Konten dari Pengguna

Warisan Belanda Untuk Masyarakat Pinggiran Dalam Sebuah Karya Sastra

Intan Ayu
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran
22 April 2024 13:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Intan Ayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Harper Swan: https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-buku-pustaka-membaca-perpustakaan-19227495/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Harper Swan: https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-buku-pustaka-membaca-perpustakaan-19227495/
ADVERTISEMENT
Gadis Pantai merupakan salah satu karya sastra novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan dibukukan pertama kali pada tahun 1987. Novel ini sempat dilarang beredar pada rezim Orde Baru karena dianggap menyebarkan ajaran marxisme-leninisme yang terlarang. Kisah dalam novel ini sangat kental dengan kritik sosial yang tajam. Berlatar belakang sejarah kolonial Belanda, novel Gadis Pantai mengangkat tema penindasan akibat kesenjangan kelas sosial (feodalisme) yang terjadi pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Pada awal abad ke-20, penjajah Belanda membawa sistem sosial yang sangat melekat pada masyarakat Indonesia, salah satunya adalah Sistem Sosial Feodalisme. Sistem sosial feodalisme merupakan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan yang besar terhadap golongan bangsawan atau kelas atas. Sistem feodalisme ini berkembang di seluruh penjuru Nusantara khususnya daerah Jawa Tengah. Tidak hanya di Nusantara, sistem feodalisme juga terjadi di negara-negara luar. Sylvester dalam diskusi rutin Klab Belajar Merdeka mengatakan “Kalau berbicara feodalisme itu tidak hanya di masyarakat Jawa saja, tapi di seantero dunia, di mana-mana juga terjadi.” Hal ini menunjukkan, bahwa sistem feodalisme begitu mengguncang kehidupan setiap bangsa dan negara yang memberlakukan sistem tersebut.
Novel Gadis Pantai menyajikan perspektif masyarakat kota yang sering diasumsikan sebagai masyarakat beradab dan berilmu, sedangkan masyarakat desa diasumsikan sebagai masyarakat yang tidak beradab dan tidak berilmu. Dengan kesewang-wenangan yang disebabkan sistem feodalisme, telah membuat jurang pemisah antara masyarakat biasa dengan golongan masyarakat kota yaitu bangsawan atau Priyayi. Sistem feodalisme ini juga dapat mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak adanya pemerataan ekonomi pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam novel Gadis Pantai terdapat adanya moralitas feodal, yang mana manusia khususnya kaum perempuan hanya diukur sebagai benda dan sebagai alat pemuas belaka. Sering kali dalam masyarakat memandang bahwa kaum perempuan adalah kaum yang tidak memiliki hak penuh atas dirinya sendiri. Namun di sisi lain, tokoh Mardinah diibaratkan sebagai tokoh feminis zaman sekarang yang menyuarakan feminisme. Merasa dirinya lebih pintar dari perempuan lain, tanpa sadar mereka melakukan praktik-praktik patriarki karena mengecilkan perempuan-perempuan yang belum paham mengenai feminisme.
Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu sastrawan yang berani dalam mengungkapkan ide-ide yang ia tuangkan dalam karya sastra. Dalam novel Gadis Pantai Pramoedya menggambarkan betapa kejamnya sistem feodalisme Jawa pada saat itu yang mengantarkan pada kesengsaraan khususnya pada rakyat kecil. Dalam novel tersebut, Pramoedya menghadirkan sosok gadis di bawah umur yang merupakan anak seorang nelayan dan digambarkan mewakili rakyat biasa yang digambarkan sebagai objek seksual dan tidak memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri, pada akhirnya menjadi korban kekerasan seksual. Perlakuan semena-mena tersebut dilakukan oleh seorang Bendoro yang mewakili golongan bangsawan atau priyayi. Meskipun perlakuan semena-mena tersebut bukan perlakuan fisik, namun perlakuan psikis, konflik-konflik yang dibangun oleh Pramoedya dalam cerita sangat tajam dan mengkritik adanya kesenjangan sosial. Orang dengan kelas sosial tinggi akan semena-mena menindas orang yang kelas sosialnya lebih rendah.
ADVERTISEMENT
“Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kerjakan….” (Toer, 2000:112)
Kutipan tersebut adalah sebuah ucapan yang diucapkan oleh Bendoro kepada Gadis Pantai. Dapat disimpulkan bahwa meskipun menjadi istri seorang Bendoro, Gadis Pantai tetap mendapat perlakuan buruk, yaitu tidak mendapat kebebasan dan harus tunduk atas segala sesuatu yang diperintahkan oleh Bendoro. Hal tersebut memperkuat suatu kenyataan pahit dan kejam atas kesenjangan sosial yang terjadi pada masa itu. Bahwasannya pribumi adalah golongan yang berasal dari kelas sosial rendah, lemah, dan inferior.
Novel Gadis Pantai juga mencoba mendekonstruksi pandangan kolonial yang dianut pada masa itu, yaitu menganggap pribumi memiliki tingkat sosial lebih rendah dibandingkan dengan bangsawan. Namun, Pramoedya menciptakan karakter-karakter pribumi yang kompleks dan memiliki kekuatan yang sebanding dengan karakter Belanda. Hal tersebut sedikit membantu mengubah pandangan stereotipikal tentang pribumi.
Foto oleh Tom Fisk: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-mencuci-pakaian-di-tepi-sungai-3087601/
Pada dasarnya, Pramoedya selalu menciptakan novel yang mengangkat kisah nyata dan pengalaman sejarah sosial budaya masyarakat Indonesia. Sebagian besar karya sastra yang dihasilkan oleh Pramoedya mengangkat tema kesenjangan sosial yang masih terus ada hingga saat ini pada sebagian besar golongan tertentu.
ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer merupakan gambaran dari masyarakat Jawa kebanyakan yang tertindas oleh Kolonial Belanda. Namun ia tidak seperti orang Jawa kebanyakan yang menyerah pada keadaan. Pramoedya memiliki kesadaran nasional yang kuat dalam melawan segala apa yang dianggap tidak adil, pengalamanya tentang masalah-masalah sosial dalam masyarakat Jawa serta pengertianya tentang pendidikan sebagai sarana untuk membangun bangsa dan manusia yang bebas dan merdeka. Pramoedya hidup pada saat penjajah Belanda berkuasa di Nusantara, terutama di daerah Jawa Tengah. Pada saat itu pula praktik-praktik kolonialisme belanda berlangsung, salah satunya adalah feodalisme. Melalui novelnya yang berjudul Gadis Pantai Pramoedya berusaha untuk ‘menusuk’ praktik feodalisme Jawa yang tidak mengenal adab dan jiwa kemanusiaan. Tak dapat dipungkiri karya Pramoedya Ananta Toer inilah yang benar-benar mengupas tokoh priyayi atau golongan atas yang menindas golongan kelas bawah pada masa itu.
ADVERTISEMENT