Konten dari Pengguna

"Feminine Energy" di TikTok: Romantisasi Peran Gender ala Patriarki Modern

INTANIA RAHMA DEFITA
Mahasiswi Semester 4 Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
6 Juni 2025 9:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari INTANIA RAHMA DEFITA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Tuấn Kiệt Jr. dari Pexels: https://www.pexels.com/photo/portrait-of-a-woman-in-vintage-western-attire-32394081/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Tuấn Kiệt Jr. dari Pexels: https://www.pexels.com/photo/portrait-of-a-woman-in-vintage-western-attire-32394081/
ADVERTISEMENT
"Kita sebagai cewek itu harus stay in our feminine energy biar cowok makin bucin,"
ADVERTISEMENT
"Jadi cewek jangan terlalu independen, nanti cowok ilfeel,"
"Cewek tuh gak boleh ngejar-ngejar cowok duluan, keliatan banget desperate-nya."
Pernyataan-pernyataan semacam ini tengah ramai dibicarakan di media sosial, khususnya TikTok, yang dibungkus dalam kemasan video estetik dan jargon self-love. Tetapi jika kita memperhatikannya dengan lebih jeli, inti pesan dari tren ini justru mengarah ke pola lama, yaitu perempuan harus menjadi penurut, lemah-lembut, sabar, dan tidak dominan agar dianggap "layak untuk dicintai."
Sekilas, tren ini terlihat seperti bentuk dari empowering. Padahal sebenarnya, ia hanyalah bentuk baru dari pengulangan tuntutan peran gender yang dibalut dengan algoritma dan estetika digital.

Feminine Energy: Dari Spiritualitas ke Standar Feminitas

Dalam dunia spiritual dan pengembangan diri (self-help), feminine energy sebenarnya dimaknai sebagai dua sisi yang ada dalam tiap individu, yang berarti setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan pasti memilikinya. Berdasarkan kutipan dari Dictionary.com (dalam Zata, 2024), feminine energy merupakan kekuatan batin yang penuh kasih sayang, empati, dan penerimaan. Sementara, masculine energy lebih ke arah ketegasan, logika, dan kepemimpinan (Zata, 2024).
ADVERTISEMENT
Seharusnya, dua energi ini saling melengkapi dan dimiliki semua individu secara seimbang. Namun di TikTok, maknanya disederhanakan menjadi standar perilaku perempuan yang ideal, seperti perempuan harus bersikap lemah lembut, tunduk, dan tidak membebani perasaan laki-laki karena kemandirian ataupun ambisinya.
Padahal, konsep ini awalnya hadir untuk menjadi keseimbangan dan pengembangan diri. Tapi kini, konsep ini justru membatasi perempuan untuk mengekspresikan diri demi memenuhi standar feminitas. Seolah menjadi feminin bukan lagi soal pilihan, melainkan keharusan agar pantas untuk dicintai.

Feminisme Radikal: Ini Bukan Empowering, Ini Sistem Kontrol!

Jika kita melihat fenomena ini melalui kacamata feminisme radikal, masalah ini bukan hanya sekadar tren di media sosial, melainkan sebagai bentuk dari sistem kontrol atas tubuh dan perempuan yang baru. Sistem patriarki kini terus memoles cara untuk mengendalikan perempuan seolah-olah hal tersebut merupakan pilihan mereka sendiri. Patriarki hari ini tidak lagi mengekang secara frontal, tetapi menyusup lewat estetika konten yang tampak seperti bentuk self-love. Padahal, realitasnya, tren ini justru menuntut perempuan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial agar bisa dicintai.
ADVERTISEMENT
Selama laki-laki masih dinormalisasikan untuk menjadi dominan dan secara alamiah mengarahkan perempuan untuk menjadi "jinak", maka sistem patriarki akan terus bertahan (Tong, 2009). Terlebih, saat ini sistem tersebut masuk lewat rasa bersalah dan iming-iming "perempuan harus bersikap manis agar laki-laki mencintainya." yang mana narasi tersebut mengarah ke arah "penjinakan."
Ketika perempuan mulai merasa harus meredam atau bahkan menyembunyikan sisi diri mereka seperti marah, keras kepala, vokal atau ambisius demi pantas untuk dicintai, hal ini bukanlah lagi menjadi empowerment, melainkan penyesuaian. Penyesuaian yang lahir dari rasa takut untuk ditolak dan bukan dari kebebasan memilih, merupakan pengendalian yang paling halus tetapi juga yang paling dalam.

Validasi Laki-laki yang Dibungkus Self-Love

Banyak perempuan yang merasa gagal apabila tidak bisa tampil sesuai dengan standar feminine energy versi TikTok. Mereka yang vokal, logis dan ambisius dianggap terlalu "keras" dan maskulin sehingga tidak layak untuk dicintai secara "sehat."
ADVERTISEMENT
Tidak jarang pula muncul komentar seperti, "Yah, pantes aku selalu ditinggalin cowok, ternyata aku terlalu dominan ya?" atau "Gak bisa deh aku jadi cewek feminim yang sabar dan lembut kayak gitu, pantes gak ada yang tahan." menunjukkan bagaimana makna dari feminine energy sudah dibelokkan, sehingga membuat perempuan merasa bersalah apabila tidak bisa menyesuaikan diri mereka dengan standar tersebut.
Padahal, standar itu bukan bentuk dari self-love, tetapi justru validasi yang terselubung. Jika terus dijadikan sebagai acuan, tren ini bisa menjadi alat patriarki yang membuat perempuan secara sukarela mengendalikan diri mereka sendiri seolah-olah itu adalah sebuah kebebasan.
Berarti, apakah perempuan tidak boleh menjadi lemah-lembut?
Tentunya tidak. Perempuan sangat diperbolehkan untuk bersikap lemah-lembut, dengan syarat hal itu merupakan pilihannya sendiri, bukan karena merasa takut untuk ditolak. Feminine energy yang sehat tidak menjadikan validasi laki-laki sebagai tujuan, tetapi tumbuh dari kesadaran bahwa setiap sisi diri, mulai dari tenang, aktif, kuat, ambisius hingga marah dan rapuh, merupakan hal yang sama berharganya.
ADVERTISEMENT
Mari berpikir kembali, haruskah kita terus berusaha menjadi "lebih manis" demi dicintai? Atau seharusnya kita bertanya, cinta macam apa yang membuat kita harus menyembunyikan sisi diri kita yang sebenarnya?
Cinta yang sehat tak datang dari kepatuhan. Ia tumbuh dari keberanian untuk menjadi diri sendiri dengan seutuhnya.

Referensi

Tong, R. (2009). Feminst Thought: A More Comprehensive Introduction (3rd ed.). Colorado: Westview Press.
Zata, N. (2024). ‘Feminine Energy’, Feminisme TikTok, dan Akal-akalan Lelaki. Magdalene.co. Retrieved June 5, 2025, from https://magdalene.co/story/apa-itu-feminine-energy/