Jimly Asshiddiqie: Lebih Baik Rektor Ditunjuk Presiden

3 Juni 2017 0:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie menilai proses penentuan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) sebaiknya tidak melalui cara pemilihan. Posisi rektor itu sebaiknya ditunjuk oleh presiden, seperti sebelum tahun 1994.
ADVERTISEMENT
Mekanisme pemilihan rektor yang melibatkan menteri, dosen dan di beberapa PTN juga mengikutsertakan mahasiswa merupakan cerminan sistem politik di Indonesia kala itu tidak demokratis.
"Setelah reformasi kita sudah demokratis, sudah kebangetan demokratisnya. Maka sudah saatnya lembaga pendidikan tinggi dikembalikan ke identitasnya sebagai lembaga teknis, bukan lembaga politik. Maka memilih rektor kayak di Amerika Serikat saja, enggak pakai pemilihan," kata Jimly, Jumat (2/6).
Pada mekanisme pemilihan rektor, terlebih pasca reformasi, Jimly mencium aroma politisasi dari partai politik. Sebab dalam mekanisme tersebut menteri memiliki hak suara sebesar 35 persen.
"Sekarang ada perkembangan baru pasca reformasi, menteri ini kan politik, partai-partai. Maka, saya rasa sangat baik kalau pertimbangannya untuk lebih objektif maka ditarik lagi ke presiden, saya kira tepat," ungkap dia.
ADVERTISEMENT
Meskipun presiden juga tokoh politik, menurut Jimly, proses penunjukan rektor itu akan lebih transparan. Sebab akan banyak mata yang mengawasi kebijakan itu. Hal itu tentu berbeda dengan penggunaan hak suara sebesar 35 persen oleh menteri.
"Sudahlah, tidak usah lagi perlakukan perguruan tinggi sebagai lembaga demokrasi. Ini bukan lembaga politik, diangkat saja rektornya, begitu menurut saya," ujarnya.
Proses pengisian jabatan rektor di perguruan tinggi tanpa melalui pemilihan itu juga dilakukan di Amerika Serikat.
"Di Amerika Serikat tidak pakai demokrasi, karena sistem politiknya sudah demokrastis. Sehingga mereka melihat perguruan tinggi sebagai lembaga teknis pendidikan saja. Rektornya siapa, ya bisa orang luar diangkat oleh dewan kuratornya, dia manajer, bukan fungsi politik. Kalau dekan itu yang punya otoritas ilmiah, tapi kalau rektor itu manajer," kata dia.
ADVERTISEMENT