Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Stereotip Masyarakat Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia
4 September 2024 7:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ikmal Nuraqila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Negara kita tercinta Republik Indonesia memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Indonesia memiliki empat musim dalam setahun, kondisi geografis, jumlah populasi, dan keragaman budaya. Dan asal muasal terbentuknya masyarakat di masing-masing wilayah tersebut juga mempunyai sejarahnya masing-masing. Sehingga kita mendapatkan kekayaan berupa keragaman suku, budaya, agama, dan tata cara bagaimana hidup dalam tatanan kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama dan budaya menyebabkan rentan terjadinya gesekan serta ancaman disintegrasi bangsa apabila keanekaragaman karakteristik tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan benar. Sebagai negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, terjadinya pergesekan sebagai konsekuensi dari beragamnya suku, agama, ras dan budaya terkadang masih menjadi hal yang mewarnai setiap interaksi yang terjadi dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
Menurut data terbaru, jumlah penduduk Indonesia tahun 2022 sekitar 275 juta jiwa. Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 300 kelompok etnis dan 1.300 suku di Tanah Air. Tentunya suku Jawa adalah etnis terbesar dengan jumlah yang mencapai sekitar 40 persen dari total populasi. Etnis lainnya yang kita kenal antara lain Betawi, Sunda, Badui dan Asmat di Papua. Termasuk etnis Tionghoa yang asal muasalnya adalah pendatang di negeri ini.
Bicara tentang etnis Tionghoa di Indonesia, bagaimana kisahnya hingga mereka datang dan bermukim di Nusantara? Apakah mereka menjajah kita atau mengungsi karena perang di negaranya? Menurut catatan sejarah, sekitar abad ke-12 bangsa Tiongkok telah melakukan perjalanan perdagangan ke wilayah Nusantara dimana mereka menemukan banyak sumber daya alam yang dibutuhkan di negaranya. Dari hasil turun-temurun nenek moyang mereka berjualan di tanah air, populasi etnis ini sedikit demi sedikit bertambah jumlahnya. Mereka bertempat tinggal di tengah-tengah populasi masyarakat pribumi. Tidak sedikit juga yang membentuk kluster domisili sesuai etnis mereka yang dikenal dengan nama Pecinan .
ADVERTISEMENT
Hal yang tidak bisa ditampik dari kehadiran etnis keturunan ini adalah munculnya stereotip masyarakat terhadap kaum minoritas tersebut. Perbedaan warna kulit dan penampilan fisik menjadi kambing hitam pandangan masyarakat asli Indonesia terhadap mereka. Kita tidak akan mungkin menyapa dengan panggilan Bapak, Ibu, Om atau Tante kepada lawan bicara yang berkulit putih dan bermata sipit. Koko dan Tacik atau Cici akan otomatis keluar dari mulut kita untuk menyebut mereka. Kita juga dengan yakinnya menebak bahwa orang tua dari teman kita yang keturunan Tionghoa mengelola perdagangan barang elektronik, toko emas, atau toko kelontong. Tidak lupa dengan boneka kucing emas yang mengayun-ayunkan lengannya yang diyakini mendatangkan rejeki untuk toko mereka.
Belum lagi adanya anggapan kaum pribumi sebagai penduduk asli yang lahir dan besar di Indonesia merasa kedatangan etnis ini merenggut tanah ladang rejeki mereka. Akhirnya karena efek ketidakpuasan tersebut masih ada saja praktek-praktek perundungan kepada mereka, seperti mengolok-olok etnis mereka, perbedaan fisik, hal mistis di tempat usaha, sampai dengan urusan keagamaan yang dianut. Bahkan di saat kerusuhan massal Mei 1998 dampak dari reformasi, kaum Tionghoa mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan dirampas harta maupun usaha perdagangannya. Amuk massa pada saat itu membuat para pemilik toko ketakutan dan memberi tanda di toko mereka dengan tulisan milik pribumi. Ironis memang, kaum mereka ikut membangun negara ini namun menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia pada kala itu. karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Bahkan penulis, sutradara film sekaligus komika nasional Ernest Prakasa di tahun 2015 pernah mengangkat tema ini dalam karya layar lebarnya berjudul “Ngenest ”. Dalam film ini dikisahkan perjalanan hidup sebuah keluarga keturunan etnis Tionghoa yang dimana tokoh utamanya Ernest itu sendiri mendapat perlakuan yang tidak nyaman selama masa sekolah. Mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas, ia sering diledek teman-temannya karena perbedaannya. Hal itu memang realita adanya, karena tidak sedikit diantara kita pernah melihat kejadian serupa saat duduk di bangku sekolah. Tidak hanya di sekolah, di lingkungan luar sekolah dan rumah anak-anak etnis keturunan ini juga harus berhati-hati dan siap mental jika bertemu dengan warga pribumi asli.
Sebenarnya kaum pribumi dan etnis Tionghoa sama-sama berusaha dan bekerja, namun yang membedakan adalah kegigihan, kecermatan serta efisiensi dalam manjalankan roda bisnisnya. Mungkin value of life saudara-saudara kita ini yang patut kita tiru dan jalankan. Karena mereka sudah membuktikannya sejak masa lampau hingga era digital saat ini. Tidak ada yang tidak mungkin kata mereka, asalkan dilaksanakan dengan sepenuh hati dan kerja keras. Jangan sampai diri kita yang akhirnya menjadi kaum minoritas. Ya betul, kaum minoritas karena malas dan tidak mempunyai motivasi hidup.
ADVERTISEMENT