Konten dari Pengguna

Soft Spoken & Green Flags Lainnya Merupakan common sense Dari Pasangan

Ardiansyah Mujahid Akbar Nurislam
Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta
11 Oktober 2024 21:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardiansyah Mujahid Akbar Nurislam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menjalin hubungan. Sumber foto : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menjalin hubungan. Sumber foto : freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memiliki hubungan bagi orang yang sudah mengalami pubertas merupakan hal yang wajar, karena selain alasan biologis. Mental kita juga membutuhkan dukungan, perhatian dan kasih sayang dari pasangan untuk menghadapi kerasnya kehidupan.
ADVERTISEMENT
Dalam hubungan di era Tiktok ini, terutama hubungan yang masih belum tercatat dalam negara alias pacaran. Banyak sekali konsep yang berkembang di anak muda akibat dari banyaknya konten kreator yang mengenalkan dan membahas konsep-konsep dalam Psikologi atau disiplin ilmu lainya, kemudian dikaitkan kedalam konteks hubungan. Istilah soft spoken, komunikatif, respectful hingga green flags merupakan hal yang sering dibahas oleh anak muda bahkan menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk memberikan kredit yang berlebihan.
Green Flags (Soft Spoken, Komunikatif, Respectful).
Istilah soft spoken ini memiliki arti bertutur kata lembut ketika mengobrol dengan pasangan, tetapi dalam realitanya anak muda justru melebih-lebihkan arti sebenarnya. Akibat dari banyaknya konten kreator yang meromantisasi soft spoken ini berdampak pada persepsi anak muda yang menganggap bahwa soft spoken ini termasuk kedalam jenis nada suara, dialeg, bahkan hal lain yang sebenarnya erat dengan konteks budaya (contoh = orang yang berasal dari suku sunda memiliki dialeg mendayu-dayu, sedangkan orang dari suku batak cenderung lantang ketika mengobrol). Tentu hal tersebut sudah keluar dari konteks soft spoken yang sebenarnya, karena dalam pengertianya soft spoken merupakan kemampuan untuk mengobrol tanpa menggunakan bahasa yang kasar ataupun hujatan terhadap pasangan.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya konsep pasangan yang “green flags” ini memiliki arti sebagai pasangan yang memiliki nilai-nilai baik dan berperilaku yang baik, tidak melakukan kekerasan secara verbal maupun nonverbaldan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia secara umum, Hal ini menjadi sudah sewajarnya setiap manusia yang ingin menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk mencari pasangan yang memiliki nilai dan perilaku baik terhadap kita. Tetapi menariknya, semakin banyak yang menyadari dan paham konsep green flags karena sering dibahas oleh konten kreator di Tiktok justru membuat banyak orang, terutama perempuan melebih-lebihkan hal tersebut. Bahkan hingga berkembang menjadi “standar tiktok” dalam mencari pasangan, padahal untuk berkomunikasi dengan baik, tidak melakukan kekerasan verbal dan nonverbal, serta tidak merendahkan pasangan merupakan common sense.
ADVERTISEMENT
Common Sense yang dimaksud ini bagaimana?.
Common sense sendiri dikutip dari (Sawitri, 2021) merupakan pengetahuan biasa yang digunakan dalam kehidupan sehari – hari. Alias pengetahuan biasa yang dimiliki tanpa harus melalui penelitian ilmiah dengan metode yang panjang, trial and error dan sebagainya. Singkatnya common sense adalah akal sehat atau nalar wajar. Seberapa penting sih memiliki “common sense”? Sebetulnya, common sense ini lahir dari proses berpikir yang sangat dasar dari kehidupan sehingga menjadi sangat penting untuk memiliki kesadaran ini.
Beberapa contoh common sense dalam hal kecil adalah mengerti untuk tidak menyentuh api secara sengaja karena akan mengakibatkan kulit terbakar, tidak dengan sengaja mencolok tangan ke aliran listrik karena paham akan tersetrum, kemudian membawa jaket ketika akan pergi ke tempat dingin karena sadar akan menghadapi udara yang dingin dan berbahaya jika tidak seperti itu. Beberap contoh tadi menunjukan adanya proses berpikir yang logis dalam otak manusia untuk menghindari atau mengantisipasi hal yang tidak menyenangkan terjadi.
ADVERTISEMENT
Common sense dalam hubungan.
