Konten dari Pengguna

Tertinggal di Jalan yang Kutempuh

Jody jeremi hadrian ritonga
Mahasiswa UNAI penikmat buku yang menjadikan literasi sebagai pelarian dan teman setia. Menulis untuk meredakan pikiran, merekam cerita, serta mendokumentasikan ide sebagai bekal di masa depan. Dengan kata, menjelajahi dunia dan merangkai makna.
9 Februari 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jody jeremi hadrian ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kata-kata itu terukir di otakku sejak pertama kali menginjak usia 20-an. Entah mengapa, dunia ini terasa begitu cepat. Dulu, saat merasa tertinggal, segalanya terasa lebih sederhana. Ketinggalan saat bermain sepeda dengan teman? Kita hanya perlu mengayuh lebih cepat. Ketinggalan peringkat di sekolah? Kita tinggal belajar lebih giat. Tapi sekarang...
Saat melihat teman-teman sudah menikah, aku tak tahu bagaimana cara mencapainya. Ketika mereka menjadi manajer, aku pun tak tahu bagaimana bisa sampai ke sana. "Temukan pasangan dengan cepat." atau "Bekerjalah lebih keras." Kedengarannya mudah, tapi ternyata tak sesederhana itu untuk diterapkan. Seakan-akan, kini tak ada lagi panduan untuk merasa cukup.
Foto oleh Muhammad Bayu: https://www.pexels.com/id-id/foto/laut-pria-laki-laki-lelaki-13418926/
Akhirnya, jari-jemariku mulai bergerak di atas keyboard, menelusuri berbagai sumber. Mencari cara untuk mengalahkan semua orang.
ADVERTISEMENT
Tapi lama-kelamaan terasa begitu lelah. Rasa nya tidak menyenangkan mengejar ini semua. Begitu menyakitkan, ketika menapakai tiap perjalanan untuk mengejar itu. Jiwa ku malah perlahan berganti menjadi sesuatu yang tubuh ku tolak. Ini bukan aku. Aku tidak mau ini.
Tapi lama-kelamaan, semuanya terasa begitu melelahkan. Rasanya tidak lagi menyenangkan untuk terus berlari. Setiap langkah terasa menyakitkan, seolah jalan yang kutempuh semakin menjauh dari diriku sendiri. Jiwaku perlahan berubah menjadi sesuatu yang asing, sesuatu yang tubuhku tolak mentah-mentah. Ini bukan aku. Aku tidak mau ini.
Dari kisahku di atas, saat pertama kali menginjak usia 20, adakah di antara kalian yang merasakan hal yang sama? Merasa tertinggal, seolah semua orang melangkah jauh lebih maju sementara kita masih terjebak di tempat yang sama. Bahkan, terkadang rasanya kita tidak memiliki tujuan apa pun yang bisa dijadikan pegangan untuk mengejar mimpi. Atau mungkin, mimpi itu sendiri bahkan belum terukir di kepala kita.
ADVERTISEMENT
balapan: https://www.pexels.com/id-id/foto/atlet-berlari-di-trek-dan-oval-lapangan-dalam-fotografi-grayscale-34514/
Ada satu pertanyaan yang kutemukan di internet, pertanyaan sederhana, tapi begitu menusuk. Sebuah kalimat yang perlahan mengubah cara pandangku tentang perasaan tertinggal dalam hidup.
Kita sering kali mengeluh merasa tertinggal, merasa terbelakang, seolah tak punya pencapaian apa pun. Tapi sebenarnya, tertinggal dari siapa? Siapa yang sebenarnya kita kejar? Apakah jika seseorang menjadi manajer di usia muda, itu berarti hidup adalah perlombaan yang harus kita menangkan? Apakah setiap pencapaian orang lain otomatis menjadi garis finis kita juga?
"Tertinggal di jalan yang ditempuh sendiri" adalah kalimat yang begitu relevan bagi anak-anak Gen Z yang baru menginjak usia 20-an. Di era di mana informasi menyebar begitu cepat, hanya dengan satu sentuhan di layar ponsel, pikiran kita sering kali menjadi kabur. Kita disuguhi pencapaian orang lain setiap saat, hingga tanpa sadar mulai membandingkan diri sendiri dengan standar yang bukan milik kita.
Foto oleh Mateusz Dach: https://www.pexels.com/id-id/foto/lapangan-atletik-biru-332835/
Sering kali, kita justru berusaha masuk ke lintasan orang lain, berlari di jalur yang bukan milik kita, mencoba mengejar mereka yang telah menguasai dan melewati jalan itu berkali-kali. Kita lupa bahwa setiap orang memiliki perjalanan dan ritmenya sendiri bahwa yang terlihat cepat bagi orang lain, belum tentu adalah kecepatan yang tepat bagi kita.
ADVERTISEMENT
Kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki lintasan dan ritme mereka sendiri. Tidak ada yang benar-benar tertinggal dalam kehidupan, karena tidak ada garis finis yang sama untuk semua orang. Lalu, siapa yang berhak menentukan bahwa seseorang tertinggal? Bagaimana mungkin ada kata "tertinggal" jika setiap perjalanan memiliki jalannya sendiri?
Semoga ini bisa menjadi pemikiran bagi para pembaca, bahwa sejatinya, kita tidak pernah benar-benar tertinggal dalam kehidupan. Cobalah lihat kembali jalur yang sedang kalian tempuh. Apakah kalian yakin ini adalah jalan yang memang kalian pilih? Atau justru kalian sedang berlari di lintasan orang lain, memaksakan kecepatan yang bukan milik kalian, hanya demi mengejar garis finis yang sebenarnya bukan untuk kalian?