Kerusakan Iklim Akibat Emisi GRK dan Pengendalian Perilaku Masyarakat

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
25 Februari 2021 11:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perubahan Iklim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perubahan Iklim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sosiolog dan enviromentalist seringkali menghadapi pertentangan mengenai masalah sentral kerusakan iklim. Dasar utama yang menjadi perdebatannya adalah apakah fokus melindungi iklim dari masyarakat (mitigasi) atau masyarakatlah yang beradaptasi dengan iklim dan lingkungan (adaptasi) (Grundmann, 2012:133-142).
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, baik iklim maupun masyarakat memiliki hubungan interaksi, interelasi, serta interdipendensi yang kuat (Soemarwoto, 1991). Fungsi dan kontribusi sosiologi salah satunya ialah mengkaji permasalahan kerusakan iklim dan lingkungan dari segi kultural, perilaku, politik, ekonomi dan struktur sosial masyarakatnya (Scott, 2009; Dunlap, 2016). Menurut Dunlap (2016), ancaman kerusakan iklim dan lingkungan yang nyata memerlukan tindakan kolektif untuk memperbaikinya. Maka, peran sosiologi juga sangat besar dalam merekayasa perilaku sosial masyarakat (social engineering).
Fenomena kerusakan lingkungan yang sangat dekat dengan kehidupan sosial di Indonesia adalah kerusakan iklim akibat gas rumah kaca. Esai ini akan berfokus pada kerusakan iklim diakibatkan berbagai aktivitas manusia dan masyarakat yang menimbulkan masalah pemanasan global dan perubahan iklim yang tidak menentu.
Pada tabel 2.6 terlihat peningkatan emisi dari tahun 2000-2015 yang berasal dari kebakaran lahan gambut (peat fire), sedangkan tahun 2016-2017, terjadi penurunan emisi yang diakibatkan lahan gambut. Tetapi, emisi energi, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, serta limbah naik secara signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik berikut :
Terjadi peningkatan signifikan yang terjadi pada tahun 2000-2017, di mana penyumbang terbesar emisi GRK Nasional berasal dari sektor energi (48%), diikuti oleh sektor kehutanan dan kebakaran gambut (26%), dan pertanian (agriculture) (11%). Kemudian berikut akan dipaparkan grafik kontribusi Emisi GRK Sektoral terhadap Emisi GRK Nasional :
Berdasarkan gambar 2.8, dapat dilihat sebaran kontribusi pada periode 2017 secara signifikan berbeda dari dua tahun sebelumnya. Sektor kehutanan dan lahan gambut menyumbang emisi GRK Nasional terbesar pada tahun 2015 dan 2016, yaitu sebesar 66% dan 43%. Sektor tersebut mengalami penurunan signifikan pada tahun 2017 menjadi 26%.
ADVERTISEMENT
GRK secara umum adalah gas yang terdiri dari karbondioksida(CO₂), metana(CH₄), nitrogen oksida (N₂O), serta gas lain yang terakumulasi dan menyatu di atmosfer (Statistik Lingkungan Hidup, 2019:19-20). Gas-gas yang terakumulasi tersebut sebenarnya memiliki fungsi untuk menjaga suhu bumi agar tetap stabil dan aman untuk dihuni. Tetapi karena jumlahnya sangat banyak, gas-gas tersebut menahan panas matahari hasil pantul dari bumi sehingga panas matahari tersebut terperangkap dalam bumi. Hal tersebut juga membuat panas yang seharusnya keluar ke ruang angkasa menjadi lebih sedikit. Dampaknya, terjadi peningkatan suhu bumi secara signifikan. Fenomena tersebut disebut sebagai Efek Rumah Kaca (greenhouse effect). Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas), Indonesia mengalami peningkatan suhu udara rata-rata 0,5⁰C selama abad 20 serta akan diproyeksikan meningkat sebesar 0,8-1⁰C pada tahun 2020-2050 (Statistik Lingkungan Hidup, 2019:21-22)
ADVERTISEMENT
Para ilmuwan alam menyimpulkan bahwa climate change adalah masalah sosial karena diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang merusak ekosistem (Dunlap, 2016). Maka, solusi kerusakan iklim dan lingkungan menjadi kompleks dan multidisipliner. Bagi ilmuwan sosial, fokus solusinya ada pada sosialisasi dan institusionalisasi masyarakat. Penyadaran masyarakat mengenai global warming dan dampak dari kerusakan alam mutlak diperlukan.
Memahami hubungan antara lingkungan dengan perilaku manusia memunculkan kajian-kajian pada dekade 1970-80 an yang dapat disebut sebagai sosiologi lingkungan (environmental sociology). Mengacu pada John Bellamy Foster (2015) mengenai studi sosiologi lingkungan (environmental sociology), setidaknya ada dua ide yang disimpulkan dari aliran ini :
ADVERTISEMENT
Kedua hal tersebut yang menjadikan kajian dari sosiologi lingkungan secara kritis berhasil menyentuh batasan radikal dan mempercepat pengembangan studi ilmu ekologi (Foster, 2015:315).
Kaitannya dengan pembahasan kerusakan iklim akibat emisi gas rumah kaca, masyarakat global mau tidak mau harus beradaptasi dengan kerusakan iklim yang ada. Tingkat adaptasi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor kemampuan masyarakat (cognitive capital), sosial-ekonomi, politik, dan budaya (USAID, 2019:6). Ada tiga faktor utama yang memengaruhi perubahan sosial (Middlestadt et al., 2003; Sztompka, 2008)
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi dengan strategi yang dirumuskan USAID (2019) meliputi : rasa rawan (perceived risk), rasa akan norma sosial (perceived social norms), rasa efikasi diri (perceived self-efficacy), dan responsnya terhadap efikasi diri (perceived respond).
Lingkungan alam tidak bisa terus-menerus mengalami kerusakan dan eksploitasi. Alam tidak selalu membutuhkan masyarakat, tetapi masyarakat akan selalu membutuhkan alam. Maka, penanganan dari segi sosiologis sangat penting untuk menanggulangi perilaku yang menyebabkan masifnya gas rumah kaca sehingga menimbulkan kerusakan iklim.