Dalam konteks hubungan pun seharusnya begitu, seharusnya kita semua memiliki kesadaran untuk berpikir logis dan mengerti konsekuensi yang akan terjadi ketika menarik kesimpulan. Sangat penting untuk memiliki kesadaran bahwa semua perilaku baik dalam pasangan ini adalah “common sense” karena akan mencegah kita dari pasangan yang membahayakan diri sendiri. Melalui kesadaran itu akan menghasilkan output yang lebih ketat dalam menyeleksi calon pasangan kita, sebagai contoh. Jika calon pasangan memiliki indikasi atau memiliki track record yang buruk karena berperilaku kasar, kemudian terbiasa mengumpat atau selalu menggunakan kata kasar ketika berkomunikasi, dengan kesadaran akan common sense tersebut tentu kita tidak ingin membahayakan diri sendiri dan menghindari hal-hal yang dapat beresiko buruk bagi diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Kenapa bisa hilang kesadaran berpikir seperti itu?
Berdasarkan yang penulis amati, tindakan melebih-lebihkan atau yang bisa disebut lebay terhadap green flags seperti soft spoken ini boleh jadi karena salah satu pihak (biasanya perempuan) sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari partner dalam hubungan sebelumnya, contohnya adalah sering direndahkan secara verbal atau selalu menggunakan kata kasar ketika mengobrol. Hal tidak menyenangkan dalam hubungan ini terlalu banyak untuk disebutkan satu-satu dan saat ini diklasifikasikan ke dalam “toxic relationship” (umumnya = posesif, dimanfaatkan, dilecehkan, mendapat kekerasan fisik/verbal, tidak bisa diajak berkomunikasi).
Menjadi hal yang wajar jika pengalaman yang tidak menyenangkan ini mengakibatkan trauma dan memiliki output lebih berhati-hati dalam memilih partner dalam hubungan kedepanya, tetapi jika karena pengalaman tersebut menghasilkan output yang lebay dalam menilai calon pasangan karena bertindak yang jauh dari kategori “toxic” atau istilah sekarang adalah green flags akan menjadi terlalu berlebihan rasanya.
ADVERTISEMENT
Sebut saja contohnya soft spoken, soft spoken sendiri merupakan istilah yang seringkali penulis dengar di platform Tiktok karena seringkali ‘seliweran’ di FYP (For Your Page). Simpelnya soft spoken memiliki arti sebagai tidak menggunakan kata kasar ketika ngobrol, ini menurut penulis merupakan hal yang sangat wajar dan seharusnya begitu ketika kita memutuskan untuk menjalin komitmen dengan lawan jenis. Pemilihan kata yang tidak menimbulkan sakit hati dan tidak menjatuhkan pasangan merupakan bentuk dari kemampuan kontrol emosi dan diri, jika ditarik lebih jauh lagi.
Kemampuan mengontrol emosi dan mengontrol diri merupakan hal yang harus pertama dimiliki jika kita sudah memutuskan untuk berkomitmen dengan orang lain sebagai pasangan, saat ini sepertinya yang penulis rasakan sebagai Gen Z. Gen Z memiliki kemampuan yang rendah untuk mengontrol diri dan emosi sehingga seringkali dijumpai pasangan yang ketika memiliki masalah akan sangat ‘enteng’ untuk mengeluarkan kata kasar atau menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Bahayanya menanggapi secara lebay terhadap green flags adalah justru menjadi tidak memiliki kesadaran untuk menyadari bahwa semua hal yang ada di konsep “green flags” merupakan bare minimum dari pasangan/calon pasangan. Kesadaran untuk menganggap seluruh perilaku yang baik dan tidak membahayakan diri sendiri adalah “common sense” akan menjauhkan kita dari toxic relationship, meskipun dalam realitanya tidak mungkin sikap dan perilaku pasangan kita akan selalu bagus dan sesuai dengan yang kita harapkan. Setidaknya untuk tidak melakukan kekerasan fisik/verbal, men-support, atau bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin tanpa melibatkan kata kasar, terutama ketika menyelesaikan masalah merupakan hal yang selayaknya menjadi kriteria utama dalam penilaian sikap terhadap calon pasangan. Memang tidak ada jaminan untuk terhindar dari perilaku toxic pasangan tetapi setidaknya proses berpikir yang logis ini akan meminimalisir resiko terjebak dalam hubungan yang toxic dan menyulitkan diri sendiri. Hal tersebut penulis anggap sebagai margin error, jika seseorang yang sudah lulus kriteria tetapi bisa berubah menjadi toxic.
ADVERTISEMENT
Penulis sendiri kebingungan dan bertanya, mengapa banyak sekali orang yang membesarkan hal yang sudah selayaknya. Atau memang anak muda sekarang, terutama perempuan memang memiliki “keinginan” untuk berhubungan dengan lalaki yang “beresiko” untuk membahayakan diri sendiri? Sepertinya menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Referensi :
Sawitri, Retno (2021). Common Sense Dalam Filsafat Ilmu, 10 Oktober 2024 dari https://geotimes.id/opini/common-sense-dalam-filsafat-ilmu/