Solusi Pemerintah untuk Ojek dan Taksi Online

25 Maret 2017 10:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Demo ojek online di Jembatan Layang Cibinong (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Demo ojek online di Jembatan Layang Cibinong (Foto: Istimewa)
Polemik taksi dan ojek online mengemuka. Di beberapa daerah angkutan umum konvensional bergejolak. Dikoordinir Organda mereka memprotes keberadaan taksi dan ojek online.
ADVERTISEMENT
Protes dilakukan karena keberadaan moda online itu mengganggu pendapatan mereka. Baik taksi ataupun Angkot mengeluh pendapatan yang anjlok.
Tapi sebenarnya, kalau dipikirkan lebih matang semua terjadi karena masyarakat yang berubah. Angkot dan taksi konvensional tidak memberikan layanan yang membuat konsumen bertahan.
Tengok saja keluhan konsumen yang bertebaran di surat pembaca atau media sosial pada taksi konvensional, tarif yang mahal sampai harga yang tidak pas, belum lagi sopir yang muter-muter menuju lokasi tujuan. Berbeda dengan taksi online yang harganya relatif murah dan sudah ada estimasi harga pembayaran.
Sedang Angkot, jangan ditanya. Mulai dari ngetem lama sampai penumpang penuh sesak kepanasan tanpa AC. Dan kemudian ketika ada ojek online yang hadir menawarkan cepat sampai tujuan dengan harga relatif murah, masyarakat beralih.
ADVERTISEMENT
Demonstrasi menuntut pelarangan taksi online (Foto: Darren Whiteside/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi menuntut pelarangan taksi online (Foto: Darren Whiteside/Reuters)
Lepas dari berbagai suara masyarakat itu dan fakta di lapangan, akhirnya pemerintah tetap mengeluarkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 yang mengatur taksi online pada 1 April mendatang. Sedang untuk ojek online akan dibahas kemudian dan diserahkan ke pemerintah daerah.
Yang pertama soal taksi online:
Ada tiga hal krusial yang diatur untuk taksi online di Permenhub dan berimbas pada konsumen, mengenai tarif bawah dan tarif atas, kuota jumlah taksi online, dan juga yang masih digodok mengenai jam operasional. Konsumen selama ini dimanjakan dengan kehadiran taksi online yang memberikan tarif murah.
Tapi pemerintah melihat dari kacamata persaingan usaha. Menurut Menko Maritim Luhut Pandjaitan Pemerintah ingin membuat berkeadilan, taksi online dan konvensional harus bisa hidup.
ADVERTISEMENT
"Kita ingin berkeadilan. Kita enggak mau Grab saja yang menang atau taksi konvensional saja," kata Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan saat ditemui di ruang kerjanya, Gedung BPPT II, Jakarta, Jumat (24/3).
Senada dengan Luhut, Menhub Budi Karya juga beralasan untuk keadilan. Ada tiga filosofi mengenai aturan tarif tersebut, yakni mengenai keselamatan, layanan level of service, dan kesetaraan.
"Kalau 1 dan 2 kan sudah tahu, harus selamat. Kesetaraan ini adalah kesetaraan operator dan kesetaraan konsumen juga. Sekarang ini ada iklim kurang sehat kompetisi, dengan melakukan diskon dan sebagainya," kata Budi di Hotel Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (22/3).
ADVERTISEMENT
Menurut Budi, dengan adanya diskon layanan taksi online, struktur pembiayaan atau investasi menjadi tidak baik.
"Kalau kami koordinir suatu skema yang baik, ada pola pembatasan tarif, dengan sendirinya tidak terjadi perang tarif. Iklim usaha akan lebih baik," kata dia.
Bukan hanya pejabat di tingkat pusat, di tingkat daerah juga demikian. Wali Kota Bogor Bima Arya juga menyampaikan akan memberlakukan aturan tersebut untuk ojek online.
Polisi halau ojek online pascabentrok (8/3) (Foto: Lucky R./ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Polisi halau ojek online pascabentrok (8/3) (Foto: Lucky R./ANTARA)
Yang kedua untuk ojek online:
Keberadaan ojek online ini sangat membantu. Masyarakat di era teknologi memilih mudah dan murah. Tapi rupanya, kehadiran ojek online ini membuat resah sopir Angkot. Mereka dikalahkan. Akhirnya terjadi unjuk rasa, para sopir Angkot meminta keadilan.
Ojek sendiri tidak diatur dalam UU karena bukan alat transportasi terkait faktor safety. Walau demikian tuntutan sopir Angkot dan Organda diakomodir, sejumlah pejabat pemerintah bergegas melakukan pengaturan ojek online.
ADVERTISEMENT
Ricuh ojek online vs sopir taksi (Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Ricuh ojek online vs sopir taksi (Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA)
Menkominfo Rudiantara menyebut ojek online perlu dibatasi.
"Saya sudah bicara dengan Wali Kota Bogor dan transportasi roda dua berbasis online yaitu Go-Jek. Saya sudah minta untuk pertimbangkan sementara tidak memperluas dulu atau menambah armadanya sampai bisa tenang," kata Rudi saat ditemui di Gedung Kementrian Bidang Koordinator Kemaritiman, Jakarta, Jumat (24/3).
Wali Kota Bima Arya memang akhir-akhir ini menegaskan tekadnya mengatur ojek online. Bima merespons tuntutan para sopir Angkot.
"Yang akan kami lakukan adalah pengaturan operasional, termasuk akan ada pembatasan kuota, kualitas armada, shift waktu operasi, dan pangkalan," kata Bima di balai kota Bogor, Jumat (24/3).
Pasukan pengemudi ojek online GO-JEK. (Foto: www.instagram.com/gojekindonesia/)
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan pengemudi ojek online GO-JEK. (Foto: www.instagram.com/gojekindonesia/)
Pada akhirnya pemerintah yang punya kuasa termasuk mengatur ojek online. Tapi kalau boleh sedikit melihat dari kacamata konsumen, misalnya pelajar yang tengah mengejar waktu ke sekolah. Bila naik Angkot dia bisa terlambat ke sekolah, pilihannya adalah ojek online yang tinggal klik aplikasi di HP dan dalam hitungan menit datang ke rumah untuk mengantarkan ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, pekerja kantoran di Jakarta yang pulang larut malam dan turun di Stasiun Bogor dini hari. Memesan ojek online adalah pilihan paling aman dan murah.
Apa pengalaman konsumen seperti ini ikut dipikirkan?