERTISEMENT
Rencana pembangunan PLTU sejalan dengan peningkatan produksi batu bara. Data yang dimiliki oleh Auriga Nusantara, produksi batu bara Indonesia meningkat lebih dari 3 kali lipat, dari 194 juta ton pada tahun 2006 menjadi 614 juta ton pada 2021. Alih-alih menghadirkan bahan baku untuk menciptakan industri ramah lingkungan, hadirnya pertambangan nikel dengan segala rantai pasoknya justru berkontribusi besar dalam pelepasan emisi.
Klaim nol emisi (Clean) EV harusnya dilihat dari seluruh proses tahapan produksi segala bahan baku yang dipakai, termasuk yang utama adalah baterai sebagai sumber energi. Sehingga, nol emisi tidak didefinisikan hanya pada kendaraan. Tak mungkin pula EV disebut dengan Green (Ramah lingkungan) jika masih menyumbang bencana pada tahapan prosesnya.
Proses produksi hulu ke hilir harusnya menjadi perhatian penuh bagi pemerintah dalam melakukan aksi mitigasi perubahan iklim sehingga kebijakan yang ditelurkan benar-benar menyelesaikan masalah secara utuh. Bicara soal EV tak boleh menegasikan dampak lingkungan yang diberikan di belakangnya. Jika seperti ini, membangun sebuah narasi EV sebagai solusi dalam menjauhkan kota dari pencemaran polusi adalah narasi yang penuh dengan kepalsuan.
ADVERTISEMENT