Konten dari Pengguna

Menjadi Sebuah Kanvas

Jody jeremi hadrian ritonga
Mahasiswa UNAI penikmat buku yang menjadikan literasi sebagai pelarian dan teman setia. Menulis untuk meredakan pikiran, merekam cerita, serta mendokumentasikan ide sebagai bekal di masa depan. Dengan kata, menjelajahi dunia dan merangkai makna.
24 Februari 2025 16:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jody jeremi hadrian ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya, kamu belum bisa disebut sebagai seorang akuntan jika hal seperti ini saja masih belum kamu pahami." Jika kata-kata seperti itu terdengar di telinga kalian saat menjalani wawancara kerja atau mengerjakan sesuatu, bagaimana perasaan kalian?
ADVERTISEMENT
"Ah, kamu ini hanya bisa menggunakan Excel, tapi pada dasarnya kamu tidak benar-benar mengerti apa-apa. Lebih baik saya bayar anak magang saja." Apakah kata-kata seperti ini terasa menyakitkan saat didengar? Bagaimana reaksi kalian terhadap pernyataan seperti itu?
Tentu saja, tak bisa dipungkiri bahwa dikritik secara terang-terangan terasa menyakitkan, terutama bagi ego yang mendominasi pikiran layaknya seorang raja yang otoriter. Kritik semacam ini sering kali tidak disukai oleh ego, sehingga memicu konflik dalam benak kita.
Foto oleh Timur Weber: https://www.pexels.com/id-id/foto/pasangan-meja-komunikasi-problem-8560383/
"Saya marah karena dia mengkritik dengan cara yang tidak benar! Itulah sebabnya saya menjadi emosi." Begitulah pembelaan dari amigdala, bagian otak yang merespons kritik yang diterima oleh diri kita.
Sering kali, kita memberikan terlalu banyak kekuatan pada kritik yang masuk, membiarkannya memengaruhi suasana hati sepanjang hari. Kita seolah memberi kendali penuh kepada kata-kata tersebut, membiarkannya merusak hari kita dan memberi bobot lebih besar daripada yang seharusnya.
ADVERTISEMENT
Padahal, sebaik apa pun kita menjalankan tugas, kritik tidak akan pernah berhenti. Akan selalu ada sesuatu yang bisa dikomentari oleh orang lain, dan mengendalikan bagaimana mereka mengkritik kita adalah hal yang mustahil.
Kita tidak bisa memaksa orang untuk berkata, "Seharusnya kamu memberikan kritik dengan saran." atau "Kenapa begitu? Tidak bisakah berbicara dengan lebih halus?" Itu semua hanyalah suara hati yang ditunggangi oleh ego. Pada akhirnya, kita tidak memiliki kendali atas cara orang lain bersikap yang bisa kita kendalikan hanyalah bagaimana kita meresponsnya.
Foto oleh Engin Akyurt: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-memegang-hati-dipotong-1820509/
Jadi? Apa sih kira kira mindset yang bisa kita gunakan untuk menghadapi kritikan atau mungkin hinaan yang muncul di dalam kehidupan kita? Gimana cara nya untuk bersikap lebih santai terhadap itu semua?
ADVERTISEMENT
"Menjadi Sebuah Kanvas." Itulah mindset yang penulis coba suguhkan kepada para pembaca. Apa maksudnya? Layaknya kanvas putih yang kosong, siap untuk dilukis, kita membiarkan kritik membentuk dan mewarnai jiwa kita. Kritik bukan lagi sesuatu yang harus dilawan, melainkan sapuan kuas yang dapat memperkaya diri kita, memberi warna, dan membentuk kita menjadi versi yang lebih baik.
Hal ini bisa dilatih dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat berinteraksi dengan rekan kerja, teman, atau siapa pun. Cobalah berbicara dengan mereka dan tanyakan pendapat tentang topik yang sedang kalian tekuni atau pelajari.
Datanglah bukan dengan niat untuk memamerkan kemampuan, tetapi dengan keinginan untuk menyerap setiap pemikiran mereka, layaknya kanvas yang siap menerima setiap sapuan kuas. Bahkan jika pendapat mereka bertentangan dengan kita, biarkan kanvas itu tetap dilukis. Dengan begitu, kita bisa merasakan makna dari setiap goresan yang membentuk lukisan dalam diri kita.
Foto oleh Deeana Arts: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-fokus-dangkal-dari-kuas-cat-1646953/
Dengan membiasakan diri menjadi sebuah kanvas yang dilukis, kritik, hinaan, atau komentar apa pun tidak lagi terasa menyakitkan, melainkan menjadi bagian dari keindahan hidup. Kita mulai menyadari bahwa semua itu membentuk sebuah lukisan mungkin penuh makna, atau mungkin hanya coretan tanpa arah.
ADVERTISEMENT
Namun, yang terpenting, kita terbiasa menerima semuanya tanpa merasa perlu selalu membela diri atau melawan. Kita belajar membiarkan setiap sapuan kuas membentuk diri kita, tanpa terjebak dalam ego yang menolak setiap goresan.
Mungkin di ruang sosmed yang berkata bahwa "Abaikan kritikan, mereka gak ngerti kamu." atau "Kamu harus menolak yang negative talk dll, jauhinn saja." Penulis menawarkan hal berbeda, dimana harus nya kita hadapi semua, mau negative / positive biarkan kejadian itu datang tanpa harus menghakimi. biarkan kuas itu di geser ke sana kemari mengajarkan kehidupan kepada kita
Tanpa bereksperimen untuk menerima semuanya, kita tidak akan pernah tahu mana yang benar-benar berguna bagi kita dan mana yang tidak. Jadilah kanvas biarkan kritik, hinaan, atau apa pun yang terjadi dalam hidup meninggalkan goresannya. Di penghujung hari, kita akan melihat dan memahami apa yang kehidupan coba lukiskan untuk kita. Mungkin tidak selalu indah, tetapi setiap goresan punya cerita dan pelajaran yang berharga.
ADVERTISEMENT